Adalah Abu Hazim Salamah bin Dinar al-Mahzumi, salah seorang ahli zuhud ternama dalam sejarah awal sufisme Islam. Ia berasal dari Persi dan sempat menjadi Qadhi di Madinah. Ia belajar langsung kepada para pembesar sahabat. Para ulama berbeda pendapat mengenai tahun wafatnya Abu Hazim. At-Tirmidzi mengatakan bahwa Abu Hazim wafat pada tahun 133 H. Sementara menurut Yahya bin Ma’in ia wafat tahun 144 H. Sedangkan menurut Fuat Sezgin ia wafat pada tahun 140 H atau bertepatan dengan tahun 757 H.
Sebagai seorang sufi generasi tabiin, Abu Hazim belajar banyak kepada sejumlah sahabat Nabi. Guru-Gurunya di antaranya adalah Sahl bin Sa’d, Abu Umamah bin Sahl, Sa’id bin al-Musayyab, Abdullah bin Abu Qatadah, Nu’man bin Abu ‘Ayyasy, Abu Salamah bin Abdurrahman, Ummu Darda’, dan pembesar tabiin yang lainnya. Sedangkan murid-muridnya yang sempat belajar kepadanya antara lain; Ibnu Syihab az-Zuhri (pencetus ilmu musthalah hadis), Imam Malik (pendiri Madzhab Maliki), Sufyan al-Tsauri (pembesar tabiin), dan ulama-ulama besar lainnya.
Fuat Sezgin dalam geschichte des arabischen schrifttums menginformasikan kepada kita bahwa mengenai biografi Abu Hazim ini dapat ditelusuri di sejumlah kitab seperti at-Tarikh al-Kabir karya Imam al-Bukhari, al-Ma’arif karya Ibnu Qutaibah, al-Jarh wa at-Ta’dil karya Ibnu Hatim ar-Razi, Hilyah al-Awliyah karya Ibnu Nu’aim al-Isfihani, at-Tahdzib Ibnu ‘Asakir, at-Tahdzib Ibnu Hajar al-Asqalani, dan al-A’lam karya Az-Zirkili.
Nasehat Abu Hazim Kepada Pemimpin Bani Umayyah
Dikisahkan suatu hari Abu Hazim melakukan perjalanan bersama kelompok umat Islam menuju Romawi untuk melakukan Jihad fi Sabilillah. Ketika perjalanan telah sampai di tempat yang dituju, mereka beristirahat. Dalam rombongan tersebut terdapat seorang pimpinan Bani Umayyah. Ia mengirim utusan untuk menemui Abu Hazim sekaligus menyuruhnya untuk menghadap kepadanya. Sang utusan pun bertemu dengan Abu Hazim dan berkata, “Pemimpin kami memanggilmu untuk menemuinya. Ia ingin bicara dan juga belajar kepadamu.” Lalu Abu Hazmi menulis surat:
Wahai Pemimpin, dulu aku menemui ahli ilmu (ulama), Mereka tidak membawa ilmunya kepada ahli dunia. Aku tidak menyangka jika engkau justru orang pertama yang akan melakukan itu (membawakan ilmu kepada ahli dunia). Jika engkau butuh terhadap kami, maka datanglah kemari. Semoga keselamatan atasmu dan atas orang-orang yang bersamamu.”
Maka ketika sang pemimpin membaca surat dari Abu Hazim, ia merasa malu dan akhirnya membalas surat tersebut yang isinya menyepakati apa yang ditulis oleh Abu Hazim. Dalam suratnya ia memuji Abu Hazim dan memintanya untuk mengingatkan dan menasehatinya. Lalu Abu Hazim pun menyanggupinya.
Abu Hazim berkata:
Lihatlah! apa yang kalian sukai untuk kalian bawa saat di akhirat nanti. Jagalah itu saat di dunia. Apa yang kalian sukai saat kalian kelak berada di kubur? Amal saleh dan istiqamah. jagalah keduanya saat kalian masih di dunia ini. Lihatlah! apa yang kalian benci saat kalian berada di akhirat? Hindarilah ia di dunia ini. Ketahuilah wahai sang pemimpin. Jika kau sebagai pemimpin berbuat kebatilan dan kau biarkan maka kelak engkau akan bersama orang-orang munafik. Sebaliknya, bila engkau mentasharufkan dengan benar maka kau akan bersama orang-orang baik yang akan membantumu kelak. Pilihlah apa yang hatimu inginkan!
Saat menjelang wafatnya Abu Hazim para sahabatnya bertanya kepadanya, “Wahai Abu Hazim, apa yang engkau rasakan?” Abu Hazim menjawab, “Andaikan aku selamat dari keburukan yang menimpa kepadaku di dunia ini, niscaya tidak ada sesuatu apapun yang membahayakanku kelak” Lalu ia membacakan ayat al-Quran:
[إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَيَجْعَلُ لَهُمُ الرَّحْمَنُ وُدّاً [سورة مريم الآية: 96
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.
Inilah sepenggal kisah Abu Hazim. Seorang sufi dari kalangan tabiin yang bukan hanya menjadi guru dari tabiin-tabiin lain, melainkan bijak bestari yang dihormati dan nasehat-nasehatnya didengar oleh pemimpin.