Malam itu, dua orang lelaki nekat menerobos badai dengan motor dan jas hujan murahan. Mereka menuju sebuah restoran untuk mencari seseorang. Radish, salah seorang di antara mereka, langsung masuk ke dalam sambil menenteng parang. Dia cepat menemukan sasarannya. Tanpa pikir panjang, parang itu dia daratkan dengan rapi di tangan sang sasaran. Darah bercucuran. Suara teriakan menjalar rata mengisi ruangan. Potongan tangan itu terlempar ke dalam sup. Lalu tenggelam.
Adegan sadis Radish di atas saya tonton saat makan mie kuah. Tanpa persiapan, tanpa tahu apa-apa. Betapa tidak beruntungnya saya malam itu. Untung saja tidak jadi masalah. Film tetap berjalan, dan makanan tetap saya habiskan.
Saya tak mengira bahwa A Sun (2019) akan dihiasi adegan thriller yang vulgar di awal. Sebelumnya, saya kira ia hanya film Taiwan yang berkutat pada aspek drama saja. Sama halnya dengan film drama Taiwan bagus lainnya, seperti Dear Ex (2018) yang luar biasa itu, katakanlah. Tapi ternyata tidak juga.
Film A Sun memang bermain dalam main domain drama keluarga. Tapi ia juga membubuhkan kriminalitas dan thriller di sebagian plotnya, serta menaburkan sejumput humor dan segenggam tragedi untuk menghidupinya. Selama dua setengah jam menontonnya, film ini berhasil membuat saya merasakan kegetiran demi kegetiran, sambil sesekali dibuat tertawa dalam bayang-bayang kepedihan hidup para karakternya.
Mong-Hong Chung adalah orang di balik hadirnya A Sun. Dia adalah sutradara sekaligus penulis naskah. Dalam penulisan skenarionya, dia dibantu oleh Yaosheng Chang. Film ini setidaknya telah memenangkan delapan penghargaan dalam empat festival film yang diikutinya, serta mendapatkan lebih dari sepuluh nominasi pada festival yang sama.
A Sun berfokus pada dinamika kehidupan keluarga A-Ho (Chien-Ho Wu). A-Ho adalah orang yang datang bersama Radish ke restoran pada malam hari ketika badai. Meski disebut dinamika, sebenarnya keluarga A-Ho lebih banyak ketiban sial ketimbang mendapat hal-hal yang menyenangkan. Tapi inilah hidup. Film ini menjadi menarik ketika dia menunjukkan bagaimana manusia bergelut menyelesaikan masalah-masalah yang terus datang padanya.
A-Ho dipenjara karena terlibat dalam aksi kriminal yang dilakukan temannya, Radish (Kuan-Ting Liu). Pemuda plontos itu dimasukkan ke dalam penjara khusus remaja. Dia dinyatakan bersalah karena telah mencuri motor dan membiarkan temannya memotong tangan orang lain. Tak ada pembelaan atau keberatan dari orang tuanya. Ayah A-Ho bahkan berharap kepada hakim untuk “melapaskan” anaknya, alih-alih meminta “melepaskan”.
Tragedi itu adalah pukulan pertama bagi keluarga A-Ho. Di penjara, A-Ho harus melalui babak adu jotos dengan penghuni lapas lainnya. Muka bonyok dan sel isolasi adalah teman baru baginya. Sedangkan ayah A-Ho harus dikejar-kejar oleh ayah Oden, korban yang dipotong tangannya. Ayah Oden ingin meminta uang kompensasi pada ayah A-Ho atas perbuatan yang bahkan tidak dilakukan oleh anaknya. Dia terus dibuntuti di tempat kerja, bahkan sesekali dia diancam oleh ayah Oden.
Tapi apa daya, ayah A-Ho hanyalah guru mengemudi di sebuah tempat kursus menyetir. Gajinya tak seberapa. Sedangkan istrinya cuma bekerja di salon kecantikan milik orang lain setiap malam. Keluarga A-Ho memang tak bisa dibilang miskin. Tapi sulit juga menuduhnya punya banyak uang. Penghasilan mereka hanya cukup untuk makan dan memenuhi kebutuhan sehari-hari, serta membiayai dua anak laki-lakinya. Membiayai kebutuhan A-Ho di penjara dan membiayai kebutuhan kakak A-Ho yang sedang menempuh kuliah.
Masalah kembali datang ketika pacar A-Ho mencarinya ke rumah. Dia hamil dan masih sekolah. Pacar A-Ho enggan menggugurkan kandungan. Dia rela menunggu A-Ho keluar penjara dan membangun keluarga bersamanya. Kehadiran pacar A-Ho adalah pukulan yang tak kalah telak bagi keluarga ini.
A Sun menghadirkan emosi yang keras pada setiap karakternya. Meski film ini bersentra pada sosok A-Ho, tapi porsi pergulatan batin untuk ayahnya, ibunya, kakaknya, dan pacarnya cukup adil. Bahkan karakter pendukung seperti Oden dan ayahnya yang menderita kerugian sebagai korban kriminalitas ditampilkan dengan manusiawi tanpa penghakiman. Pun dengan keluarga Xiao-Yu, pacar A-Ho yang mengalami dilema antara memilih menggugurkan janin atau berkeluarga dengan calon ayah yang bermasalah.
Saya kira premis film ini begitu dekat dengan penontonnya. Konflik-konflik yang dihadirkan memang tak selalu dialami setiap orang, tapi masalah bertubi-tubi yang datang dan upaya setengah mati untuk menghadapinya nyaris selalu menjadi pengalaman setiap manusia. Masalah apa pun dan bagaimanapun cara kita menghadapinya.
Sering kali satu masalah harus dihadapi satu orang atau satu keluarga. Tapi tak jarang juga satu masalah harus melibatkan banyak kepala atau banyak keluarga untuk menyelesaikannya. Tak ada yang diuntungkan sebenarnya. Karena masalah yang datang bisa saja karena ketidakberpihakan keadaan. Tanpa diharapkan dan sama sekali tidak direncanakan. Siapa mengira, ketika A-Ho meminta tolong Radish untuk menggertak Oden karena selama ini merundungnya, malah berakhir pada kerugian semua pihak?
Konflik dalam film A Sun hanyalah representasi atas rapuhnya hidup manusia dan begitu bebalnya kita menghadapi hidup yang keras. Kecelakaan, kematian, perang, perceraian, kesedihan mendalam, penyakit kronis, dan segala kemalangan apa pun bisa saja menjemput kita kapan pun. Tapi kegigihan untuk menolak tunduk masalah-masalah barangkali adalah cara abadi menjadi seorang manusia.
A Sun dibekali cara bertutur apik mengenai esensi hidup, menyelesaikan masalah, dan mencari kebahagiaan. Film ini juga didukung oleh aspek teknis yang lumayan bagus, termasuk akting jajaran pemainnya. Meski harus diakui, film yang bisa ditonton di Netflix ini memiliki durasi yang terlampau panjang, serta transisi antarbabak yang masih kurang rapi.