Peradaban manusia tidak lepas dari perkembangan Sains dan Teknologi. Dengan adanya Sains dan Teknologi memudahkan manusia dalam segala aktivitasnya. Tentunya hal tersebut adalah hasil dari gagasan yang dibuat oleh para ilmuwan. Pada abad pertengahan kita mengenal ilmuwan-ilmuwan besar seperti: Ibnu Sina, Galileo Galilei, Ibnu al-Haitsam dan lainnya. Kemudian, pada abad ke-20 terdapat ilmuwan muslim yang berhasil memenangkan Nobel Penghargaan di bidang Fisika. Ia adalah Prof. Abdus Salam.
Prof. Abdus Salam memiliki nama lengkap Muhammad Abdus Salam. Ia merupakan seorang ilmuwan muslim yang menekuni fisika partikel. Abdus Salam lahir pada tanggal 29 januari 1926 di Jhang, Lahore, Pakistan. Abdus Salam bersama dua rekannya: Sheldon Lee Glashow dan Steven Weinberg berhasil menemukan teori ‘Electroweak’ pada 1967, yang kemudian menghantarkan mereka memenangkan Nobel Penghargaan Fisika pada tahun 1979.Pencapaian tersebut menjadikan ia sebagai ilmuwan muslim pertama yang meraih Nobel.
Sebelum menjadi seorang Fisikawan, Abdus Salam menempuh pendidikan dasar dan menengah di kampung halamannya Lahore, Pakistan. Kemudian ia melanjutkan pendidikan tingginya di Universitas of Cambrige, Inggris. Disana ia berhasil meraih gelar Doctor of Psylosophy (PhD) dalam bidang Fisika Teori dengan predikat Summa Cumlaude pada usia 26 tahun. Dan gelar Profesor Fisika ia peroleh di Universitas Punjab, Lahore, Pakistan.
Dengan ilmu dan prestasi yang ia diperoleh, pada tahun 1951 Abdus Salam memutuskan untuk mengabdi ke kampung halamannya Lahore dan menjadi guru besar disana. Karena banyak faktor yang membuat ia kehilangan produktivitasnya, selang 3 tahun kemudian Abdus Salam kembali ke Inggris dengan menjadi dosen di Universitas of Cambrige. Pada umur 31 tahun ia merumuskan teori neutrino yang kemudian membuatnya dipilih sebagai Guru Besar Fisika Teori di Imperial College of Science and Technology, London.
Abdus Salam menjabat sebagai guru besar di Imperial College of Science and Technology selama 30 tahun (1957-1987). Ia juga menjabat sebagai penasihat di Kementrian Sains dan Teknologi Pakistan sejak tahun (1960-1974). Selain itu, pada tahun 1964 ia merintis pendirian International Center for Theoretical Physics (ICTP) yang difasilitasi dan didanai oleh Pemerintah Italia dan Organisasi dunia seperti UNESCO, IAEA, SIDA. Ia menjabat sebagai Direktur ICTP dalam kurun waktu (1964-1990).
Karena kontribusi dan kejeniusannya di bidang fisika, membuat Abdus Salam dianugerahi banyak penghargaan. Tak kurang dari 39 gelar doctor of science honoris causa ia terima dari berbagai Universitas di dunia. Ia juga menjadi anggota kehormatan Akademi Ilmu Pengetahuan Nasional 35 Negara di Asia, Eropa, Afrika, dan Amerika. Tidak hanya itu, Abdus Salam juga aktif mempromosikan perdamaian dunia dan kerjasama internasional di bidang Sains dan teknologi.
Meski telah meraih banyak pencapaian hebat, Abdus Salam masih menjadi sosok yang rendah hati dan menjadi muslim yang taat beragama. Hal tersebut di tuangkan dalam setiap gagasan dan karya-karya ilmiahnya yang didasari dari ajaran Islam. Ia menganut sistem integrasi ilmu (agama dan pengetahuan). Karena itu ia tidak percaya adanya konflik antara sains dengan Islam.
Ia menegaskan bahwa dari tahun 750-1100 M hampir seluruh sains merupakan sumbangan Islam. Pernyataan tersebut didukung oleh George Sarton (A Story of Science), ia mengatakan pada pada kurun waktu tersebut secara tak putus dan berturut-turut adalah zamannya ilmuwan Jabir, Khwarizmi, Haytham, Razi, Masudi, Wafa, Biruni, Ibnu Sina, Omar Khayyam, dan lainnya.
Salah satu karya ilmiah Abdus Salam berjudul ‘Faith and Science’, dalam karyanya tersebut ia menegaskan bahwa konsep sains modern sesungguhnya tidak bertabrakan dengan konsep metafisika dalam pemahaman agama. Menurutnya, konsep kosmologi modern yang sedang dikembangkan tentang teori penciptaan alam semesta dapat lebih dipahami dengan pendekatan agama dan konsep penciptaan yang diisyaratkan dalam Al-Quran.
Dalam pidatonya di sidang UNESCO yang diadakan di Paris tahun 1984, ia mengatakan “Saya muslim karena saya percaya dengan pesan spiritual Al-Quran. Al-Quran banyak membantu saya dalam memahami hukum alam, dengan contoh-contoh fenomena kosmologi, biologi dan kedokteran sebagai tanda bagi seluruh manusia”. Bahkan, dalam karya ilmiah lainnya ‘The Holy Quran and Science’ ia banyak mengutip ayat-ayat Al-Quran yang mengisahkan tentang penciptaan langit dan bumi beserta isinya.
Tidak bisa dipungkiri bahwa Abdus Salam pantas disebut sebagai Fisikawan muslim yang paling berpengaruh pada abad ke-20. Kejeniusan Abdus Salam pun diakui oleh wartawan senior dari New Scientist , Dr. Robert Walgate ‘Abdus Salam adalah fisikawan muslim yang cemerlang dalam mengemban misi sebagai duta dari tiga dunia: Islam, Fisika teori, dan kerja sama internasional’. Gagasan teori dan karya ilmiahnya banyak dipakai oleh ilmuwan penerusnya untuk mengembangkan teori-teori kosmologi termutakhir seperti ‘Grand Theory’.
Pada akhir hayatnya, Abdus Salam menderita penyakit Parkinson yang membuatnya lumpuh. Ia meninggal di kota Oxford, Inggris. Pada tanggal 21 november 1996 dalam usia 70 tahun. Kemudian ia dimakamkan di kampung halamannya Lahore, Pakistan. Walaupun jiwa dan raganya sudah tidak ada di dunia, Abdus Salam akan tetap hidup lewat karya-karya ilmiahnya yang masih digunakan dalam dunia Sains dan Teknologi sampai sekarang.
Dari kisah perjalanan hidup Abdus Salam banyak sekali hikmah yang dapat kita ambil. Sebagai pemuda muslim kita harus meniru sifat teladan dari Abdus Salam yang menjunjung tinggi nilai Tauhid. Dengan hidup yang berpedoman pada Al-Quran, dan selalu rendah hati dalam setiap pencapaian yang didapat. Karena pada hakikatnya manusia diciptakan untuk memberikan kebermanfaatan bagi sesama makhluk hidup. Semoga kita semua selalu mendapatkan hidayah dari Allah SWT. Wallahu A’lam.
Diolah dari: Mada Sanjaya (Ilmuwan Muslim). fisikanet.lipi.go.id