Nama lengkap Ibnu Ajibah adalah Abu al-Abbas bin Muhammad bin al-Mahdi bin al-Husain bin Muhammad bin Ajibah al-Idrisi al-Hasani. Lahir di desa A’jabisy Tetouan Maroko pada tahun 1161 H/1758 M. Ia adalah salah seorang ulama yang sejak kecil ditempa oleh keluarganya untuk belajar. Di usia tujuh belas tahun ia mulai melakukan pengembaraan intelektual dengan talaqqi kepada sejumlah ulama-ulama kesohor.
Karya-karya Ibnu Ajibah konon mencapai lebih dari empat puluh karya yang di antaranya adalah: ib’adul ghumam ‘an iyqaz al-himam fi syarh al-Hikam (sebuah elaborasi atas karya al-Hikam Ibnu Athaillah), al-Bahru al-Madid fi Tafsir al-Quran al-Majid (tentang tafsir al-Quran), al-Futuhat al-Qudusiyyah fi Syarh al-Muqaddimah al-Ajurumiyyah (sebuah karya komentar atau penjelasan atas kitab muqaddimah Jurumiyyah). Karya yang disebut terakhir ini meskipun kitab asal (matan)-nya berupa kitab nahwu namun di tangan Ibnu Ajibah berubah menjadi kitab tasawuf. Ibnu Ajibah mengelaborasi salah satu kitab nahwu paling masyhur dan legendaris yang ditulis oleh Syekh Abdullah Muhammad bin Dawud As-Shonhaji ini dengan pendekatan sufistik. Sesuatu yang sangat jarang –untuk tidak mengatakan tidak sama sekali- ditemukan dalam syarah-syarah lainnya.
Kalam Perspektif Tasawuf
Bagi para santri atau orang yang pernah belajar tata bahasa Arab (gramatikal), tentu tidak akan asing dengan istilah kalam (kalimat). Hampir semua kitab nahwu dari yang paling dasar sampai pada kitab yang paling sulit, pembahasan seputar kalam dijelaskan di bagian paling awal. Dengan sejumlah perbedaan penggunaan diksinya, definisi kalam tidak jauh dari apa yang dituliskan oleh kitab al-Jurumiyyah dengan redaksi: al-Kalamu huwa al-Lafdzu al-Murakkabu al-Mufidu bil Wadh’i (kalam adalah sebuah lafal yang tersusun dan dapat dipahami oleh pendengarnya)
Sebagaimana sedikit disinggung di atas, bahwa komentar atau penjelasan Ibnu Ajibah dalam syarah jurumiyyah ini tidak sebagaimana kitab-kitab lainnya, ia justru mengulasnya dengan pendekatan tasawuf sebagaimana akan sedikit diuraikan di bawah ini:
Kalam (kalimat dalam tata bahasa Arab) menurut para ulama sufi adalah sebuah kalimat yang tersusun (al-murakkab) dari ucapan dan perbuatan, dimana orang yang mengucapkan (al-mutakallim) sebuah kalimat hendaknya orang yang ucapan dan tingkah lakunya membangkitkan dan memberi petunjuk pendengarnya menuju kepada Allah SWT. Hal ini sebagaimana dituangkan oleh Ibnu Athaillah As-Sakandari:
“لا تصحب من لا ينهضك حاله، ولا يدلّك على الله مقاله”
(Janganlah kalian bersahabat dengan orang yang tingkah laku dan ucapannya tidak membangkitkan dan menunjukkan dirimu kepada Allah)
Sedangkan al-mufidu (memberi faidah atau dalam makna ilmu nahwu dapat memahamkan pendengar) bermakna memberikan faidah di hati para pendengarnya, baik berupa ilmu pengetahuan, cahaya-cahaya, rahasia-rahasia ilmu pengetahuan bagi para pendengarnya. Cahaya-cahaya yang terpancar kepada para pendengarnya ini kemudian terjadilah proses pencerahan.
Kesimpulannya, sebuah kalam ketika keluar dari sebuah hati yang paling dalam maka ia akan masuk ke dalam hati pendengarnya. Ia akan memberikan faidah dan manfaat bagi mereka. Sebaliknya, sebuah kalam bila keluar dari mulut maka ia hanya akan diterima oleh kedua telinga pendengarnya (masuk melalui telinga kanan dan keluar lewat telinga kiri).
Secara ringkas, kalam menurut para bijak bestari adalah sebuah lafadz yang tersusun dari ucapan dan perbuatan. Jika sebuah ucapan tidak sesuai atau tidak dibarengi dengan perbuatannya, maka kalam tersebut tidaklah berfaidah (mufid) di hati para pendengarnya. Sebab, tingkah laku yang mengucapkan kalimat tersebut mendustai ucapannya. Oleh karenanya, seorang penasehat (agama) yang baik adalah ia mengamalkan nasehat-nasehat yang disampaikannya terlebih dahulu, baru kemudian memberikan nasehat kepada orang lain.
Jadi, kalam menurut para sufi adalah sebuah kalimat yang kemanfaatannya kembali kepada si pengujarnya. Sebuah lafal yang tersusun dari hati dan lisan yang berfaidah sebagai pencerah bagi hati para pendengarnya.
Wallahu A’lam