Ajang kumpul-kumpul bersama keluarga besar ataupun teman lama biasanya tak lepas dari pertanyaan seperti “kapan nikah?”, “kapan nyusul?”, “mana nih calonnya?”, atau bahkan, “kapan mau punya momongan?”. Dengan dalih menaruh perhatian pada yang ditanya, pertanyaan-pertanyaan itu dianggap wajar dan dengan enteng dilayangkan pada kerabat atau teman yang terlihat masih sendiri atau belum memiliki keturunan.
Memang, ada beberapa jawaban yang bisa diberikan. Mulai dari jawaban logis sampai jawaban sadis. Namun, yang sering tidak kita sadari adalah dampak dari pertanyaan tersebut. Ya, bisa jadi pertanyaan-pertanyaan sejenis memang murni sebagai bentuk perhatian saat melihat teman atau kerabat yang belum melepas masa lajang. Bisa juga kita menanyakannya sebatas candaan iseng atau ingin tahu alias kepo.
Akan tetapi, pernahkah terpikirkan oleh kita bahwa mereka yang belum menikah sebenarnya merasa sedih dalam hatinya karena tidak kunjung dipertemukan dengan jodoh, dan pertanyaan seperti “kapan nikah” justru dapat menambah kesedihannya? Pernahkah terbayang oleh kita bahwa pasangan yang belum dikaruniai keturunan akan merasa semakin sakit hatinya saat terus menerus diberondong pertanyaan “kapan mau punya momongan?”.
Ada kisah seorang kerabat saya yang merencanakan untuk melepas masa lajang pada 2016 silam. Namun, takdir berkata lain. Sebulan sebelum hari bahagianya, sang calon suami meninggal karena kecelakaan sehingga acara pernikahan terpaksa dibatalkan. Beberapa bulan berselang saat kerabat saya menghadiri acara pernikahan salah seorang temannya, ia mendapat pertanyaan “kapan nyusul”. Seketika ia teringat akan calon suami yang dipanggil ke Rahmatullah, hanya sebulan sebelum tanggal pernikahan mereka.
Yang terjadi kemudian adalah ia pulang ke rumah dan menangis. Pertanyaan yang mungkin dimaksudkan sebagai bentuk perhatian itu justru menyakiti hatinya.
Kenalan dekat saya yang lain via media sosial, mengisahkan bagaimana ia dan sang suami telah menikah selama hampir 10 tahun. Mereka telah mencoba berbagai cara agar dapat dikaruniai anak. Allah belum mempercayakan keturunan pada keduanya, namun ia dan sang suami tak lelah untuk terus berikhtiar.
Saat acara kumpul-kumpul dengan keluarga besar, pihak keluarga dengan gamblang menanyakan, “masa udah nikah 10 tahun belum punya anak juga?” Sontak pertanyaan itu mengiris hati keduanya. Mereka berdua hanya terdiam, dan sejak saat itu tidak pernah menghadiri acara kumpul-kumpul keluarga besar lagi. Alasannya jelas, mereka tak ingin lagi merasa sakit hati atas pertanyaan serupa.
Walau mungkin merupakan bentuk perhatian dan kasih sayang, namun seringkali kita tak sadar bahwa ada luka di balik pertanyaan “kapan nikah” dan sejenisnya. Padahal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik dan jika tidak baik, maka diamlah.” Diam saja dan tidak kepo tentang urusan pribadi orang lain justru lebih baik daripada berkata-kata namun menyakiti.
Kita tidak pernah tahu mengapa seseorang tak kunjung menikah atau dikaruniai keturunan. Bisa saja karena ada tragedi di balik itu. Bisa saja mereka telah berikhtiar semakismal mungkin namun belum mendapat kepercayaan dari Allah. Semua pertanyaan berbau “kapan” sama sekali tidak membantu, namun justru bisa menambah beban. Bahkan, bisa jadi pertanyaan tersebut merenggangkan tali silaturahmi.
Satu hal yang jadi perhatian saya adalah mengapa orang-orang tidak menanyakan hal yang sama saat menghadiri pemakaman. Tidak ada satupun dari pelayat yang hadir melontarkan pertanyaan, “kapan mau nyusul dikubur?”. Oke, mungkin itu pertanyaan yang tidak sopan. Tapi, apakah pertanyaan “kapan nikah” itu sopan? Bukankah rezeki, jodoh dan maut sama-sama rahasia Allah? Lalu kenapa kita hanya kepo soal urusan pernikahan dan keturunan orang lain tapi tidak soal kematian?
Daripada melontarkan pertanyaan “kapan nikah” dan kapan-kapan yang lain yang ujung-ujungnya bisa melukai hati, akan lebih baik apabila kita mendoakan mereka saja. “Semoga Allah mendekatkan jodohmu”, “semoga kamu segera dikaruniai keturunan”, atau “semoga Allah melancarkan rezekimu.” Doa-doa seperti ini tentu lebih enak didengar daripada pertanyaan bernada menodong atau menuntut. Dan, yang pasti, tidak ada hati yang terluka saat mendengarnya.