Islam memperkenalkan “masa tunggu” yang disebut dengan iddah sebagai bentuk pembaruan kebudayaan perkawinan yang berlaku pada masyarakat Arab jahiliyyah dahulu.
Pada masa itu, pihak laki-laki bebas menceraikan istrinya kapan pun ia mau, sebab akad perkawinan pada masa itu tak lain merupakan bentuk akad jual, di mana pihak laki-laki merupakan pihak pembeli dan talak merupakan salah satu hak yang ia miliki untuk memutuskan tali perkawinan tanpa ada syarat tertentu. Dengan sistem iddah, hukum Islam memberikan tenggat untuk menunda dampak akibat talak yang berupa putusnya tali perkawinan.
Sedangkan tujuan dari iddah itu sendiri – sebagaimana disebutkan oleh Syekh Sulaiman bin Manshur al-Ijaili dalam kitab “Hasyiyah al-Jamal” (19/124) – adalah agar suami yang telah menceraikan istrinya itu berpikir kembali dan menyadari bahwa tindakannya itu tidak baik sehingga ia menyesal dan kembali lagi (ruju’) pada istrinya. Dan selama masa iddah ini pun, istri masih berhak untuk mendapatkan nafkah dari istrinya.
Nash (teks) hukum Islam secara tekstual hanya merumuskan sistem masa iddah yang berlaku bagi perempuan, seperti menjalani tiga masa haid, 4 bulan 10 hari bagi yang ditinggal mati oleh suaminya, atau sampai melahirkan bila ia ditalak dalam keadaan hamil. Tetapi nash tidak menyebutkan secara gamblang tentang masa iddah bagi suami. Hal ini seakan-akan hukum Islam bertentangan dengan keadilan sosial yang menjadi salah satu substansi dari semangat moral hukum Islam itu sendiri.
Namun bila kita menyelami lebih dalam kitab-kitab ulama yang mu’tabarah, maka kita akan menemukan “masa tunggu” yang berlaku bagi suami. Masa tunggu ini bisa disebut dengan iddah secara metamorfora (majaz), dan ulama lebih menyebutnya sebagai mani syar’i (halangan secara syariat). Dalam literatur-literatur fikih, seperti Syarh al-Yaqut an-Nafis, al-Fiqh al-Islami wa adillatuhu, I’anat at-Thalibin, dan al-Fiqh ala Madzahib al-Arba’ah, dijelaskan dua kondisi diberlakukannya masa iddah bagi laki-laki.
Pertama, jika seseorang laki-laki menceraikan istrinya dengan talak raj’i, dan dia mau menikahi seseorang yang tidak diperbolehkan untuk dikumpulkan dalam satu pernikahan, seperti saudara istri atau bibinya. Maka dalam hal ini ia harus menunggu selesainya iddah mantan istrinya agar dapat melangsungkan akad nikah.
Kedua, jika seseorang laki-laki mempunyai empat istri, kemudian ia mentalak salah satunya dengan talak raj’i untuk menikahi yang kelima. Dalam kasus ini ia tidak diperkenankan menikah dengan yang kelima sampai iddah yang dijalani oleh istri yang ditalak telah selesai.
Terdapat khilaf ulama terhadap masa tunggu dalam dua kondisi di atas. Apakah masa tunggu tersebut dikatakan iddah? Atau hanya penantian biasa yang dilakukan oleh suami.
Kalangan ulama Hanafiyah berpendapat bahwa masa tunggu tersebut tidak dikatakan iddah secara syar’i. Wahbah Zuhaili juga mengungkapkan pendapat yang senada. Menurutnya, laki-laki tidak memiliki masa iddah, sebab penantian tersebut hanyalah penantian wajib yang disebabkan oleh mani’ syar’i (penghalang secara syariat). Sehingga interval waktu yang dijalani oleh kaum laki-laki dalam masa tunggu tersebut sesuai dengan proporsi iddah yang dijalani oleh istri yang ditalak.
Sebagian ulama Malikiyah juga berpendapat yang sama dengan alasan bahwa iddah adalah masa indikator terhadap rahim, sehingga tidak berlaku bagi laki-laki karena tidak memiliki rahim.
Di sini kita dapat membaca bahwa teks-teks fikih tersebut tidak menjelaskan tentang masa iddah bagi suami yang ditinggal mati oleh istrinya. Jadi secara kepastian hukum, suami boleh langsung menikah tanpa harus menunggu interval waktu tertentu.
Tapi tindakan ini jelas akan bertabrakan dengan nilai-nilai moral dan etika (akhlak) yang berlaku di masyarakat. Sebab tak elok rasanya laki-laki melaksanakan akad nikah- yang tentu merupakan simbol kebahagiaan – pada saat keluarga atau orang sekitarnya sedang masa berkabung. Hal ini bertentangan dengan tujuan diterapkannya syaria’ah (maqashid asy-syariah), yaitu untuk menegakkan kemaslahatan hidup manusia, baik kemaslahatan khusus maupun kemaslahatan khusus.
Maka secara kemanfaatan hukum, masa tunggu harus diterapkan bagi suami yang ditinggal mati oleh istrinya. Mengenai interval waktunya mempertimbangkan ‘urf atau kebiasaan masyarakatnya dalam pelaksanaan masa berkabung bagi seseorang yang ditinggal mati oleh bagian anggota keluarganya. Dengan demikian, tindakan ini merupakan bentuk pelaksanaan tindakan yang mementingkan kemaslahatan umum.
Dengan mempertimbangkan etika moral serta kemaslahatan umum pula seyogyanya suami melaksanakan iddah pasca talak raj’i maupun ba’in. sebab –sebagaimana dijelaskan sebelumnya – disyariatkannya iddah lebih menekankan pada adanya introspeksi diri, berpikir ulang terhadap baik maupun buruknya perceraian.
Kewajiban introspeksi juga tidak hanya bagi perempuan, pun juga berlaku pada laki-laki. Iddah juga akan lebih memiliki nilai humanis apabila dipahami sebagai simbol kesedihan yang begitu mendalam bagi suami-istri atas terlepasnya ikatan yang telah mereka jalin selama ini, serta sebagai bentuk pengagungan terhadap eksistensi akad perkawinan sebagai perjanjian yang kokoh (mistqalan walidha), yang dalam hal ini relasi suami-istri tidak berdasarkan pada hierarki, dominasi-subordinasi, namun lebih pada hubungan kemitraan sehingga dapat mewujudkan kesetaraan serta keadilan gender dalam relasi antara laki-laki dan perempuan.
Dengan demikian, laki-laki perlu melaksanakan iddah sebagai bentuk introspeksi diri, menegakkan etika perceraian, dan juga untuk menjunjung serta mengagungkan ikatan perkawinan sebagai perjanjian yang kokoh (mitsqalan walidha). Masa iddahnya pun dikembalikan kepada adat istiadat masyarakat dengan mengacu pada interval waktu layak tidaknya ia menikah lagi.
Hal itu mesti dilakukan untuk menghindari sakit hati dari pihak perempuan maupun keluarganya karena tindakan laki-laki yang melampaui batas etika moral pasca terjadi perceraian.
Wallahu a’lam.