Jualan di Tiktok itu biasa, namun menawarkan beragam program keberangkatan umrah di platform tersebut cukup mengejutkan saya. Mungkin, tak ada hal yang aneh jika jasa travel umrah ditawarkan Tiktok. Akan tetapi, kita akan mendapati pergeseran di ranah ibadah ke tanah suci. Apa itu?
Sebelumnya, beberapa waktu lalu, kita sempat dihebohkan aksi jualan kain kafan dengan menampilkan figuran mayat di setiap jualanlive. Jauh sebelum heboh, si penjual kafan sudah beberapa kali mengikuti di berbagai even-even Islami. Bahkan seorang artis pernah membuat konten di akun media sosial miliknya kala membeli satu set kain kafan tersebut.
Tiktok memang bukan platform pertama yang memungkin pemilik akun terlibat dalam lokapasar. Namun, Tiktok menyediakan beragam kemudahan dan tawaran menarik dalam bertransaksi. Dengan memiliki akun media sosial, seseorang bisa menjajakan apapun dan menghasilkan pundi-pundi daripadanya. Walhasil, banyak orang yang terlibat di dalamnya.
Kembali ke akun travel menawarkan jasa layanan keberangkatan umrah, penawaran yang dihadirkan oleh travel umrah di live Tiktok adalah kemudahan akses. Pemirsa bebas untuk bertanya dan berkonsultasi, tanpa terbatas ruang dan waktu, apalagi harus mendatangi kantor travel.
Inilah wajah ibadah kita hari ini.
***
Media digital telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita sehari-hari, dan di saat bersamaan juga membangun narasi, identitas, dan praktik keagamaan kita di ruang-ruang daring (online) maupun luring (offline). Walhasil, kita mungkin tidak ragu untuk menyebut media sosial berdampak cukup besar atas keberagamaan kita.
Ritual keberagamaan kita hari ini dipraktikkan dan dihadirkan kembali melalui media dan budaya digital pun tak terhindarkan mengalami perubahan atau ditawar-tawar. Kondisi ini disebut Heidi Campbell, akademisi, sebagai agama di tengah konvergensi media. Untuk itu, Heidi menawarkan konsep “Praktik konvergensi.”
Istilah tersebut merujuk pada upaya melihat internet telah membuka kemungkinan untuk terciptanya agama dipraktikkan secara hibrida, yang dibentuk melalui pengumpulan berbagai jenis pengetahuan dan praktik, serta mempraktikkannya secara bersamaan di ruang daring dan luring. Praktik ini malah telah lama kita jumpai dalam satu atau dua dekade terakhir ini, bahkan telah menjadi bagian dari kehidupan kita hingga hari ini.
Internet berkelindan dengan ritual keagamaan bukan barang baru. Sebelum kehadiran internet, kita telah mengalami proses serupa sejak media muncul di tengah kehidupan kita, seperti bunyi sirine penanda masa berbuka atau berakhirnya waktu sahur, televisi yang menyiarkan salat tarawih di Mekah atau Madinah, hingga layanan transfer zakat.
Praktik konvergensi dalam ritual keberagamaan kita semakin massif pasca kehadiran internet. Kala internet mulai berkelindan dengan agama, entah disadari atau tidak, maka wajah keberagamaan kita tidak pernah lagi sama. Ada banyak perubahan, pergeseran, hingga proses tawar-menawar dalam proses tersebut. Banyak hal-hal baru yang muncul dan tak jarang mempengaruhi diskursus keberagamaan yang selama ini kita jalani.
Haji dan umrah pun tak luput termasuk di dalamnya.
***
Sebagaimana ritual peribadatan lain, ibadah haji dan umrah hari ini tidak lagi sekedar urusan berangkat ke tanah suci. Media sosial berperan besar menghadirkan beragam ekspresi baru, tak terkecuali umrah dan haji. Dulu beragam informasi layanan di prosesi haji dan umrah, baik resmi atau tidak, masih terbilang minim. Internet “memaksa” seluruh informasi pelayanan bisa diakses atau minimal diketahui jemaah.
Beberapa waktu lalu, saya mendapati video seorang vlogger yang menggambarkan dia sedang tawaf sekaligus bertransaksi terkait “Ojek Hajar Aswad.” Transaksi tersebut menyangkut jasa “pengamanan” kala melakukan proses mencium Hajar Aswad, yang terkenal padat dan tak jarang terjadi kekerasan fisik di dalamnya. Jualan jasa travel umrah mungkin terlihat biasa. Benarkah?
Selain urusan komodifikasi, jualan jasa umrah di internet sebenarnya semakin memuluskan perubahan pada pandangan masyarakat modern, khususnya perkotaan, tentang jemaah atau kelompok. Dulu, umrah dan haji, walaupun dilakukan pribadi, malah dipandang ibadah kelompok. Untuk itu, masyarakat Muslim selalu berangkat dalam bingkai kelompok, ketimbang pribadi.
Dulu, masyarakat Muslim biasanya mengawali perjalanan haji atau umrah dengan memilih otoritas yang terlibat dalam mengajarkan hingga mendampingi keberangkatan mereka. Bahkan, hingga lima tahun lalu, sosok otoritas agama biasanya menjadi tawaran paling awal selain harga kala travel menawarkan jasanya. Walaupun, masih bisa dijumpai, model keberangkatan ini sepertinya mulai ditinggalkan. Kita bisa cek flyer atau spanduk keberangkatan umrah atau haji.
Hari ini, keberangkatan umrah dan haji telah bergeser cukup ekstrim, kalau tidak dibilang revolusioner. Sebab, tren ibadah hari ini yang semakin personal dan meninggalkan model-model komunal juga terjadi di haji, terutama umrah. Akibatnya, jualan jasa pelayanan keberangkatan umrah di platform macam TikTok tak terhindarkan. Masyarakat muslim hari ini bisa memesan keberangkatan ke tanah suci tanpa harus terikat dengan otoritas agama atau kelompok tertentu.
Hari ini, masyarakat muslim bisa menikmati perjalanan tanpa bimbingan dari kyai atau ulama yang telah membimbing atau membantu mereka, dalam mengakses beragam layanan dalam haji atau umrah. Bimbingan ibadah biasanya digantikan dengan layanan yang disediakan oleh travel yang merekrut diaspora Indonesia yang telah bermukim lama di Arab Saudi.
Selain itu, kehadiran banyak aplikasi dan layanan ibadah secara daring juga mulai menggantikan posisi otoritas agama. Kala seorang muslim semakin dimudahkan untuk mengakses beragam layanan haji atau umrah tanpa harus terhalang kendala bahasa atau hukum agama, maka posisi otoritas pun semakin tergantikan.
Tren ibadah umrah atau haji backpacker mungkin contoh lain yang menggambarkan kepada kita bagaimana pergeseran tersebut. Biaya untuk otoritas, barang, atau layanan lainnya biasa digantikan dengan hanya menginstall beragam aplikasi, seperti Nusuk hingga Uber.
Jualan layanan umrah di TikTok hanya secuil cerita bagaimana apa yang disebut oleh Heidi dengan praktik konvergensi, dalam hal ini perjalanan ke tanah suci, menjadi tak terhindarkan. Media telah banyak mengubah, menggeser, bahkan membantu kita menawar-nawar beragam tradisi keberagamaan kita.
Fatahallahu alaina futuh al-arifin