Suatu ketika Junaid al-Baghdadi ditanya, “Apa faidah mendengarkan kisah tokoh-tokoh spiritual?”, ia menjawab, “Kisah-kisah mereka menumbuhkan semangat ketakwaan para pendengarnya”.~Abu Najib as-Suhrawardi
Sejumlah orang – termasuk saya- masih sering terkecoh bila mendengar nama seorang sufi; Suhrawardi. Misalnya, jika disebut nama Suhrawardi dalam kajian tasawuf, maka yang muncul dalam benak kita adalah Suhrawardi al-Maqtul, seorang sufi besar iluminasi yang masyhur dengan sebutan Syaikh al-Isyraq. Namun bagi para pengkaji tasawuf yang jeli, maka ia akan segera mengonfirmasi, siapa Suhrawardi yang dimaksud? Sebab Suhrawardi tidak hanya dia seorang. Ada Suhrawardi lain.
Sedikitnya ada tiga nama Suhrawardi dalam dunia tasawuf. Pertama, Abu al-Futuh Yahya bin Habash bin Amirak Shihab al-Din as-Suhrawardi (549 H-1155 M / 578 H-1191 M), yang dikenal dengan sebutan Suhrawardi al-Maqtul. Kedua, Syihabuddin Umar As-Suhrawardi (539 H-1141 M/632 H-1234 M), penulis kitab tasawuf terkenal berjudul Awarif al-Ma’arif. Ketiga, Abu Najib as-Suhrawardi, penulis kitab adab al-Muridin, merupakan paman sekaligus guru dari Abu Najib as-Suhrawardi dimana keduanya bersama-sama mendirikan tarekat Suhrawardiyyah. Nama yang disebut terakhir ini yang akan coba diulas dalam tulisan pendek di bawah ini. Bernama lengkap Abu al-Najib ‘Abd al-Qahir ibn Abdallah al-Suhrawardi, Abu Najib as-Suhrawardi lahir di Suhraward, sebuah kota di Propinsi Jibal di pinggiran Zanjan, sebelah tenggara dataran Persia. Ia lahir sekitar tahun 490 H (1097 M). Menurut az-Zirikli dalam Mawsu’atul A’lam, Abu Najib As-Suhrawardi adalah seorang sufi, ahli hadis sekaligus sarjana fikih yang bermadzhab Syafii.
Rihlah Intelektual
IbnAsakir sebagaimana dikutip oleh Imam ad-Dzahabi mengatakan bahwa Abu Najib belajar hadis di Isfahan kepada Abu Ali Al-Haddad yang merupakan ahli hadis terkemuka di kota tersebut. Selain kepada Abu Ali Al-Haddad, Abu Najib juga belajar hadis kepada Zahir ibn Thahir, Qadhi Abu Bakar al-Anshari, dan Abu Ali ibn Nabhan yang merupakan ahli hadis di kota Irak. Setelah mencapai tingkat penguasaan tertentu dalam bidang hadis, Abu Najib mempelajari fiqh di Nazhamiyyah di bawah bimbingan As’ad al-Mihani. Menurut Menahem Milson (1975: 18), ini terjadi sekitar tahun 507 H sampai tahun 513 H. Artinya, Abu Najib belajar fikih kurang lebih sekitar enam tahun. Ketika Abu Najib berusia dua puluh lima tahun, ia mulai meninggalkan pelajaran-pelajaran akademiknya dan mulai memasuki kehidupan yang menyendiri dan berkelana. Ia kemudian kembali ke kota Isfahan untuk bergabung dengan Ahmad al-Ghazali, yang menjadi mentornya dalam sufisme. Dalam dunia tasawuf, khususnya tarekat, ia bukan hanya menginisiasi tarekat Suhrawardiyyah bersama keponakannya, Syihabuddin Umar As-Suhrawardi, saja. Melainkan ia adalah seorang “madar” atau poros utama sejumlah tarekat. Sebab, sebagaimana diungkapkan oleh Syekh Kamaluddin al-Hariri (1299 H), dalam Tibyan wa wasail al-Haqaiq fi Bayan Salasil at-Tharaiq, seperti dikutip dari Syarif Fathi Harun, sejumlah tarekat seperti Kubrawiyah, Mawlawiyyah, Khalwatiyyah, Jalutiyyah, bersumber dari poros Abu Najib.
Adab al-Muridin: Kitab Etika Sufi Pemula
AbuNajib bukanlah seorang penulis prolifik. Brockelmann dalam geschichte der arabischen literature hanya menyebutkan dua karya Abu Najib; Adab al-Muridin dan Gharib al-Mashabih yang merupakan syarah atau komentar atas Mashabih as-Sunnah karya Imam al-Baghawi. Adab al-Muridin adalah sebuah kitab yang berisi tentang etika dan bimbingan bagi para sufi pemula. Menurut Menahem Milson (1975: 24), kitab ini merupakan kitab yang unik di antara kitab-kitab tentang sufi yang lainnya. Karena kitab ini secara umum sufisme dipandang dari perspektif adab (etika). Selain itu, kitab ini dicirikan oleh pendekatan realistis atas kewajiban sosial dan kemampuan moral fitrah manusia. Abu Najib yakin bahwa aktivitas para sufi adalah terlibat dalam bagian masyarakat. Ia mengajarkan bahwa adalah lebih baik berkompromi dengan sebagian prinsip-prinsip ideal untuk membantu orang lain dalam masyrakat ketimbang menjaga prinsip-prinsip kesucian dengan mengasingkan diri dari masyarakat dan hanya memperhatikan keselamatan diri sendiri. Kitab ini terdiri dari dua sembilan bab yang dalam setiap bab-nya mengulas persoalan etika. Baik etika dalam beribadah maupun etika bermuamalah. Baginya, setiap anggota badan memiliki etikanya masing-masing. Sebab, setiap gerakan anggota badan tidak memiliki tujuan lain kecuali untuk mencari keridhaan Allah SWT. Oleh karenanya, Abu Najib dalam karyanya ini memaparkan secara rinci dan singkat menjelaskan etika setiap anggota badan.
Wallahu A’lam bishawab
- Twitter @midrismesut