Abu Ayyub al-Anshari dirundung gelisah. Pasalnya, ia telah mendengar desas-desus yang berkembang di tengah para sahabat bahwa ada rencana dari Amirul Mukminin, Ali bin Abi Thalib, untuk memindahkan ibu kota negara. Isu yang berkembang saat itu adalah Ali bin Abi Thalib akan melakukan pemindahan ibu kota negara dari Madinah menuju Syam.
Gunjingan para sahabat terkait isu tersebut semakin menjadi tatkala Ali bin Abi Thalib berencana untuk berkunjung ke Syam dalam rangka silaturahmi dan temu kangen dengan beberapa sanak famili dan handai tolan yang bermukim di sana.
Selain itu, rencana kunjungan Ali bin Abi Thalib ke Syam juga bermaksud ingin melakukan Sidak (inspeksi mendadak) terhadap kelompok Muawiyah, khususnya terkait hal-hal yang sedang dilakukan Muawiyah bersama para pendukungnya di Syam.
Hal ini karena Muawiyah dan kelompoknya sangat keras mengkritik Ali bin Abi Thalib dalam hal penanganan kasus pembunuhan Utsman bin Affan. Bahkan ada isu yang berhembus bahwa Muawiyah dan barisannya sedang merencanakan kudeta atas kepemimpinan Ali bin Abi Thalib.
Rencana silaturahim tersebut ternyata ditafsirkan berbeda oleh para sahabat yang menetap di Madinah. Rencana kunjungan Ali tersebut dianggap oleh sahabat sebagai bagian dari salah satu rangkaian usaha untuk memindahkan ibu kota. Kisah ini diabadikan dalam salah satu buku dari serial buku Empat Khulafaur Rasyidin karya Muhammad as-Shalabi yang berjudul “Asmal Mathalib fi Siirati Amiril Mukminin Ali bin Abi Thalib.”
Para sahabat tidak kompak menanggapi isu terkait rencana Ali bin Abi Thalib ini, bahkan sebagian besar sahabat tidak sepakat dengan rencana aneh Ali itu. Abu Ayyub al-Anshari yang gelisah karena terpengaruh kabar miring tersebut bergegas menemui Ali bin Abi Thalib di rumahnya.
Setelah diizinkan masuk dan bertemu Amirul Mukminin, Abu Ayyub segera memberondong Ali bin Abi Thalib dengan pertanyaan.
“Wahai Amirul Mukminin, benarkah engkau akan memindahkan ibu kota?” tanya Abu Ayyub. Mendengar pertanyaan Abu Ayyub itu, Ali kemudian menuturkan bahwa di kota lain (Iraq) terdapat sumber daya manusia dan potensi keuangan yang lebih tinggi (Innar Rijal wal Amwal bil Iraq).
Muhammad as-Shalabi bahkan mencatat, rencana pemindahan ibu kota yang digagas Ali tersebut juga dipengaruhi oleh kualitas dan situasi kota Madinah yang semakin tidak kondusif akibat berbagai fitnah dan munculnya berbagai kelompok separatisme setelah terjadinya skandal pembunuhan terhadap Amirul Mukminin sebelum Ali, Utsman bin Affan.
“Wahai Amirul Mukminin, bertahanlah, tetap jadikan kota Madinah ini sebagai ibu kota negara. Kota ini adalah benteng dan pertahanan yang kuat, kota ini punya sejarah besar: sebagai tujuan hijrah Rasulullah SAW. Di kota inilah mimbar Rasul SAW berdiri megah. Kota ini sudah menjadi bagian (pondasi) utama Islam. Jika engkau bertahan di sini, masyarakat akan setia membelamu dan bersedia melawan kelompok-kelompok yang hendak memusuhimu,” tutur Abu Ayyub.
Bukan memaksa, Abu Ayyub justru pasrah atas sarannya tersebut, “Namun, jika engkau masih bersikeras untuk memindahkan ibu kota, kami akan ikut berangkat bersamamu dan memaklumi keputusanmu.”
Ali bin Abi Thalib pun luluh atas saran Abu Ayyub tersebut. Ali tak jadi memindahkan ibu kota pemerintahan dari kota asalnya, Madinah. Ali masih memilih Madinah menjadi ibu kota pemerintahan yang sah. Berbagai pertimbangan untuk pemindahan ibu kota yang telah digagasnya pun akhirnya dibatalkan.
Namun sayang, setelah batalnya pemindahan ibu kota tersebut, situasi kota Madinah semakin tidak bisa dikendalikan. Ali pun akhirnya menetapkan untuk memindahkan ibu kota di luar Madinah. Ia memilih Kufah sebagai ibu kota baru dengan alasan bahwa di sana ia bisa mengawasi lebih dekat pergerakan kelompok Muawiyah.
Di sisi lain, saat melakukan persiapan untuk berangkat ke Kufah, Ali mendapatkan kabar bahwa pasukan Aisyah, Thalhah bin Ubaidillah, dan Zubair bin Awam telah sampai di kota Bashrah untuk mencari pembunuh Utsman. Awalnya kelompok Aisyah berangkat ke Bashrah adalah untuk melakukan audiensi dengan gubernur Bashrah saat itu, yaitu Ustman bin Hunaif.
Sayangnya, rencana audiensi itu berubah menjadi peperangan tatkala muncul provokasi dari seorang bernama Jalabah. Peperangan tersebut membuat Utsman bin Hunaif, sang gubernur terbunuh. Ali pun berangkat ke Bashrah dengan membawa sekitar 10.000 pasukan, dan perang Jamal antara kelompok Ali dan Aisyah pun tak bisa dibendung.
Setidaknya ada tiga alasan Ali bin Abi Thalib memindahkan ibu kota pemerintahan dari Madinah ke Kufah berdasarkan catatan Muhammad as-Shalabi dalam bukunya “Asmal Mathalib fi Siirati Amiril Mukminin Ali bin Abi Thalib”:
Pertama, merebaknya fitnah dan kabar bohong di penjuru kota Madinah setelah terbunuhnya Utsman bin Affan. Ali bin Abi Thalib menjadikan pemindahan ibu kota sebagai solusi agar pemerintahan tetap aman dan kondusif, serta terbebas dari segala fitnah dan kekacauan (chaos) yang tengah berkembang di Madinah, walaupun pada akhirnya justru Ali bin Abi Thalib yang terbunuh atas pemberontakan Ibnu Muljam setelah tinggal di Kufah.
Kedua, kota Madinah tidak lagi memiliki unsur penting sebagaimana kota-kota besar lain yang masuk dalam pemerintahan Islam pada saat itu. Dalam hal ini tidak jelas disebutkan unsur penting apa yang dimaksud, mungkin unsur penting yang dimaksud dalam hal ini adalah berupa situasi yang kondusif, potensi pemasukan uang negara, dan sumber daya manusia, hal ini sebagaimana disebutkan Ali dalam percakapan di atas.
Ketiga, kota Kufah menjadi ibu kota pengganti merupakan salah satu siasat politik Ali bin Abi Thalib untuk mengamankan dan mengawasi (calon) musuh politiknya, Muawiyah dan kelompoknya.
Di luar tiga hal itu, pemindahan ibu kota adalah hal wajar jika memang benar-benar diperlukan. Tidak hanya negara pada masa pemerintahan Ali saja, khalifah Bani Umayyah dan Abbasiyah juga tercatat pernah melakukan pemindahan ibu kota, begitu juga beberapa negara modern saat ini. Mengkritik boleh, sebagaimana kritikan Abu Ayyub kepada Ali, tapi tentu secara profesional dan proporsional sebagaimana yang telah dicontohkan juga oleh sikap Abu Ayyub tersebut.
Wallahu a’lam.