Sebagian ulama berasumsi bahwa Islam tidak bertentangan dengan seni. Padahal seni adalah sarana interaksi dengan hati dan yang berkaitan dengannya, seperti perasaan, cinta, dan keadilan. Seni membuka diri dengan kebaikan dan menjauhi keburukan. Seni juga dapat membedakan antara kebaikan dari sebuah perbuatan baik. Begitu juga sebaliknya. musik dalam Al-Quran
Yang mempertentangkan antara Islam dan seni adalah mereka yang melihat seni sebagai sesuatu yang lahir dari hawa nafsu dan dilakukan untuk kepentingan seni semata. Sementara seni yang digunakan Al-Quran adalah seni untuk mereformasi dan memperbaiki keadaan manusia. Untuk merealisasikan hal itu, seni tentu tidak bisa dilepaskan, karena tidak mungkin memperbaiki jiwa dan hati seseorang tanpa melalui jalur seni. (Jamal al-Banna, 1999) Bahkan, panca indra pun bisa tunduk olehnya. Seperti yang tertuang dalam QS. al-Zumar [39]: 23 yang artinya:
“Gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang pemimpinpun.”
Rasulullah juga menyatakan bahwa hati dapat memperbaiki (dan merusak) jiwa seseorang sebagaimana yang tertuang dalam hadis yang artinya:
Dikisahkan oleh Abu Nu’aim, diriwayatkan Zakariya’ dari ‘Amir berkata: Aku mendengar an-Nu’man bin Bashir berkata, Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya yang halal itu jelas, dan yang haram itu jelas. Dan di antara keduanya terdapat perkara-perkara syubhat (samar, belum jelas) yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Maka Orang yang menjaga (dirinya) dari syubhat, ia telah melepaskan diri (demi keselamatan) agama dan kehormatannya. Orang yang terjerumus ke dalam syubhat, ia pun terjerumus ke dalam (hal-hal yang) haram. Bagaikan seorang penggembala yang menggembalakan hewan ternaknya di sekitar kawasan terlarang, maka hampir-hampir (dikhawatirkan) akan memasukinya. Ketahuilah, sesungguhnya setiap penguasa (raja) memiliki kawasan terlarang. Ketahuilah, sesungguhnya kawasan terlarang Allah adalah hal-hal yang diharamkan-Nya. Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging. Apabila segumpal daging tersebut baik, (maka) baiklah seluruh tubuhnya. Dan apabila segumpal daging tersebut buruk, (maka) buruklah seluruh tubuhnya. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati”. [H.R. al-Bukhari. Sahih al-Bukhari, vol. I, hadis ke-52]
Adalah kurang tepat sebuah pemikiran yang menyatakan Al-Quran merupakan kitab sastra, sehingga penafsiran yang dihasilkan berkutat kepada al-i’jaz al-bayani. Al-Quran adalah kitab seni terbesar dan kemukjizatan terbesarnya adalah penggunaan bahasa sebagai alat untuk memahami seni yang terdapat dalam Al-Quran.
Rahasia kemukjizatan (pembacaan) musikal yang dimunculkan dari Al-Quran bisa menjadi pendekatan psikologis, hanya dengan mendengar bacaan Al-Quran. Ini adalah karakteristik seni. Hanya dengan mendengarkan seseorang bisa tercuci otaknya, seperti penikmat musik di Barat yang tercuci otaknya ketika mendengarkan Beethoven atau opera-opera musikal. Hal ini juga ditegaskan dalam Al-Quran surah al-Hashr [59]: 21: yang artinya:
“Kalau sekiranya Kami turunkan Alquran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berpikir.”
Untuk membumikan nilai seninya, Al-Quran menggunakan pendekatan baru dalam pengungkapan. Sebuah cara yang tidak terkenal sebelumnya. Dalam tradisi Arab, hanya ada pengungkapan nathar (prosa) yang kekuatannya terletak pada keserasian makna dan konteks, atau syair yang kekuatannya terletak di penyeragaman kata akhir.
Al-Quran datang dengan pendekatan baru. Dia bukan nathar karena di setiap akhir kata terdapat “kunci”, bukan juga syair karena dia tidak mengikuti jalur syair seperti wazan (aturan dalam syair arab) dan keseragaman kata akhir (qawafi). Pendekatan yang diusung Al-Quran tidak pernah terbayangkan oleh orang-orang Arab sebelumnya. Tidak seorang pun bisa meniru gaya bahasa dan penyampaian Al-Quran.
Oleh karenanya, benar bila dikatakan bahwa bahasa Arab adalah nathar, syair, dan Al-Quran (inna al-lughah al-‘Arabiyyah nathrun, wa shi’run, wa Qur’anun). Gaya penyampaian Al-Quran ini berpengaruh besar terhadap orang-orang yang menggunakan bahasa Arab, dan pada akhirnya menjadi bagian tak terpisahkan dari susunan kalimat bahasa Arab. [al-Banna, Nahw Fiqh Jadid, Vol. I, 156-157]
Dalam konteks seni, hal pertama yang dapat dipahami manusia adalah struktur musik, sebab Al-Quran harus disuarakan melalui pembacaan. Maka, membaca Al-Quran yang baik membutuhkan pendengaran dan talaqqi (membaca di hadapan guru).
Dalam Al-Quran, terdapat kalimat-kalimat yang membutuhkan cara khusus dalam membacanya. Contohnya, dalam surah al-Fajr “alam tara kayfa fa’ala rabbuka bi’ad” (Apakah kamu [Muhammad] tidak mengetahui apa yang dilakukan Tuhanmu terhadap kaum ‘Ad). Kalimat “alif–lam-mim” dalam ayat ini dibaca “alam”. Padahal dalam ayat lain dengan tulisan yang sama dibaca “alif–lam-mim” seperti yang terdapat dalam awal surah al-Baqarah.
Karena itu, bacaan Al-Quran pertama kali semestinya dibacakan kepada ahli Al-Quran untuk memperbaiki dan membenarkan bacaannya. Berbeda dengan kitab-kitab yang lain, membaca Al-Quran yang baik membutuhkan nada tinggi, rendah, panjang, pendek, dengung, dan seterusnya, yang terlebih dahulu harus diketahui oleh orang yang mau membacanya. Membacakannya kepada mereka yang ahli akan menghindarkan seseorang dari kesalahan membaca.
Al-Quran mempunyai struktur musik tersendiri. Tajwid pada titik tertentu dapat mengungkap musik Al-Quran, karena ia adalah ilmu dan penadaan musik Al-Quran yang bisa memperindah bacaan dan hiasan membaca, meski tanpa bantuan alat musik tertentu. Maka, ketika suara tertata sesuai dengan kaidah musik, dia dapat meninggalkan kesan cukup mendalam dalam jiwa. (Jamal al-Banna, al-Ashlani al-‘Azimani, 16-17.) musik dalam Al-Quran
Bahkan, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa tidak satu kitab pun yang menggunakan pengaruh musik seperti Al-Quran. Al-Quran memberikan kreasi musik tersendiri kepada kita. Komposisi lafal dan huruf Al-Quran seakan menjadi bel pelantun musik walaupun tanpa gitar, nada, bahkan suara.
Itulah cara-cara memperindah bahasa dalam lantunan suara yang mempunyai dampak psikologis. Kelebihan mukjizat Al-Quran dalam suara ini dapat mempengaruhi, baik bagi orang yang memahami artinya atau tidak. Oleh karenanya, dengan mendengarkan Al-Quran, terlepas paham atau tidak, seseorang telah tertarik. (AN)
Wallahu a’lam.