Adakah Hukum Halal yang Mutlak dan Tidak Bisa Diganggu Gugat?

Adakah Hukum Halal yang Mutlak dan Tidak Bisa Diganggu Gugat?

Adakah Hukum Halal yang Mutlak dan Tidak Bisa Diganggu Gugat?
Kulkas Halal muncul, bagaimana sih kita bersikap?

Kita sering kali mendengar sebuah hadis yang menjelaskan bahwa semua perkara halal dan haram itu sudah jelas (haram mutlak dan halal mutlak). Hadis tersebut biasanya digunakan untuk memberi tahu kepada jamaah agar menghindari perkara yang haram. Diriwayatkan oleh Bukhari, hadis tersebut berbunyi:

إِنَّ الْحَلَالَ بَيِّنٌ، وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ، وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لَا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ، وَعِرْضِهِ

“Sesungguhnya perkara yang halal itu jelas, begitupun juga perkaran yang haram. Di antara keduanya terdapat perkara syubhat yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Barangsiapa yang menghindarkan diri dari perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya.” (H.R. Bukhari-Muslim)

Mengomentari hadis tersebut, Imam Abu Hamid al Ghazali (w. 505 H) dalam kitab Ihya’ Ulumiddin menyebutkan sebuah istilah “al Halal al Mutlak”, yakni halal mutlak alias absolut. Beliau mendefinisikan,

الحلال المطلق هو الذي خلا عن ذاته الصفات الموجبة للتحريم في عينه، وانحل عن أسبابه ما تطرق إليه تحريم أو كراهية

Jika diterjemahkan secara bebas, yang dimaksud halal mutlak adalah sesuatu yang secara ain (bentuk) atau sebab keberadaannya tidak memiliki  sifat-sifat keharaman atau pun yang berpotensi mengarah pada keharaman atau juga mengarah pada hal yang dimurkai.

Namun definisi haram mutlak menurut Imam al-Ghazali ini agak susah jika kita simulasikan dengan hal-hal yang terjadi sekarang.

Misalnya, orang yang jualan pulsa atau kuota. Lalu kuota itu digunakan orang lain untuk berbagai hal. Ada yang digunakan untuk menyebarkan nilai-nilai kebaikan dan ilmu-ilmu Islam, ada juga yang menggunakannya untuk berbuat maksiat dan dosa, seperti: selingkuh, menyebar hoak, adu-domba, dan sejenisnya. Jika kita arahkan pada definisi di atas, apakah uang yang didapat oleh orang yang jualan pulsa atau kuota tersebut jadi haram mutlak?

Contoh kedua, orang beribadah haji. Ia pasti melibatkan bank dalam proses pembiayaannya. Ada yang bilang bank syariah, tetapi muaranya juga bank konvensional (non syariah), yang namanya bank induk, Bank Indonesia (BI) dan Bank Swiss. Belum lagi, soal uang pesan kursi yang diputarkan pada bisnis yang bercampur ini dan itu. Nah, bagaimana uang untuk ongkos hajinya, halal-mutlakkah?

Ketiga, pegawai dan karyawan di berbagai institusi negara, yang digaji melalui pajak. Pajak bisa didapat dari berbagai hal, termasuk pajak dari usaha hiburan, dugem-dugem, miras, dan sejenisnya. Lalu, apakah termasuk halal mutlak?

Keempat, penjual makanan dan minuman. Di antara pembelinya ada yang menggunakan makan dan minum untuk menguatkan tenaga supaya giat ibadah dan giat bekerja. Namun, ada juga pembeli yang menggunakannya supaya kuat berdiri dalam melakukan kedzaliman dan kriminal. Lalu apakah termasuk halal-mutlak?

Begitu juga dengan beberapa contoh lain. Maka, pemaknaan halal menurut Imam Al-Ghazali begitu ketat. Sepertinya, sangat sulit sekali ditemukan halal mutlak di kehidupan saat ini. Coba ditanyakan; “Wahai Imam Ghazali, apa contoh ril halal mutlak?”

Imam Ghazali menjawab, “Ada.”

ومثاله الماء الذي يأخذه الإنسان من المطر، قبل أن يقع على ملك أحد، ويكون هو واقفا عند جمعه، وأخذه من الهواء في ملك نفسه.

Contohnya, Air hujan yang dikonsumsi oleh seseorang sebelum jatuh di area milik orang lain, dengan cara ia berdiri di atas tanah miliknya sendiri, lalu menengadahkan mulutnya langsung ke langit.

Nah silahkan disimulasikan yaa, betapa sulitnya menghindari perkara haram mutlak di masa sekarang.

Akan tetapi, berkenaan hal ini, menarik juga untuk menelaah pandangan Syeikh Abdul Qadir al Jaelani. Beliau dalam kitabnya Al Ghunyah Li Thaalibiy Thariq Al Haqq mengatakan;

فالحلال حلال حكم لا حلال عين

Yang dimaksud al halal itu adalah halalnya sesuatu secara hukum, bukan halal secara ‘ain (kewujudan sesuatu dan proses kewujudannya).

Misalnya, seseorang memakan ayam goreng (sudah mati / mayyitah). Ini halal secara hukum. Adapun, secara ‘aini (kewujudan ayam goreng dan proses kewujudannya), ayam tersebut bisa saja mengkomsumsi kotoran, plastik, nyuri makanan tetangga, dan lainnya. Kemudian, dari proses makan yg demikian, tumbuhlah daging dan makin gemuk. Lalu, ayam itu disembelih dan digoreng, maka jadilah Ayam Goreng. Nah, kategori halal tidak mencakup hukum ‘aini yg begitu detail ini.

Kemudian, Syeikh Abdul Qadir al-Jaelani menyandarkan hal tersebut pada sebuah riwayat hadis;

ان النبي سمع رجلا يقول: اللهم ارزقني الحلال المطلق. فقال له النبي: ذلك رزق الأنبياء سل الله رزقا لا يعذبك عليه

Bahwasanya Nabi pernah mendengar seseorang berdoa, “Ya Allah, anugerahkanlah kepadaku Rizki Al Halal Al Mutlak. Lalu, Nabi menasehatinya, “Yang demikian itu adalah rizki para Nabi, mintalah kepada Allah Rizki yang kamu tidak diadzab atasnya.”

Demikianlah, makna halal. Akan tetapi, dalam hal ini pula, seyogyanya umat Islam berhati-hati dan waspada, dengan selalu mengingat firman Allah ta’ala:

وَلَا تَقُولُوا۟ لِمَا تَصِفُ أَلۡسِنَتُكُمُ ٱلۡكَذِبَ هَذَا حَلَال وَهَذَا حَرَام لِّتَفۡتَرُوا۟ عَلَى ٱللَّهِ ٱلۡكَذِبَۚ إِنَّ ٱلَّذِینَ یَفۡتَرُونَ عَلَى ٱللَّهِ ٱلۡكَذِبَ لَا یُفۡلِحُونَ

Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “Ini halal dan ini haram,” untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidak akan beruntung. (Q.S. An Nahl 116). (AN)

Wallahu a’lam.