Ada yang Korupsi di Masjid, Memangnya Islam Mengajarkan Korupsi?

Ada yang Korupsi di Masjid, Memangnya Islam Mengajarkan Korupsi?

Ada yang Korupsi di Masjid, Memangnya Islam Mengajarkan Korupsi?

Sekali lagi, Ibu Pertiwi bersusah hati karena ada anak-anaknya yang kembali tertangkap basah melakukan korupsi. Yang teraktual, Bupati Cianjur bersama beberapa oknum jajarannya terkena operasi tangkap tangan (OTT) KPK ketika sedang bertransaksi uang haram pada Rabu, 12 Desember 2018 lalu sekitar pukul 5 pagi (Kompas, 13 Desember 2018, hal. 5).

Ada tiga fakta yang makin membuat kita prihatin akan kasus ini di samping tindakan korupsi itu sendiri yang sudah membikin geram. Pertama, dunia baru saja memperingati Hari Anti Korupsi pada 9 Desember kemarin. Di pelbagai tempat di Indonesia hari tersebut diperingati dengan gegap gempita. Tapi sebalnya, kalau ibarat tanah kuburan, belum sempat tanah itu mengering, eh sudah korupsi lagi.

Kedua, tahukah kamu, dana yang dikorupsi bupati tersebut adalah dana alokasi khusus untuk pendidikan yang seharusnya dipakai untuk membangun, merenovasi, dan melengkapi sekolah! Kalau kita ribut-ribut mengapa pendidikan Indonesia tertinggal dari banyak negara maju di dunia, jawabannya jelas: dana pendidikan justru ditilep, kapan negara kita bisa maju?

Ketiga, transaksi bagi-bagi rasuah itu dilakukan di halaman masjid setelah mereka menunaikan shalat Subuh! Apa-apaan ini?

Saya merasa tergelitik untuk bertanya. Kok bisa-bisanya orang sehabis sembahyang langsung bagi-bagi duit haram bahkan masih di dalam kompleks tempat ibadah? Apakah rasa takut akan Tuhan sudah tidak manjur untuk mencegah orang berbuat batil seperti itu?

Bayangkan, korupsi di masjid, setelah shalat Subuh pula! Lebih lanjut, saya memberanikan diri bertanya, jangan-jangan ada ajaran Islam yang memperbolehkan korupsi? Supaya tidak sembarangan menghakimi, saya tidak mau buru-buru menjawab sebelum mencari tahu lebih dahulu bagaimana pandangan Islam mengenai korupsi.

Sebuah buku baru terbitan Gramedia berjudul Korupsi: Melacak Arti, Menyimak Implikasi karya B. Herry Priyono amat membantu saya melacak beberapa pandangan Islam mengenai korupsi. Dalam QS Al-Baqarah 2:188, Allah SWT bersabda, “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”

Jadi, korupsi dalam Quran dipahami sebagai “suap sebagai pemberian kepada hakim dan pembuat putusan lain ke arah pertimbangan atau keputusan yang menguntungkan pemberinya.” Quran juga melarang umat Allah memakan harta sesama dengan jalan batil, melarang untuk memakan uang haram (sogokan, dsb); memerintahkan umat Allah untuk bersaksi benar dan menetapkan perkara dengan adil.

Lantas bagaimana menurut Hadits Nabi Muhammad SAW? Dalam HR. at-Tirmizi Nabi berkata, “Janganlah kamu mengambil sesuatu apapun tanpa izinku, karena hal itu adalah ghulul (pendapatan yang diperoleh melalui kecurangan), dan barangsiapa melakukan ghulul, maka ia akan membawa baran yang digelapkan/dikorupsi itu pada hari kiamat.” Sementara dalam HR. Ahmad, “Dari Abu Humaid as-Sa’idi (diriwayatkan) bahwa Rasulullah SAW bersabda, pemberian kepada para pejabat adalah ghulul.”

Di samping Quran dan Hadis, ternyata ada beberapa pemikir Islam yang punya pandangan tertentu mengenai korupsi. Salah satu yang paling terkenal dan penting adalah Ibn Khaldun (1332-1406). Pemikirannya mengenai korupsi dituangkannya dalam Muqaddimah Kitab al-‘Ibar.

Menurut Ibn Khaldun, ada dua corak masyarakat, yakni nomaden dan menetap. Ciri masyarakat nomaden adalah mengembara jauh di padang gurun, sementara masyarakat menetap biasanya menghuni desa atau kota dan bekerja sebagai pedagang atau perajin. Masyarakat Arab pun mengalami dua periode tersebut. Korupsi, menurut Ibn Khaldun, mulai merebak di kalangan masyarakat bercorak menetap. Kok bisa?

Penjelasannya demikian. Ketika suatu masyarakat berada dalam corak nomaden, mereka hidup dengan membatasi diri pada kebutuhan dasar. Orang nomaden tidak begitu peduli pada kemewahan, kenyamanan, dan hasrat duniawi karena mereka toh tidak dapat menikmatinya mengingat keharusan untuk segera pindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Sebaliknya bagi orang menetap, aspek kenyamanan, kemewahan, dan pemuasan kepentingan duniawi sangat penting untuk dikejar.

Ketika orang mulai hidup untuk mencari kenyamanan dan kemewahan, di situlah korupsi mulai dilakukan dan semakin lama menjadi semakin masif. Maka menurut Ibn Khaldun, korupsi timbul akibat adanya kemerosotan nilai kehidupan, yakni dari nilai perjuangan tanpa henti menjadi sekadar cari kenyamanan dan kemewahan. Dalam bahasa Syed Hussein Alatas, “Ibn Khaldun memandang penyebab/akar korupsi adalah nafsu akan kehidupan mewah di antara kelompok yang berkuasa.”

Berdasarkan Quran, Hadits, dan pemikiran salah satu filsuf Islam yang terkenal Ibn Khaldun, sebenarnya sudah sangat jelas dan meyakinkan, Islam melarang korupsi dan mengutuknya seabagai perbuatan laknat. Islam mengajarkan korupsi sebagai kemerosotan yang harus diperangi karena bertentangan dengan rasa keadilan, salah satu nilai penting yang dipromosikan ajaran Islam. Pertanyaannya, kok bisa ada orang Islam yang korupsi di tempat yang disucikan dan langsung setelah mengamalkan ibadah shalat Subuh yang suci pula? Jelas, ini tidak bisa diterima baik secara akal sehat maupun secara hukum agama!

Ada banyak penjelasan yang dapat dikemukakan. Tetapi saya tergerak untuk menyampaikan ulang pendapat Prof. Dr. Komaruddin Hidayat yang disampaikannya dalam acara Sarasehan Pustaka buku Korupsi di Gedung KPK, Kamis, 13 Desember 2018 kemarin. Menurut beliau, inilah yang mungkin terjadi ketika orang mencampuradukkan hukum dunia dan hukum agama.

Menurut hukum dunia, tindakan korupsi mau tidak mau dan suka tidak suka adalah pelanggaran hukum serta sanksinya jelas dan tegas. Hukuman penjara, denda, dan pidana lainnya siap menanti para koruptor dan pelanggar hukum lainnya.

Akan tetapi, hukum agama lain sama sekali. Sumber dan hakim atas hukum agama adalah Allah sendiri. Benar bahwa korupsi dan perbuatan jahat lainnya dilaknat Allah. Tetapi penghakimannya kan baru akan dilaksanakan di akhirat nanti! Sudah begitu sifat Allah adalah Ar-Rahman dan Ar-Rahim. Siapapun yang berdosa dan bersalah akan diampuni dan dikasihani bila bertobat dan mohon ampun pada-Nya! Kapan koruptor bisa diberantas kalau pakai hukum agama?

Akhirnya, ada dua hikmah yang menurut saya dapat dipetik dari tulisan ini. Pertama, saya makin yakin bahwa hukum agama, apapun itu, tidak dapat dipakai untuk mengelola suatu negara. Mengelola negara urusannya murni duniawi sebaliknya hukum agama urusannya nanti, dipertanggungjawabkan di hadapan Allah di akhirat. Dua hukum ini berada di tataran yang berbeda.

Kedua, saya makin percaya bahwa Allah itu Mahaadil. Hampir pasti, si bupati dan oknum-oknum yang terjaring OTT KPK di halaman masjid itu sudah merencanakan transaksi rasuah tersebut sebelumnya. Mungkin mereka menunaikan shalat Subuh pagi itu salah satunya untuk memohon ampunan dan kerahiman-Nya atas perbuatan jahat yang telah mereka rencanakan dan akan mereka laksanakan. Pikir mereka, Allah Ar-Rahman Ar-Rahim pasti akan mengampuni dosa-dosa manusia yang lemah itu. Namun agaknya mereka lupa bahwa Allah juga Mahaadil. Keadilan Allah pulalah yang akhirnya membawa mereka ke proses hukum untuk mempertanggungjawabkan perbuatan kotor mereka itu.

Wallahu’alam.