Suatu hari Khalifah Harun al Rasyid melakukan penyamaran untuk blusukan untuk mengetahui perkembangan yang ada di rakyatnya. Di sebuah kampung khalifah mendapati sebuah pengajian. Ia kemudian mendekat. Nampak seorang ulama sedang mengisi tausyiah perihal alam barzah.
Para jamaah yang datang tampak antusias. Namun tiba-tiba salah seorang bertanya kepada ulama tersebut . ” Maaf syeikh saya pernah menyaksikan orang kafir yang meningal. Kami kemudian mengintip uburannya. Namun tidak pernah mendengar teriakan atau menyaksikan siksa kubur. Pertanyaan saya adalah bagaimana cara membenarkan sesuatu yang tidak dapat dilihat mata?”
Mendengar hal itu ulama tersebut diam sejenak. Ia nampak berfikir, bagaimana menjawab pertanyaan tersebut dengan mudah. Sejenak kemudian ulama itu menjawab,”Saya kira jawabannya mudah. Untuk mengetahui hal seperti itu harus dengan panca indra yang lain. Seperti Anda dengan orang yang sedang tidur? Orang tidur kadangkala bermimpi dikurung ular. la merasa sakit dan takut bahkan ada yang menjerit serta keringat yang bercucuran. la merasakan bagaimana ketakutan dikurung ular namun Anda yang di seolah-olah tidak menyaksikan apa-apa. Jika masalah mimpi saja tidak mampu mata melihatnya, Bagaimana mungkin bisa melihat apa yang terjadi di alam barzah?”
Jawaban tersebut membuat Khalifah terkesan. Apalagi ketika ulama itu menerangkan tentang surga.
Baginda Raja terkesan dengan penjelasan ulama itu. Baginda berfikir betapa senang dan nikmatnya surga itu. Salah satu yang mengusiknya adalah barang- barangsalah satunya adalah mahkota yang lebih bagus dari dunia dan isinya. Keterangan ini mengusik Khalifah. Ia kemudian pulang dan bagaimana caranya mengambil mahkota tersebut. Kemudian ia memanggil Abu Nawas. Setealh bertemu, Khalifah mengutarakan maksudnya.
“ Aku ingin engkau berangkat ke surga dan bawakan sebuah mahkota. Apakah sanggup wahai Abu Nawas?”
“Sanggup Paduka.” kata Abu Nawas tanpa pikir panjang.
Namun Abu Nawas melanjutkan perkataannya ” Namun ada satu saratnya yang harus disanggupi.”
“Cepat sebutkan persyaratan itu,” kata Khalifah seperti penasaran.
“Sediakan hampa pintu agar cepat memasukinya,” jawab Abu Nawas.
“Pintu apa?” tanya Baginda penuh selidik.
Mendengar pertanyaan itu , Abu Nawas langsung menjawab“Pintu alam akhirat.”
“Apa lagi itu?” lanjut Khalifah.
“Kiamat, wahai paduka. Menurut saya masing-masing alam mempunyai puintu. Alam dunia pintunya adalah liang peranakan seorang ibu. Alam kubur pintrunya adalah kematian, dan alam akhirat pintunya adalah kiamat. Adapun surga adalah berada di alam akhirat. Namun bila Baginda masih terus menyuruh saya mengambilkan mahkota di surga, maka harus kiamat dahulu,” jawab Abu Nawas.
Seketika Khalifah menjadi terdiam seribu basa