Ali putra Abi Thalib tergesa-gesa berjalan pada suatu subuh. Dia sedang memburu waktu shalat berjamaah dengan Nabi Muhammad s.a.w. di masjid tapi langkahnya terhambat oleh langkah seorang laki-laki tua yang lamban berjalan di depannya.
Ali cemas akan ketinggalan shalat berjamaah tapi dia tak punya pilihan. Dia melambatkan langkahnya mengikuti laki-laki tua itu demi menghormati ketuaannya. Hingga menjelang masuk ke masjid, tahulah Ali, orang tua itu tidak masuk ke masjid. Dia adalah seorang Nasrani.
Lalu masuk ke masjid, Ali mendapati Nabi masih memimpin shalat subuh dan sedang ruku’ pada rakaat yang masih bisa diburu. Terlihat, Nabi memperpanjang waktu ruku’ sekitar dua kali waktu ruku’ sehingga Ali masih bisa mengejar rakaat terakhir.
Usai shalat, para sahabat yang ikut berjamaah segera bertanya kepada Nabi: gerangan apa yang membuat Nabi memperpanjang waktu ruku’. Nabi lantas bercerita bahwa pada saat ruku’, dia sebetulnya hendak mengangkat kepala untuk berdiri hingga Jibril datang dan merentangkan sayapnya di atas punggungnya lama sekali. Baru ketika sayap itu diangkat, Nabi bisa mengangkat kepala.
“Mengapa Jibril melakukan hal itu wahai Rasul?” Nabi menjawab dirinya tidak tahu, tapi Jibril segera datang kembali dan menjelaskan kepada Nabi.
”Wahai Muhammad, sesungguhnya aku merentangkan sayap di punggungmu hanya karena Ali tergesa-gesa mengejar shalat subuh berjamaah, tapi terhalang langkah seorang laki-laki tua Nasrani yang berjalan di depannya. Ali tidak berani mendahului orang tua itu. Dia menghormatinya karena ketuaannya dan memberi hak orang tua itu berjalan. Maka Allah memerintahkan malaikat Mikail mengekang laju matahari dengan sayapnya agar waktu subuh menjadi panjang. Itu semua dilakukan hanya demi Ali.”
Syahdan, Nabi menjelaskan kepada para sahabat yang berjamaah shalat subuh dengannya saat itu bahwa seperti itulah derajat orang yang memuliakan orang tua, kendati orang tua itu adalah seorang Nasrani.
Kisah Ali yang memburu waktu shalat subuh dan terhalang oleh langkah orang tua itu, diceritakan di buku Al Mawa’izihul ‘Usfuriyah [nasihat-nasihat burung pipit]. Hikayat itu bercerita tentang adab yang nilainya lebih penting dari ibadah sebab Nabi Muhammad s.a.w. diutus untuk memperbaiki adab, akhlak itu. Dan cerita tentang pentingnya adab dalam ajaran Islam itu bertebaran di Al Quran dan hadis.
Salah satunya adalah hadis otentik [sahih] yang diriwayatkan oleh Bukhari berdasarkan cerita dari Jabir putra Abdullah kepada Ubaidillah putra Muqsim kepada Yahya kepada Hisyam. Hadis itu menceritakan tentang kisah tentang Sahal putra Hunaif r.a. dan Qais putra Sa’ad r.a.
Sewaktu keduanya berada di Qadisiyah dan sedang bersantai, lewatlah di depan mereka iring-iringan jenazah. Keduanya berdiri untuk menghormati jenazah itu tapi orang-orang yang melihat sikap dua orang itu keheranan. Menurut orang-orang, jenazah yang diantar oleh iring-iringan itu adalah jenazah seorang dimmi [bukan Muslim] sehingga mereka bertanya kepada Sahal dan Qais alasan mereka berdiri untuk menghormatinya.
Dua orang itu lantas menceritakan kisah dari Abdur Rahman r.a. bahwa sesungguhnya pernah pada suatu hari, Rasulullah berdiri dan diam sewaktu lewat di depannya iring-iringan orang yang mengantar jenazah seorang Yahudi. Para sahabat pun mengikuti perilaku Nabi, tapi setelah itu mereka menjelaskan kepada Nabi bahwa iring-iringan orang itu mengantar jenazah seorang Yahudi.
Nabi yang mendengarkan penjelasan itu menjawab, “Aku tahu, tapi tidakkah si fulan [orang Yahudi yang mati] juga manusia?”
Dalam sebuah hadis sahih Muslim diceritakan bahwa Nabi menjelaskan bahwa sesungguhnya kematian adalah peristiwa yang menggetarkan. Karena itu, “Apabila kalian melihat iringan jenazah, berdirilah untuk menghormatinya sampai iringan jenazah itu lewat meninggalkan kalian atau sampai diletakkan dalam kubur.”
Cerita lain soal adab dalam ajaran Islam adalah kisah tentang Juraid. Dia seorang ahli ibadah dan pada suatu hari ketika sedang menunaikan shalat, ibu kandungnya memanggilnya. Juraid karena sedang shalat tidak menjawab panggilan ibunya itu. Ibunya lantas mendatanginya, menyentuh kepala Juraid di antara kening dan telinganya. “Wahai Juraid, aku ibumu jawablah panggilanku.”
Juraid tentu mendengar panggilan ibunya tapi dia memilih untuk meneruskan bershalat. Ibunya kembali mendatanginya dan memanggilnya. Juraid masih meneruskan shalatnya. Kejadian itu berulang hingga tiga kali, sampai ibu Juraid meninggalkannya lalu bermunajat kepada Allah. “Ya Allah sesungguhnya Juraid adalah anakku. Aku sudah memanggilnya berulang-ulang tapi dia enggan menjawab. Maka janganlah Engkau matikan dia sebelum dia mendapat fitnah yang disebabkan oleh perempuan pelacur.”
Beberapa waktu setelah kejadian itu, seorang penggembala kambing dan seorang perempuan berzina tak jauh dari tempat Juraid biasa bershalat. Singkat cerita perempuan itu hamil lalu melahirkan. Dan ketika orang ramai bertanya kepada perempuan itu bapak dari bayinya, dia menjawab, bapak dari bayinya adalah Juraid.
Orang-orang lantas mendatangi tempat Juraid. Mereka berteriak memanggil Juraid tapi Juraid yang sedang bershalat tidak mengindakan. Mereka mengamuk dan merobohkan tempat ibadah Juraid dan setelah selesai shalat, Juraid yang menemui orang-orang itu terkejut karena orang-orang telah menuduhnya berzina. “Tanyalah anak ini.”
Juraid tak punya pilihan. Sembari mengusap kepala si bayi, dia pun bertanya seperti yang dikehendaki orang-orang yang sedang marah: “Siapa bapakmu?” Dan ajaib, bayi itu menjawab, bapaknya adalah seorang penggembala kambing.
Kisah tentang Juraid itu diceritakan oleh Nabi pada saat dia menjelaskan tentang tiga orang yang dapat berbicara sewaktu bayi. Orang pertama adalah Isa putra Maryam. Orang kedua adalah Ashabul Ukhdud yang tercantum dalam surat Al‐Buruj. Dan orang ketiga adalah bayi dalam kisah Juraid.
Dinukil dari hadis itu, Juraid melihat wajah pelacur seperti yang diharapkan dalam doa ibunya yang kecewa karena Juraid tidak memenuhi panggilannya karena menunaikan shalat. Istimbat ulama menyepakati bahwa shalat harus dibatalkan demi memenuhi panggilan ibu. Taat dan adab kepada orang tua harus didahulukan dari ibadah.
Dalam hadis yang lain, Ibnu Hazm bahkan meriwayatkan bahwa seseorang dilarang berjihad melainkan mendapat izin orang tuanya, kecuali pada saat itu musuh sudah menyerang mereka. Wallahu ‘alam.[]
Rusdi Mathari adalah jurnalis. Tinggal di Jakarta.