Sahabat Nabi yang akrab dengan laqab dan kunyah Abu Dzar Al-Ghifari ini gemar mewasiati istrinya ihwal kesabaran. Ia merasakan kesengsaraan bertubi-tubi turut menimpa sang istri semenjak memutuskan diri untuk memilih jalan sunyi. Seusai Nabi tiada, kekecewaan besar muncul di dadanya.
Ia terusik dengan kekhilafan yang tengah memutar haluan sebagian kawan-kawan seperjuangan. Al-Ghifari tak bersepakat jika Islam hanya melulu soal wilayah dan perluasan, kekayaan, dan pengakuan kekuasaan yang diperoleh melalui perang dan paksaan.
Al-Ghifari selalu diliputi perasaan gembira dalam setiap hari-harinya penuh keterbatasan di tanah gersang, tepatnya di perbatasan Madinah dan Rabdzah. Sebab di saat duka melanda, ia akan kembali mengingat perkataan Nabi tentang seorang sahabat terpilih yang akan mati di tanah itu.
Sesekali ia menghitung dan menghafal nama-nama sahabat-sahabat terbaik Nabi yang ia kenal lebih banyak mengembuskan napas di tengah kota, kampung, medan peperangan, dan tempat lain. Akan tetapi di tanah gersang, kata Al-Ghifari, belum satu pun serupa yang diucap Rasul.
Tak lama, Tuhan memanggil Jundub ibn Junadah, nama asli pria itu. Air mata meleleh di kedua mata istrinya, ada bahagia—juga duka. Bahagia; lantaran sang kekasih berpulang di tempat yang ia cita-citakan. Berduka; sebab di tangannya kini tak ada selembar pun kain kafan, sebelum akhirnya Allah SWT menakdirkan orang-orang mukmin datang untuk menolong, mendoakan, dan memberi penghormatan.
Jalan sunyi yang ditempuh Al-Ghifari adalah pilihan tepat. Semasa hidup, setelah Rasul dan sahabat-sahabat terbaiknya wafat ia kerap terlibat perdebatan mengenai apa-apa yang kini telah dianggap melampaui batas kewajaran. Namun demi menjaga persatuan, ia memilih untuk mengasingkan diri dan menepi. Bukan dari Islam, melainkan dari perilaku-perlaku di luar cita-cita Nabi, akan tetapi sering dipaksakan atas nama kebesaran dan kejayaan Islam.
Kebesaran dan kejayaan Islam yang disalah-artikan hingga menggeser sebagian orang menjauhi cita-cita awal itu terus berlanjut hingga beratus bahkan beribu-ribu tahun kemudian, termasuk hari ini. Islam yang dikabarkan turun sebagai agama damai, menjadi serupa pengancam. Tak hanya untuk orang lain, akan tetapi juga bagi golongannya yang tetap mengambil kebaikan silaturrahmi demi prinsip kemanusiaan sebagaimana yang diamanatkan Nabi.
Sesungguhnya orang-orang mu’min, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (di antara mereka) yang benar-benar salih, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Wallahu A’lam.