
“Orang Tionghoa harus diakui sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, bukan sebagai minoritas yang terpisah”
(Pramoedya Ananta Toer)
Setahun pasca kemerdekaan, Bung Karno mengeluarkan ketetapan pemerintah bernomor 2/OEM/1946 tentang hari-hari raya umat beragama. Dalam ketetapan itu, khususnya pasal 4, tertuang 4 hari raya orang Tionghoa, yaitu Tahun Baru Imlek, hari wafatnya Konfusius, Cheng Beng, dan hari lahir Konfusius.
Ketetapan ini merupakan Ikhtiar Bung Karno mewujudkan cita kebangsaan Indonesia yang merangkul semua golongan, sebagaimana ia pidatokan di depan sidang BPUPKI. “Indonesia, semua untuk semua.Indonesia untuk Indonesia “.
Eksistensi komunitas Tionghoa sebagai etnik (dan juga bangsa) diakui secara absah sebagai bagian dari keindonesiaan. Bung Karno berusaha mencairkan berbagai ketegangan antara komunitas Tionghoa dengan keindonesiaan, sebagai konsekuensi logis politik kolonial.
Tidak ada lagi jarak antara komunitas Tionghoa di Indonesia dengan keindonesiaan. Legalisasi perayaan Imlek merupakan ikhtiar “mengindonesiakan” komunitas Tionghoa tanpa harus memutus kebudayaan mereka.
Namun, ikhtiar Bung Karno untuk merayakan Indonesia yang berwatak Internasionalisme itu harus sirna, takluk oleh kuasa rezim Orde Baru.
Adalah Kristofarus Sindhunata (jangan dikacaukan dengan Romo Sindhunata) yang menjadi konseptor dikeluarkannya inpres no 14 Tahun 1967.
Inpres ini melarang segala hal yang berbau Tionghoa, termasuk perayaan hari raya Imlek.
Inpres ini sungguh mengerikan. Komunitas Tionghoa dipaksa menjadi Indonesia dengan menanggalkan atribut ketionghoannya.
Celakanya, Orde Baru bertindak lebih jauh dengan mengeluarkan surat edaran Presidium kabinet Ampera no 6 tahun 1967 yang berisi ;
1. Orang Tionghoa mau melupakan dan tidak menggunakan lagi nama Tionghoa.
2. Orang Tionghoa harus mau menikah dengan orang Indonesia pribumi asli.
3. Meninggalkan dan menghilangkan agama kepercayaan, adat istiadat, dan bahasa Tionghoa ; termasuk perayaan Imlek.
Alih-alih mengindonesiakan komunitas Tionghoa, kebijakan Orde Baru ini justru memperlebar jarak antara Komunitas Tionghoa dengan keindonesiaan. Orang-orang Tionghoa menjadi tidak nyaman berindonesia karena eksistensi mereka telah dirampas sedemikian rupa. Di titik ini, Orde Baru telah melakukan genosida kebudayaan terhadap orang-orang Tionghoa di Indonesia. Lebih lagi, Orde Baru juga mencipta stigma negatif kepada orang-orang Tionghoa sebagai komunis.
Beruntungnya, pasca Orde Baru, Indonesia mempunyai Presiden sekelas Gus Dur yang dengan tepat mencabut inpres no 14 Tahun 1967.
Gus Dur mengembalikan posisi komunitas Tionghoa di Indonesia kembali pada khittah-nya, menjadi bagian tak terpisah dari Indonesia Raya.
Dan, atribut budaya Tionghoa, termasuk perayaan Imlek memperkaya khazanah keindonesiaan yang multikultur. Di Indonesia, Imlek bukan hanya tentang hari raya orang-orang Tionghoa tetapi juga tentang dialog kebudayaan, menjadi ruang komunikasi budaya untuk merayakan Indonesia yang berbhineka.
Perayaan Imlek bukan hanya untuk komunitas Tionghoa di Indonesia, tetapi juga untuk kita semua, untuk Indonesia Raya.