
Trauma kemiskinan adalah istilah yang lucu. Akan tetapi, upaya untuk pulih dari trauma kemiskinan barangkali adalah perjalanan jangka panjang yang aku tidak tahu kapan selesai.
Akhir-akhir ini, aku merasa situasi neraca keuanganku lumayan buruk. Padahal, jika dihitung-hitung, aku sama sekali tidak menghabiskan uang untuk gaya hidup. Jika dipikir-pikir lagi, penghasilanku juga tidak kecil. Menurut kategori BPS, secara penghasilan, aku ini tergolong warga kelas atas (upper class) hahaha.
Setelah mengumpulkan keberanian untuk jujur pada diri sendiri, fakta pun terungkap. Neraca keuanganku ambrol karena saat ini aku berkeputusan menyekolahkan 3 anak asuh: 2 dari mereka belajar di perguruan tinggi, 1 anak perempuan lagi belajar di pesantren. Ditambah Raras, anak perempuan biologisku yang masih berusia 16 bulan itu, total anak yang bergantung secara ekonomi padaku adalah sejumlah 4 orang.
Aku harus berani berkata jujur bahwa aku kewalahan. Aku harus eling bahwa aku juga masih sandwich generation yang menanggung hidup Bapak yang kini disabilitas dan stroke, juga Ibu sebagai caregiver Bapak.
Seorang sahabat sering berkelakar padaku: “Penerima manfaat Kalis Foundation nambah lagi? Bu… eling Buu…”
Aku dan Agus, suamiku, punya kesamaan soal habit terhadap uang. Jangan-jangan, keputusan-keputusan kami yang tidak logis terhadap uang adalah respons dari trauma kemiskinan yang kami tanggung sedari kecil hingga remaja, atau poverty trauma.
Menurut American Psychological Association (APA), trauma adalah respons emosional terhadap peristiwa mengerikan. Trauma juga digambarkan sebagai peristiwa yang tidak dapat diproses oleh pikiran dan tubuh seperti pengalaman hidup biasa, sehingga berdampak terganggunya fungsi emosional, kognitif, dan fisik seseorang. Kemiskinan memang peristiwa mengerikan, dan oleh karenanya kemiskinan selalu traumatis.
Kemudian, aku coba mulai mengingat momen paling traumatis menjadi miskin saat kanak-kanak, terutama yang berhubungan dengan pendidikan.
***
Titimangsa 2004
Aku adalah seorang pelajar kelas 1 SMP Negeri di sekolah terbaik di kotaku. Peringkat prestasiku selalu tertinggi di kelas. Dan, hari itu adalah hari pertama ujian akhir semester.
Aku sangat gelisah dari malam sebelumnya. Dudukku tidak tenang. Lima menit sebelum pukul 7, aku sudah duduk di bangku sesuai nomor meja di ruang ujian. Tapi, aku terus menundukkan kepala. Aku berharap pengawas ujian tidak melakukan prosedur tugas yang semestinya.
Pukul 7 tepat. Dua pengawas ujian masuk. Setelah memimpin doa, satu orang membagikan soal serta lembar jawab kertas ujian, sedangkan seorang lagi berkeliling memeriksa kartu tanda peserta ujian. Harapanku tidak terkabul. Tubuhku mendadak gerah sekali untuk menanti giliran si pemeriksa kartu ujian sampai di bangkuku.
“Kalis tidak punya kartu tanda peserta ujian?”
“Tidak, Bu.”
“Tidak bawa?”
“Masih ditahan di tata usaha. Saya belum bayar SPP.”
“Kalau begitu ke tata usaha dulu, ya. Minta kartu peserta ujian sementara.”
Aku masih ingat perasaan yang paling mendominasiku saat itu: malu. Cuma aku yang mesti keluar dari kelas menuju loket tata usaha untuk melapor bahwa aku belum punya kartu peserta ujian karena orangtua belum membayar sppku selama 3 bulan berturut-turut. Setelah mengantre yang menghabiskan waktu kurang lebih 20 menit, aku baru bisa menyusul mengerjakan soal-soal ujian.
***
“Kenapa kamu ngambil anak asuh lagi, padahal yang 2 orang juga masih on going?” Tanya sahabatku.
Untuk anak asuhku yang sebelumnya, aku sudah menjawab, aku tidak ingin anak-anak itu jadi korban perkawinan usia anak. Aku ingin mereka tahu, ada dunia yang lebih luas jika mereka mau belajar. Aku mau mereka punya kesempatan yang sama sepertiku sekarang, terbuka akses ekonomi dan sosial yang lebih menjanjikan.
Aku diam saja. Aku bisa saja menjelaskan ini itu, tapi rasanya dia juga sudah mengerti.
“Pengen jadi savior? Kamu merasa, ia tidak akan ditolong orang lain selain kamu?”
Iya.
***
Agus punya kebiasaan kasihan pada orang-orang yang minta tolong kepadanya. Suatu hari, seorang Ibu asing datang ke rumah kami untuk pinjam uang 500 ribu. Ia perlu uang itu karena anaknya sangat ingin ikut study tour. Agus memberikan uang itu dengan cuma-cuma. Utuh, bukan separuh atau sepertiga nominal yang diminta.
Minggu depannya, si Ibu asing datang lagi. Pinjam (baca: minta) uang senilai 500 ribu lagi karena ia dan anaknya hampir diusir dari kos. Lagi-lagi, Agus langsung saja memberi dengan cuma-cuma.
Aku sudah bosan berdebat dengan Agus untuk urusan uang. Dia akan selalu menjawab:
“Tapi orang tadi menyentuh pertahanan emosiku. Aku tidak kuat dengar cerita anak yang tidak bisa ikut study tour.”
“Tapi orang tadi mengingatkanku pada pengalaman masa kecilku. Aku tahu rasanya berjualan tapi tidak ada yang beli.”
“Kesuksesanku ini dibantu oleh banyak orang. Aku harus membalas jasa-jasa mereka.”
Banyak.
Aku tahu, Agus tidak selalu berlebih. Ia sering memilih menahan tidak jajan karena kebocoran keuangan yang ia bagi ke orang lain sudah lebih besar dari uang yang ia punya. Tapi, bukankah aku juga sama? Cuma beda jenis aliran saja.
***
Aku tidak bisa menghilangkan ingatan kesedihan saat Bapak meletakkan begitu saja kertas bertuliskan pengumuman lolosnya aku di perguruan tinggi. Aku tahu, ia takut menjanjikan sesuatu. Aku diterima di perguruan tinggi keguruan terbaik di kota Bandung saat itu. Biaya masuknya saja mahal. Apalagi, masih harus menyiapkan biaya transportasi, kos, dan makan bulanan. Bagaimana dengan biaya fasilitas pendidikan lain? Laptop, buku penunjang akademik? Semua itu terlalu rumit untuk dipikirkan Bapak yang hanya seorang tenaga honorer non PNS di kelurahan.
Aku masih ingat lembab di pipiku yang basah karena ketakutan tidak bisa lanjut belajar di perguruan tinggi. Meskipun pada akhirnya aku bisa lanjut belajar di perguruan tinggi negeri di Solo berkat jasa banyak orang. Tidak kusangka, trauma kemiskinan masih akan mengikutiku sampai puluhan tahun kemudian.
***
Mungkin sekitar tahun 2009.
Aku hampir lulus SMA. Aku mendengar teriakan dan makian Bude E, tetangga yang berjarak satu rumah, dari ujung jendela kamarku. Dinding rumahku terbuat dari kayu keropos sehingga tidak sulit mencari lubang untuk mengintip peristiwa apa yang terjadi di luar.
“Kalau nggak punya uang nggak usah ngutang, Su, Asu! 20 ribu saja kok sampai berbulan-bulan nggak bayar. Woooo, Asu!”
Yang berkali-kali dimaki dengan sebutan asu (anjing) adalah Bulik Suminah. Ia seorang pekerja rumah tangga beranak 3 yang semuanya masih sekolah. Suaminya pemalas dan suka KDRT.
Pada siang yang terik panasnya nyalang itu, aku pertama kali belajar tentang apa itu martabat.
Kenapa seseorang jadi seolah boleh dimaki-maki hanya karena tidak punya uang 20 ribu buat bayar hutang?
Aku berlari membuka pintu rumahku bagian belakang. Dengan bisik-bisik, kupanggil Bulik Suminah lalu mengangsurkan uang 20 ribu padanya dengan tangan gemetar dan linangan air mata di pipi.
Mungkin sebetulnya saat itu tubuhku sudah mulai merekam trauma.
***
Menurut literatur, seseorang yang mengalami trauma kemiskinan memiliki gejala yang beragam. Pada diriku, setidaknya ada dua tanda yang cukup kronis, yaitu: kecanduan bekerja dan menyalahkan diri sendiri jika tidak dapat membantu orang lain yang mengalami kesulitan finansial.
Aku sangat takut berada dalam kondisi tidak punya uang. Bertahun-tahun dalam hidupku, aku sudah menjadi saksi bagaimana Ibuku dimaki rentenir, debt collector leasing, tentara sampai polisi, karena jadi orang miskin yang tidak punya uang. Mata dan telingaku merekam situasi-situasi mengerikan saat Ibuku mencoba menghadapi stres dari hari ke hari. Oleh karena itu, aku sangat gila bekerja hari ini. Di mana ada peluang yang bisa kuambil untuk mendapat tambahan uang, pasti kukerjakan meskipun seharusnya aku punya hak beristirahat.
Aku juga akan kepikiran berhari-hari jika tidak membantu kebutuhan seorang anak perempuan untuk melanjutkan pendidikan. Karena kepikiran terus, akhirnya aku memilih untuk bekerja lebih banyak dan lebih banyak lagi agar bisa membayar semua tanggungan tiap bulan.
Kindness (kebaikan) tentu selayaknya dikloning lebih banyak. Tugasku adalah memastikan hantaran-hantaran kebaikan itu lahir dari keputusan yang rasional, bukan berasal dari manifestasi respons atas trauma. Aku tidak ingin cemas terus menerus saat dihadapkan pada setiap realitas yang memicu trauma kemiskinanku. Aku tidak ingin kecanduan bekerja hingga stres, sebab yang kuinginkan adalah bekerja dengan berkesadaran. Setiap keputusan yang kompulsif justru akan merusak diriku sendiri.
Well, I am also working on my trauma. Wish me luck, guys!