Bagi para ulama, menuntun ilmu adalah santapan lezat, bahkan lebih lezat daripada makanan. Para ulama rela mengatur waktu makannya sepadat mungkin agar tidak mengganggu waktunya belajar. Bahkan karena asyiknya belajar, beberapa ulama lupa makan dan lupa menikah.
Salah satu ulama yang selalu mengutamakan belajar daripada hal yang lain adalah Abu al-Wafa bin Aqil. Nama lengkapnya, Abu al-Wafa Ali bin Aqil bin Muhammad bin Aqil bin Abdillah al-Baghdadi. Ia merupakan salah satu ulama yang bermazhab Hanbali. Lahir pada tahun 431 H.
Menurut Ibn Hajar al-Asqalani dalam Lisanul Mizan, Abu al-Wafa adalah seorang muktazilah yang bertaubat. Setelah bertaubat dari faham Muktzilah, beliau kemudian menulis kitab-kitab yang membantah faham Muktazilah. Ibn al-Jauzi bahkan sangat mengaguminya terutama dengan banyaknya karya yang telah ia tulis.
Abdul Fattah Abu Ghuddah dalam bukunya yang berjudul Qiymatuz Zaman, menceritakan bahwa Abu al-Wafa sering tidak memperhatikan waktu makannya karena telah merasakan nikmatnya belajar.
Abu al-Wafa bahkan rela makan remahan kue dan minum sedikit air setiap harinya agar ia bisa segera belajar kembali, dan waktunya tidak habis untuk makan.
Ia pernah berkata dengan mengutip ijma’ ulama, “Waktu adalah ghanimah (harta rampasan perang) yang menyimpan banyak kesempatan. Sayangnya kewajiban begitu banyak sedangkan waktu sangat terbatas.”
Sebagai manusia biasa, kita mungkin susah untuk meniru Abu al-Fattah dalam hal menyediakan waktu belajar. Namun jika kita tidak bisa secara sempurna menirunya, kita mungkin bisa mengambil ibrah dan pelajaran bahwa waktu belajar adalah hal yang sangat penting, maka mari manfaatkan sebaik-baiknya.
Wallahu A’lam.