Ada Lembaga Namanya Abu Bakar, Tapi Bayarnya Rasa Abu Jahal

Ada Lembaga Namanya Abu Bakar, Tapi Bayarnya Rasa Abu Jahal

Ada Lembaga Namanya Abu Bakar, Tapi Bayarnya Rasa Abu Jahal

Entah harus bangga atau miris dengan gejala menjamurnya pusat-pusat pendidikan Islam di kota-kota Besar yang kerap berlabel “Islam Terpadu”. Pertama-tama yang buat saya miris bukan hanya soal corak teologi yang diajarkan, tapi lebih dari itu adalah konon katanya biayanya mahal sekali.

Di sebuah perempatan di kota dekat Jakarta, ada spanduk promo pesantren Tahfidzul Qur’an yang ada tulisan: diskon 2 juta bagi 30 pendaftar pertama. Pertanyaannya kemudian, emang berapa biayanya menghafal Qur’an, yang juga hendak mencetak pemimpin Rabbani ini?

Di tempat saya mondok ngaji Qur’an dulu, biayanya sangat murah bahkan tak jarang santri yang tidak bayar atau bayar seikhlasnya ke kiai/pesantren. Pakde saya, bulek saya, ngurus pesantren Qur’an, tapi nggak gitu-gitu amat. Kakak saya juga guru Tahfidzul Qur’an. Jadi gini, anggap saja memang kebutuhan sekolah di pesantren itu besar. Ada uang sumbangan gedung dls yang harus dikeluarkan, dan setahu saya memang relatif masih terjangkau. Tapi yang ini, kalau diskonnya saja 2 juta nggak kebayang berapa biaya yang harus dikeluarkan. Pasti besar sekali.

Saya pernah iseng nanya biaya mondok Tahfidzul Qur’an yang memang belakangan sedang ngetren di kota-kota besar. Saya datang ke sebuah lembaga nanya info pendaftaran. Untuk anak SMP dan SMU uang sumbangan dibanderol 25 juta. Kaget bukan kepalang.

Lha terus siapa yang bisa mondokin anaknya kalau begini modelnya. Kemudian saya tanya lagi ke lembaga tersebut. “Yang ngajar ngaji Qur’an sanadnya dari mana ya?” “Oh, sudah ada ustad kami yang akan mendampingi nanti? Kami juga punya metode-metode hafalan modern lainnya pak?” Jawabnya.

Oke, intinya, nggak ada sanadnya. Ustadnya dulu belajar ke kiai Qur’an mana yang nyambung hingga Rasulullah, saya nggak tahu. Poin ini saya nggak akan mendebatnya. Tapi biaya yang mahal itu lho? Tentu itu hak mereka yang mempunyai lembaga. Tapi saya sempat mbatin dalam hati. “Ada lembaga namanya Abu Bakar, tapi bayarnya rasa Abu Jahal: mahal sekali”.

Gara-gara begini, saya dan istri makin nekat membuat lembaga pendidikan yang inklusif. Dengan prinsip kebangsaan orde baru: “NKRI harga nego!” Ya memang berbayar tapi insyaallah terjangkau. Dan bila belum mampu juga, masih bisa dinego.  Yang penting banyak anak-anak yang ingin menghafal Qur’an bisa belajar ngaji warisan para kiai Nusantara tidak terhalang dengan biaya selangit.