Seseorang pernah bertanya, ia mendengar sebuah hadis yang dikutip salah seorang ulama. Dalam hadis tersebut dijelaskan bahwa agama adalah akal. Sedangkan orang yang beragama tanpa akal, maka dia seperti tidak beragama.
Dalam bahasa Arabnya disebutkan,
لا دين لمن لا عقل له
Artinya, “Tidak ada agama bagi orang yang tidak memiliki akal.”
Hadis ini bisa ditemukan di kitab Syuʻāb al-Īmān karya Imam al-Baihāqī. Namun redaksi matan yang tertulis tidak secara lafaz, akan tetapi mirip secara makna.
أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللهِ الْحَافِظُ، أَخْبَرَنَا أَبُو عَلِيٍّ الْحُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدٍ الصَّغَانِيُّ، بِمَرْوٍ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَاسَوَيْهِ، حَدَّثَنَا حَامِدُ بْنُ آدَمَ، حَدَّثَنَا أَبُو غَانِمٍ، عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” قِوَامُ الْمَرْءِ عَقْلُهُ، وَلَا دِينَ لِمَنْ لَا عَقْلَ لَهُ “.
Artinya, “Telah memberi kabar kepada kami (Al-Baihāqī) Abū ʻAbdullah al-Ḥāfidh, ia berkata, telah memberi kabar kepada kami Abū ʻAlī al-Ḥusain ibn Muḥammad al-ṣaghānī di kota Marwa, ia berkata, telah bercerita kepada kami Yaḥyā ibn Sāsawaih, ia berkata, telah bercerita kepada kami Ḥāmid ibn Ādam, ia berkata, telah bercerita kepada kami Abū Ghānim dari Abī al-Zubair, dari Jābir ibn ʻAbdillah, ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda, “Tiangnya seseorang adalah akalnya, tidak ada agama bagi orang yang tidak memiliki akal. (HR. Al-Baihāqī)
Imam al-Baihāqī sendiri menyebutkan pada akhir hadis tersebut bahwa seorang rawi yang bernama Ḥāmid ibn Ādam terindikasi melakukan kebohongan (muttaham bi al-kidzb). Hadis yang diriwayatkan oleh orang yang muttaham bi al-kidzb termasuk hadis ḍā’if syadīd, dan tidak bisa naik derajatnya menjadi hasan li ghairihi maupun sahih li ghairihi.
Hal ini juga disebutkan oleh Imam al-Jurjānī dalam al-Kāmil fi al-Ḍuʻafā al-Rijāl bahwa Hāmid merupakan seorang pembohong. Selain redaksi hadis di atas, al-Aṣbahānī juga meriwayatkan hadis yang mirip namun berbeda redaksi matan awalnya. Sayangnya, dalam sanad al-‘Aṣbahānī tersebut ada seorang rawi yang bernama al-Qurdhi dan Musā ibn ʻUbaidah yang merupakan rawi ḍaʻif. Bahkan Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah mengatakan, “Aḥādīts al-ʻaql kulluhā kidzb,” yakni, seluruh hadis yang berkaitan dengan akal adalah bohong.
Dari beberapa penjelasan di atas, maka disimpulkan bahwa hadis “agama adalah akal” bukanlah hadis yang sahih melainkan hadis daif, bahkan daifnya parah, mendekati palsu. Sehingga hadis ini tidak boleh dikutip atau diriwayatkan.
Walaupun hadis tersebut palsu, namun beragama dengan menggunakan akal adalah sebuah keniscayaan. Karena kita tidak akan mampu memahami teks-teks agama, terutama menginterpretasikannya dengan baik tanpa akal yang sehat. Namun penggunaan akal tidak boleh berdiri sendiri. Akal harus disandingkan dengan nash agama. Akal adalah salah satu cara untuk memahami sumber agama, bukan menjadi sumber agama itu sendiri. (AN)
wallahu a’lam.