Dijatuhkannya Nabi Adam oleh Allah SWT ke bumi, setelah dia tergoda bujuk rayu iblis untuk memakan buah khuldi, kerap diartikan sebagai hukuman kepada Adam sebab dia tidak patuh terhadap perintah Allah SWT untuk tidak memakan buah terlarang itu.
Walhasil, Nabi Adam pun menjalani kehidupan yang baru, kehidupan yang sebelumnya penuh dengan kenikmatan surgawi, kini tergantikan dengan dunia yang penuh dengan kepedihan, penderitaan, dan kerasnya hidup.
Narasi turunnya manusia pertama ke bumi pada umumnya dipandang karena Nabi Adam telah ingkar kepada Allah SWT. Anggapan tersebut tak sepenuhnya salah, bahwa Adam memang telah melanggar perintah Tuhannya. Akan tetapi, filsuf Islam terkemuka abad 20, Muhammad Iqbal, memiliki interpretasi lain terhadap kisah kejatuhan manusia tersebut.
Dalam buku Rekonstruksi Pemikiran Religius dalam Islam, Iqbal menerangkan bahwa Al-Quran melukiskan bumi sebagai “tempat tinggal” manusia dan “sumber keuntungan” baginya. Berbeda dengan Bibel yang menggambarkan bumi sebagai tempat pembuangan Adam kerena pembangkangannya.
“Lalu setan memperdayakan keduanya dari surga sehingga keduanya dikeluarkan dari (segala kenikmatan) ketika keduanya di sana (surga). Dan Kami berfirman, “Turunlah kamu! Sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain. Dan bagi kamu ada tempat tinggal dan kesenangan di bumi sampai waktu yang ditentukan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 36)
Lebih lanjut, mengenai kata Jannah, dalam ayat yang mengisahkan kejatuhan manusia ke bumi, tidak bisa serta merta diartikan sebagai tempat tinggal kekal bagi orang-orang taat.
Jannah, menurut Iqbal, lebih digambarkan Al-Quran sebagai tempat bagi orang-orang taat yang akan menggilirkan piala minum di antara mereka; piala minum yang tidak akan menyebabkan pembicaraan tak berfaedah atau niat untuk berbuat dosa.
Selain itu, Jannah juga dilukiskan sebagai tempat “rasa letih tak akan menimpa orang-orang taat, juga dari tempat itu mereka tidak akan diusir.” Dalam kata Jannah yang disebutkan dalam kisah tersebut (turunnya Adam ke bumi), peristiwa yang pertama kali terjadi adalah pengusiran manusia dari surga karena sebuah dosa.
Jika kita menilik kembali kala Adam berada di surga, Iqbal mengemukakan bahwa surga atau jannah (taman) tersebut dimaknai sebagai tempat “tiada lapar atau dahaga atau panas dan telanjang.” Dari hal itu, Iqbal berkesimpulan bahwa Jannah dalam pemaparan Al-Quran adalah lukisan tentang suatu keadaan primitif ketika manusia benar-benar tidak berhubungan dengan lingkungannya. Dengan demikian manusia tidak merasakan desakan hasrat insaniahnya (kemanusiaan). Hanya pada saat kelahiran manusialah kebudayaan manusia itu bermula, yakni ketika ia berada di bumi.
Kemudian, dalam peristiwa Adam yang memakan buah pohon terlarang (buah khuldi), Iqbal berpandangan bahwa “pohon terlarang” yang dimaksud dalam Al-Quran tidak lain adalah tasawuf kebatinan yang mendorong pasiennya untuk mencari jimat atau mantra dibanding mengambil nasihat dari seorang dokter. Intinya, tasawuf tersebut mendorong manusia untuk meninggalkan cara-cara yang sulit dalam menundukkan alam.
Iblis pun membujuk Adam agar memakan buah terlarang itu, sehingga Adam menyerah. Hal ini terjadi bukan dikarenakan Adam lemah, tapi secara kodrati ia memliki sifat tergesa-gesa (‘ajul), sehingga dia pun berusaha mencari jalan pintas untuk memperoleh pengetahuan. Karena sifat yang ingin instan dalam memperoleh ilmu pengetahuan itulah, Adam akhirnya diusir Allah SWT ke bumi.
Bumi bisa dibilang sebagai lingkungan yang betapapun menyakitkan masih lebih cocok bagi pengembangan kemampuan intelektualnya. Di bumi, manusia dengan ego insani serta kemampuan berpikir yang dimiliki, bisa belajar tentang hal apapun, soal siang dan malam, binatang, tanaman, ekologi, iklim, hukum serta muamalah.
Dengan kemampuan akal pikir, intuisi, dan pencerapan indrawi maka manusia dituntut untuk mencari ilmu pengetahuan sebanyak mungkin. Hal ini mesti dilakukan sebab, seperti yang dikatakan Iqbal, observasi ilmiah terhadap alam menjaga kita untuk tetap melakukan kontak dengan realitas (kenyataan) sehingga mempertajam persepsi batin kita untuk mendapatkan pandangan yang lebih dalam terhadap-Nya. Pendek kata, apa yang dikatakan Iqbal bisa disebut sebagai “kesadaran akan Tuhan melalui ilmu.”
Bumi bisa disebut sebagai lumbung pengetahuan karena di bumi tempat makhluk ciptaan Tuhan hidup, segala pengetahuan muncul menunjukkan eksistensinya. Secara simbolik, melalui ciptaan Tuhan yang ada di bumi, manusia berupaya untuk memahami realitasnya. Manusia melalui daya pikirnya bisa melakukan penelitian secara ilmiah. Jadi, hal ini diperlukan guna manusia — khususnya Muslim — tidak hanya mengandalkan nasib saja (fatalisme), tapi juga ikut berusaha untuk memahami alam semesta ciptaan Tuhannya.
“Hidup tidak selamanya harus dituntun, maksudnya untuk mencapai kesadaran diri penuh, manusia pada akhirnya harus kembali pada kemampuannya sendiri,” tulis Iqbal. Dari sini, bisa ditarik kesimpulan bahwa turunnya Adam ke bumi bukan merupakan kejatuhan moral, melainkan transisi dari kesadaran awam menuju pencerahan melalui kesadaran diri, dari suatu keadaan primitif hasrat naluriahnya menuju kesadaran bahwa dia mempunyai suatu ego bebas dalam hidupnya.