Ada Korban di Depan Mata, Tapi Kita Sibuk Berteori atau Konspirasi. Susah ya Kita Berpihak kepada Korban?

Ada Korban di Depan Mata, Tapi Kita Sibuk Berteori atau Konspirasi. Susah ya Kita Berpihak kepada Korban?

Bisakah kita berpihak korban?

Ada Korban di Depan Mata, Tapi Kita Sibuk Berteori atau Konspirasi. Susah ya Kita Berpihak kepada Korban?
Mengapa sih, ada korban di sekitar kita kok malah kita tidak bisa simpati kepada korban, padahal ia di depan mata kita?

Perbedaan pilihan politik dalam sistem demokrasi pasca rejim Orde Baru itu suatu yang lumrah dan tidak terhindarkan. Namun, saat pilihan tersebut kemudian mengeras menjadi sikap politik untuk membenarkan apa yang didukungnya, hal itu tidak hanya berbahaya, melainkan juga mematikan hati nurani untuk berpihak kepada mereka yang ditindas, dilumpuhkan, dan menjadi korban. Persekusi kepada ibu dan anak dalam acara Car Free Day (CFD) yang seharusnya menjadi perhatian seluruh elemen masyarakat dianggap sebagai bentuk konspirasi untuk menggagalkan acara #2019gantipresiden dengan membangun dalih penggunaan gelang dengan teori menghubung-hubungkan. Sementara itu, orang yang dianggap memiliki perhatian terhadap persekusi tersebut dianggap mengabaikan fakta empati kepada dua orang anak yang meninggal dalam bagi-bagi sembako di Monas, satu hari sebelum acara CFD tersebut.

Di sini, Sandiago Uno, Wakil Gubernur DKI Jakarta, yang seharusnya memiliki tanggungjawab terhadap dua peristiwa yang terjadi di wilayah geograpis kepemimpinannya malah cenderung melakukan pelemparan berita dengan mengajukan dua anak yang terbunuh dalam antri sembako di tengah persekusi ibu dan anak dalam CFD tersebut (www.detik.com, 30 April 2018). Padahal, dua peristiwa itu memunculkan korban dengan tingkat kepedihan, baik yang mengalami, membayangkan, ataupun orangtua yang ditinggalkan oleh kedua anaknya. Dua peristiwa tersebut seharusnya yang diungkapkan secara bersamaan.

Hal yang sama juga terjadi dengan terbunuhnya 5 anggota kepolisian dan satu narapidana teroris dalam kerusuhan di Mako Brimob yang dilakukan oleh narapidana teroris lainnya. Di tengah rasa empati sejumlah masyarakat melalui gerakan tagar di media sosial #kitabersamapolisi, ada saja beberapa akun yang mempertanyakan peristiwa itu sebagai konspirasi pengalihan isu sebagai bentuk pembenaran dan penguatan dibubarkannya HTI dalam pengadilan PTUN. Di sini, sekali lagi, korban yang berjatuhan dianggap sebagai pihak yang bukan bagian dari mereka. Karena bukan bagian dari mereka, rasa empati untuk berpihak kepada korban harus dimatikan sebaik-baiknya. Ini karena, jika memunculkan rasa empati, mereka, dengan demikian, mendukung lawan-lawan politiknya.

Ironisnya, tidak sedikit yang kemudian menyangkutpautkan Ahok sebagai pihak terjadinya kerusuhan dalam penjara tersebut. Bahkan, ada juga yang nyinyir untuk memindahkan Ahok ke istana presiden agar lebih aman. Pertanyaannya, mengapa empati dan nalar kemanusiaan itu bisa tiba-tiba menghilang hanya karena berbeda pilihan politik?

Memang ini tahun-tahun politik. Selain adanya Pilkada serentak hampir di semua daerah juga pada tahun 2019 merupakan pemilihan legislatif dan Pilpres. Karena itu, bagi oposisi, setiap peristiwa adalah celah untuk mengkritik sekuat-kuatnya sebagai bagian dari delegitimasi rejim pemerintahan dan koalisinya. Kondisi inilah yang memungkinkan membuka ruang kepada masyarakat untuk memikirkan kembali pilihannya dalam bilik suara, baik dalam Pilkada serentak ataupun Pileg, dan Pilres 2019.

Di sini, saya mengajukan dua hipotesa. Pertama, tumbuhnya politik kebencian di tengah perubahan platform digital. Politik kebencian setidaknya dimulai sejak Pilpres 2014 melalui fitnah, hoax, dan juga pelintiran terkait dengan posisi Jokowi.

Hal ini tercermin dengan adanya koran Obor Rakyat yang isinya semua menghasut dengan kebohongan yang memunculkan kebencian bagi orang yang membacanya. Narasi-narasi yang dibangun oleh Obor Rakyat inilah yang kemudian dituliskan kembali dalam situs-situs media online dan kemudian tersebar dalam media sosial hingga ruang yang paling privat, yaitu WhatsApp. Kondisi ini kemudian diperparah dengan penggunaan sentimen agama dan mobilisasi massa atas nama umat Islam dengan memotong ucapan Ahok di kepulauan seribu tentang Surat Al-Maidah yang kemudian membawanya kepada dua tahun penjara di tengah momentum Pilkada DKI. Di tengah itu, fitnah dan hoax menjadi bagian dari reproduksi keseharian beraktivitas dalam media sosial.

Kedua, demonisasi lawan politik dan rejim pemerintahan. Karena pola Pilkada DKI cukup efektif dengan menggunakan sentimen, proses demonisasi ini pun dipraktikkan. Di sini, media sosial kemudian dengan buzzer-buzzer politiknya menjadi alat yang ampuh untuk memunculkan semacam viral. Aktivitas online ini kemudian berbanding lurus mempengaruhi offline. Lebih jauh, masjid kemudian menjadi medium reproduksi yang efektif untuk membicarakan politik.

Dalam situasi inilah kemudian para pendakwah menempatkan posisinya sebagai ahli politik, sejarah, dan pengkaji globalisasi, di mana ceramah-ceramahnya kemudian menautkan secara gotak-gatuk, tiga hubungan tersebut dalam sejarah Islam yang dinukil sesuai keinginannya. Akibatnya, narasi rejim pemerintahan saat ini sebagai anti-Islam terbangun dengan kuat. Kondisi ini turut membantu kekuatan oposisi dalam politik elektoral ke depan.

Dari dua faktor tersebut setidaknya, sebagai contoh, saya bisa melihat bagaimana teman-teman terdekat saya, di mana sebelumnya tidak begitu peduli terhadap isu politik, namun kebenciannya terhadap rejim pemerintahan saat ini begitu mendalam. Dengan turut melakukan penyebaran berita hoax, meme politik, dan totalitas menyalahkan hingga sampai 5 kali sehari di media sosial, ia merasa sedang berjihad di jalan Islam atas apa yang dilakukannya. Di sisi lain, media online besar yang terpercaya, setiap ada peristiwa justru merujuk kepada oposisi politik yang berisik ketimbang kepada akademisi, peneliti, dan ahli tertentu yang memiliki otoritas di bidangnya untuk memberikan komentar.

Alih-alih kemudian memberikan kejernihan, yang terjadi, dengan pola click bite semacam justru memperkeruh suasana yang membuat segregasi perbedaan baik online maupun offline justru saling menguat. Akibatnya, jika ada peristiwa kekerasan, konflik, dan kerusuhan yang mengakibatkan korban, orang masih menggunakan kacamata kawan dan lawan. Di sini, korban tidak hanya dianggap sebagai sekedar angka, melainkan subyek yang kehilangan narasi-narasi kepedihan, kemanusiaan, dan rasa kehilangan atas para keluarga yang ditinggalkan. Kerusuhan yang terjadi di Mako Primob menjadi bukti bagaimana orang kemudian telah mematikan faktor terpenting dirinya menjadi manusia, yaitu nurani.

Jika sudah begini, kebaikan apa sebenarnya yang tersisa dalam diri kita sebagai manusia Indonesia di tengah 5 perwira polisi yang gugur ata untuk menjaga bangsa yang disebut Indonesia?