Abu Said Abu Khair: Sufi yang Sejak Kecil Diprediksi Akan Menjadi Wali

Abu Said Abu Khair: Sufi yang Sejak Kecil Diprediksi Akan Menjadi Wali

Abu Said Abu Khair: Sufi yang Sejak Kecil Diprediksi Akan Menjadi Wali

“Jadilah kau seperti butiran debu yang menggelinding terbawa sapuan. Dan janganlah seperti batu yang tertinggal.” ~Abu Said Abu Khair

Abu Said Abu Khair lahir pada 978 M di kota Maihana, sebuah kawasan di Negara Iran. Ia adalah seorang sufi agung. Ayahnya adalah seorang ahli kedokteran yang mempunyai perhatian terhadap dunia sufisme.  Konon, Abu Said sendiri sempat berjumpa dengan Ibnu Sina. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Abu Said mendaku bahwa apapun yang dimiliki oleh Ibnu Sina tentang sebuah ilmu pengetahuan ia juga memilikinya. Artinya, ia ingin mengatakan bahwa ia juga seorang ilmuwan.

Sejak kecil ia menggandrungi sastra klasik. Tentang hal ini, ia pernah menyatakannya secara langsung bahwa ia telah hafal 30.000 bait syair-syair era Jahiliyyah. Pada suatu hari dan saat usianya menginjak umur 26 tahun di mana ia sedang belajar kepada gurunya, Abu Ali, ia mendengarkan ayat : Katakanlah: “Allah”, Kemudian biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya (QS Al-An’am: 91)

Abu Said mengatakan bahwa ayat tersebut selalu terngiang di telinganya hingga ia dibukakan pintu hatinya yang seolah-olah mengingatkan dirinya untuk membuang segala apa yang dimilikinya. Sejak kejadian itu ia terus menyendiri di rumahnya. Selama tujuh tahun ia mengasingkan diri hanya untuk menyebut asma-Nya. Lafadz Jalalah atau Asma Allah bagi kalangan sufi merupakan sebuah jalan menuju fana’.

Diprediksi Seorang Syaikh Menjadi Wali

Muhammad bin Munawwir bin Abu Sa’id, yang masih merupakan cucu dari Abu Said, dalam karyanya “Asrar at-Tauhid” mengulas biografi yang juga mengupas kisah-kisah kakeknya. Salah satunya adalah sebuah kisah yang menceriterakan bahwa sejak kecil Abu Said telah diprediksi oleh seorang Syaikh bahwa kelak ia akan menjadi seorang wali.

Suatu ketika, ayahandaku mengajakku menuju ke Masjid untuk melaksanakan salat Jumat. Di tengah perjalanan, kami berjumpa dengan Syaikh Abu Qasim Bisyr Yasin. Beliau adalah seorang ulama yang masyhur di masanya dan merupakan pembesar para syaikh. Beliau tinggal di Maihana.

Saat beliau melihatku, ia bertanya, “Putra siapa si anak kecil ini?” Ayahku menjawab, “putraku”. Lalu beliau mendekatiku dan duduk di depanku. Sambil menatap wajahku, aku melihat air matanya menetesi wajahnya yang teduh. Lalu beliau berkata kepada ayahandaku, “Wahai Abu Khair, aku belum sanggup meninggalkan dunia fana ini karena aku melihat bahwa dunia hari ini sedang mengalami kekosongan orang yang mencapai maqam kewalian. Para darwis pun begitu langka. Namun, sekarang aku melihat puteramu kelak akan mencapai maqam kewalian.” Ia membisik ayahandaku, “Selepas solat Jumat, bawa putramu ke hadapanku,” pinta Syaikh.

Seusai melaksanakan salat jumat, ayahku membawaku ke hadapan Syaikh Abu Qasim. Aku duduk di hadapan Syaikh di mana terdapat sebuah jendela yang terbuka. Lalu ia berkata kepada ayahku, “Angkat putramu Abu Said di atas pundakmu agar roti di atas jendela itu jatuh ke bawah.” Lalu ayahku mengangkat tubuhku dan tidak lama aku julurkan tanganku roti di atas jendela itu jatuh ke tanganku. Roti tersebut dalam keadaan panas. Aku merasakannya sebab roti itu ada dalam genggamanku. Lalu Syekh Abu Qasim mengambil roti dari tanganku sembari menitikkan air mata ia membagi roti menjadi dua. Ia memberikan setengah roti untukku sambil berkata kepadaku, “Makanlah, nak!” Ia sendiri memakan sebagian yang lainnya. Sementara ayahku tidak mendapatkan bagian. Lalu ayahku bertanya kepada Syaikh, “Wahai Syaikkh, mengapa engkau tidak memberikan bagian roti itu kepadaku agar aku mendapatkan berkah darimu?” Syaikh Abu Qasim menjawab, “Wahai Abu Khair, aku telah menaruh roti tersebut di atas jendela selama tiga puluh tahun lamanya. Dan aku berjanji bahwa siapa pun yang dapat memegang roti itu dalam keadaan panas, ia kelak akan menjadi kebanggaan dunia dan menjadi pelengkap dunia tasawuf. Sekarang, kebahagian ini telah nyata di hadapan kita. Puteramu inilah orang tersebut. Lalu Syekh Abu Qasim berkata kepadaku, “Wahai Abu Said, hafalkan amalan ini: Subhanaka wa bihamdika ‘ala hilmika ba’da Allamaka, subhanaka wa bihamdika ‘ala afwika ba’da qudratika.” Lalu aku pun menghafalkan amalan tersebut dan mengamalkannya secara istiqamah.

Kontribusinya paling penting dalam kajian tasawuf menurut Mojdeh Bayat (2000 :27) adalah pendirian pusat-pusat sufi atau yang biasa disebut khanaqah sebagai sebuah tempat formal yang dikhususkan untuk pengajaran dan pendidikan spiritual serta binaan etika dan tatakrama serta adab bagi kaum darwis.

Nasehat Abu Said: Jadilah Debu, Jangan Jadi Batu

Mojdeh Bayat mengisahkan sejumlah anekdot mengenai kisah Abu Said. Salah satunya adalah kisah berikut ini:

Seorang darwis tengah menyapu halaman khanaqah dan Abu Said melihatnya sembari berkata kepada si Darwis, “Jadilah kau seperti butiran debu yang menggelinding terbawa sapuan. Dan janganlah seperti batu yang tertinggal.” Dengan kata-kata ini, Abu Said ingin menunjukkan kepada muridnya bahwa untuk bisa terus menempuh jalan spiritual, seseorang harus menjadi seperti debu, yang tidak memiliki kemauan sendiri tapi pergi ke mana pun menuruti perintah sapu (sang pembimbing spiritual) dan jagan seperti batu (ego), yang bersikap keras menuruti kemauannya sendiri dan bahkan menentang sang pembimbingnya.

 

Wallahu A’lam bis-Shawab

Twitter, @midrismesut