Abu Ja‘far Ath-Thusi, Ulama Pembesar Mazhab Syi‘ah

Abu Ja‘far Ath-Thusi, Ulama Pembesar Mazhab Syi‘ah

Abu Ja‘far Ath-Thusi, Ulama Pembesar Mazhab Syi‘ah

Seorang faqih besar, muhaddis kenamaan, ilmuwan tersohor yang mempunyai julukan syaikhut tha’ifah (pembesar mazhab syi‘ah) ini, bernama lengkap Abu Ja‘far Muhammad bin Hasan bin Ali Ath-Thusi. Ulama yang lebih kerap disapa dengan sebutan Ath-Thusi ini dilahirkan pada bulan Ramadhan tahun 385 H di kota Thus, Khurasan, salah satu kota besar yang terdapat di Iran.

Ath-Thusi menimba ilmu dari Syaikh Mufid selama kurang lebih 5 tahun. Karena kecerdasan yang luar biasa, beliau mendapatkan perhatian lebih dari dari gurunya. Hal tersebut dibuktikannya dengan selalu bersama Syaikh Mufid semasa hidup sampai dengan wafatnya pada tahun 413 H.

Setelah wafatnya Syaikh Mufid, salah seorang muridnya bernama Sayid Murtadha bertanggung jawab atas kelanjutan pendidikan Ath-Thusi. Sayid Murtadha juga melihat kecerdasan dan kelayakan yang sempurna pada diri Ath-Thusi. Sehingga, beliau memberikan perhatian yang sangat istimewa kepadanya, bahkan memaksanya untuk memberikan kuliah di Baghdad. Sebagai imbalannya, Sayid Murtadha memberikan tunjangan 12 Dinar per bulan kepada Ath-Thusi, sebuah angka yang cukup besar pada waktu itu.

Pada tahun 408 H, Ath-Thusi berhijrah ke Baghdad dan berdomisili di Irak. Akan tetapi, ketenaran ilmu pengetahuan, serta kezuhudannya tersebar ke seluruh penjuru dunia. Bahkan, mampu menembus tembok-tembok kokoh istana kekhalifahan dinasti Bani Abbasiyah. Konon hal tersebut menyebabkan Al-Qa’im bi Amrillah, salah seorang khalifah dari dinasti Bani Abbasiyah bekerja sama dengan dinasti Al-Buyeh untuk sepenuhnya menyerahkan kursi pengajaran ilmu Teologi kepada Ath-Thusi.

Mereka sangat mengagungkan kursi tersebut, sehingga penyerahannya kepada Ath-Thusi agaknya mengindikasikan bahwa pada waktu itu, tidak ada ilmuwan di seluruh penjuru Baghdad dan negara Islam yang memiliki kelayakan untuk mendudukinya, kecuali Ath-Thusi.

Namun, kondisi kehidupan sosial masyarakat berubah drastis setelah dinasti Al-Buyeh runtuh dan dinasti Saljuqi memerintah. Pembunuhan terhadap para pengikut mazhab Syi‘ah terjadi dimana-mana. Dalam sebuah penyerangan yang dipimpin oleh Menteri Abdul Malik misalnya, sangat banyak pengikut mazhab Syi‘ah yang terbunuh. Bahkan tidak sedikit dari rumah penduduk, toko-toko, pusat-pusat kajian ilmiah, perpustakaan-perpustakaan Syi‘ah yang dibakar dan dirampok.

Ath-Thusi yang notabene diserahi kursi pengajaran ilmu Teologi pun tidak luput dalam pencarian mereka. Hingga pada akhirnya mereka menemukan rumah Ath-Thusi dan merampok segala isinya. Kursi pengajaran ilmu Teologi serta perpustakaan pribadi beliau juga dibakar. Padahal, perpustakaan beliau merupakan perpustakaan terbesar pada waktu itu yang memuat berbagai buku asli hasil tulisan tangan para ulama dan naskah Al-Qur’an yang telah ditulis dengan tinta emas murni.

Setelah peristiwa tersebut, Ath-Thusi hijrah dari Baghdad ke Najaf Asyraf secara sembunyi-sembunyi. Beliau memilih kota tersebut karena pada waktu itu, Najaf Asyraf merupakan sebuah kota yang hanya dihuni oleh beberapa orang yang sangat mencintai Ali. Kemudian di kota inilah, Ath-Thusi mendirikan sebuah hauzah ilmiah (lembaga pendidikan) yang konon menjadi sebuah hauzah terbesar di kalangan para pengikut mazhab Syi‘ah.

Ath-Thusi wafat pada malam Senin, 22 Muharam 460 Hijriah di Najaf Asyraf dengan meninggalkan berbagai karya dalam bentuk tulisan, diantaranya : Abu al-Ahkam, Al-Istibsar, An-Nihayah, Al-Mabsut, Al-Khilaf, Iddat al-Ushul, Al-Rijal, Al-Fehrist, Tamhid al-Ushul, At-Tibyan Fi Tafsir al-Quran, Kitab al-Ghaybah.

Pada akhirnya, Ath-Thusi mendapatkan pujian dari berbagai ulama. Najasyi misalnya, seorang ulama yang hidup sezaman dengan Ath-Thusi mengatakan: “Muhammad bin Hasan bin Ali Ath-Thusi adalah salah seorang ulama yang agung, tsiqah, dan murid guru kami, Abu Abdillah Al-Mufid yang tersohor.”

Selain itu, salah seorang tokoh mazhab Ja‘fariyah bernama Allamah Sayid Bahrul ‘Ulûm mengatakan: “Muhammad bin Hasan Ath-Thusi adalah tokoh mazhab Imamiah yang tersohor, pemegang bendera syariat Islam dan Imam mazhab Syi‘ah setelah periode para Imam ma‘shum. Berkenaan pengetahuan yang berhubungan dengan masalah agama, ia adalah orang yang dapat dipercaya. Ia juga adalah ahli dalam bidang ushuluddin dan furu‘uddin serta peneliti yang handal dalam bidang ilmu rasional dan tekstual. Lebih dari itu, ia adalah Syaikhut Tha’ifah kita dan pemimpin mazhab Syi‘ah secara mutlak.”