Nasionalisme Jawa Modern, Pasca Kolonialisme dan Relevansinya

Nasionalisme Jawa Modern, Pasca Kolonialisme dan Relevansinya

Nasionalisme Jawa Modern, Pasca Kolonialisme dan Relevansinya

Kepada mas Rumekso Setyadi atau biasa kami sapa Mas Kijok atau Yook, terimakasih atas kesempatan membahas buku “ Nasionalisme Jawa Di Era Modern: Pemikiran Politik Tjipto Mangoenkoesoemo dan Noto Soeroto karya Mas Farabi Fakih, sejarawan muda harapan kita semua. Terimakasih juga kepada Mas Abi (panggilan Farabi).

Setelah membaca buku ini, yang merupakan tesis es dua Mas Abi di Universitas Leiden,Belanda, dan ditulis dalam bahasa Belanda, saya baru tahu kalau gagasan Pak Tjipto masa itu mirip dengan bayangan para alumni sejarah UGM seperti Mas Yoyok tentang perubahan sosial.

Pada halaman 93-94 misalnya disebutkan bagaimana Tjipto menggeser istilah pemberontakan menjadi revolusi yang terjadi akibat tidak nyambungnya kerja struktural penguasa dengan sentimen rakyat.

Pada halaman berikutnya (112-113), Zaman politik etis, fokus pemerintah kolonial pada percepatan kapitalisme dan industri sehingga memacu pertahanan dan pengembangan infrastruktur. Ini mungkin mirip dengan Pak Jokowi (hlm 112-113). Berbeda konteksnya saja.

Dampaknya politik etis pada masa itu adalah semakin tidak relevannya kekuasaan feodal Jawa dan percepatan dari perubahan persepsi masyarakat atas/terhadap feodalisme.

Seperti kita tahu, feodalisme Jawa mulai merosot pada masa Pakubuwono II. Penguasa Mataram ini mendorong putera puterinya bersekolah ala eropa tapi ia juga sangat lemah dalam bimbingan para penguasa kolonial. Menyerahkan pesisir utara Jawa kepada pemerintah kolonial.

Karena tesisnya mas Abi merupakan kajian sejarah gagasan atau ide-ide, penjelasannya sangat kompleks. Tapi saya membaca dengan keterbatasan saya, poros dari buku terletak pada bagaimana tokoh-tokoh elite Jawa akhir abad-19, seperti Tjipto, Noto, dan Soetatmo mengatasi pengkerdilan pemerintah kolonial atas kultur Jawa melalui gaya pemerintahan kolonial Belanda yang rigid (karena abad 19,terutama setelah perang Jawa), kontrol pengetahuan kolonial atas Jawa semakain memerosotkan gagasan tentang nasionalisme Jawa, salah satu bentuk nasionalisme etnik di zaman kolonial Indonesia di satu sisi. Persilangan imaginasi kebudayaan Jawa di kalangan elite Jawa akhir abad-19 dan awal abad (Mas Abi menyebutnya kuartal awal abad-20) dengan modernitas yang dikandung kolonialisme dan jenis mistisme-kolonial (istilah saya) berupa gerakan teosofi yang tidak memberikan jawaban bagi elite Jawa untuk memperkuat dan merevitalisasi kebudayaan Jawa di sisi lain.

Belakangan ini saya melihat kecendrungan sebagian generasi muda Pesantren menuduh aparat pengetahuan kolonial bertujuan memisahkan kebudayaan Jawa dengan Islam (sesuatu yang dibahas juga dalam buku ini), tapi sejak Raflless menulis The History of Java dan tumbuhnya pengetahuan kolonial Belanda atas Jawa belakangan ternyata bertujuan mematikan aspek mistikal dan imaginatif dari kebudayaan Jawa sehingga upaya para elite Jawa, baik kalangan priyayi maupun aristokrat Jawa mencari jawaban dari kemerosotan kebudayaan Jawa menuai jalan buntu.

Tjipto yang dikenal “sebagai orang yang susah diatur” oleh sesama aktivis Boedi Oetomo bergerak dari Indisme kolonial ke Kiri dan Islam. Sementara Noto yang pulang dari Belanda mendapatkan diri dan gagasannya di bagian kanan dari arus nasionalisme pribumi yang mulai bergerak ke nasionalisme etnik.

Berbagai perkembangan gagasan politik dari elite Jawa pada akhir abad-19 dan kuartal awal abad-20 ini yang disebut Mas Abi sebagai langkah bunuh diri kebangsaan Jawa, matinya nasionalisme Jawa. Tampaknya pertanyaanya tentang: Kenapa Nasioanalisme Jawa ini kemudian gagal dan apa sebab dari “bunuh diri kebangsaan” Jawa pada politik etis itu?

Penting dari beberapa kelompok sosial yang terbentuk oleh kultur kolonial menanggapi situasi historis mereka. Terutama cara mereka merespons krisis budaya Jawa dan perkembangan pemikiran politik dalam konteks masa akhir dari kolonialisme Belanda yang sangat efektif dan lebih keras.

Terjadi pertukuran gagasan yang cepat. Kebiasaan para sejarawan selama ini hanya mengutamakan suatu moda atau kecenderungan tertentu dalam melihat gagasan nasionalisme Indonesia di kalangan elit Jawa awal abad 20 tidak terlalu bermanfaat.

Gagasan politik kanan para elit jawa di awal abad 20 tidak hitam putih dan memiliki resonansi sampai hari ini. Tidak itu saja, serpihan gagasan kaum kanan di masa itu juga sangat beragam, termasuk penolakan mereka pada kemungkinan dari tidak siapnya masyarakat menopang demokrasi parlementer ala Eropa.

Konteks historisnya : Pemerintah kolonial Belanda yang ingin mempertahankan koloninya, melakukan berbagai upaya politik transformatif tetapi pada saat yang bersamaan dibatasi oleh ambisi kolonialnya. Kedua, kalangan aristokrat yang mengalami krisis politik maupun kultural yg berbarengan dengan merosotnya legitimasi kekuasaan feodal dan kebudayaan Jawa.

Ketiga kelompok priyayi yang merupakan sebuah kelompok sosial pada masa kolonial yang lahir dari persilangan politik feodalisme Jawa dan politik pemerintah kolonial dalam memperluas dan mengefektifkan kuasa kolonial atas para penguasa feodal yang berlanjut dengan pengaturan atau kontrol atas kaum feodal. Ketiga, adalah tumbuhnya kultur Indis, yakni kelompok yang persilangan pribumi dengan eropa yang mendorong reformasi kolonial di tanah jajahan. Jumlah kaum indis ini terhitung signifikan jika dilihat dari jumlah dan ragam orang Eropa yang menetap di Hindia Belanda seperti dipaparkan Lombard.

Ada kelompok keempat, yakni kelompok muslim yang beragam, yang sejak abad 18- telah mulai berijtihad, memperbaharui doktrinal Islam. Tidak saja di Jawa, seperti dijelaskan para sejarawan generasi belakang seperti Carool Kersten, Laffan dan banyak lainnya, yang terus bergerak di luar geografi kolonial Belanda.

Terjadi pergeseran keislaman, dari mistisme-tinggi (tasawuf muntahi) yang mudah berkelindan dengan mistisme dan kultur lokal, saling rasuki satu sama lain, sebagaimana Tantra yang tidak terbedakan dengan ortodoksi Hindu maupun budha pada masa pra-Islam di jawa sebagaimana diteliti oleh Acri dan lainnya, ke jenis neo-sufisme yang lebih moderat dengan cashing syariat yang lebih menonjol.

Keempat anasir ini nantinya memberi jalan bagi trajek nasionalisme Indonesia yang menuntut perputusan total dari para penjajah dan kultur indis.

Untuk konteks Jawa, saya kira Perang Jawa yang terjadi pada jeda atau masa-masa stabil kekuasaan Jawa, dipicu oleh sentimen akan lemahnya sikap para penguasa Jawa dan rangkaian ketidakadilan yang dilakukan pemerintah kolonial dan para penguasa feodal.

Jadi pemberontakan dan perlawanan tidak selalu karena situasi tidak stabil, tapi seringkali karena terjadinya akumulasi ketidadilan yang menumpuk sehingga mempertebal rasa ketidakadilan di tengah masyarakat.

Di sini saya menyinggung perang Jawa untuk mengatakan bagaimana perpisahan kultur jawa dengan pesantren terjadi paska perang Jawa. Pada akhir abad-19, pesantren tidak mengajarkan lagi pengetahuan Jawa, menyusun langgam pengucapan pengetahuan Jawa baru untuk membaca teks-teks klasik Islam.

Langkah revitalisasi ortodoksi Islam ini melahirkan suatu bentuk sunisme Indonesia yang tidak terikat dengan bentuk sunisme di dunia Islam lainnya karena sunisme yang politis biasanya hanya fokus pada kajian legalisme Islam, tapi ini memberikan ruang yang lebar bagi tasawuf berkembang dan masih mengakomodir jenis mistisme lama di Indonesia dan lebih ke arah terbentuknya suatu etika daripada orientasi kekuasaan an-sich.

Tentu saja ini tidak se-linear yang saya sebutkan. Mereka merekonstruksi suatu bentuk “tatalisme Islam” daripada sinkretisme sebagaimana dibayangkan Ricklefs atau yang lainnya. Tapi belakangan sunisme, baik di NU dan Muhammadiyah semakin ortodok sehinga tidak responsif dengan perubahah politik yang semakin ke kanan.

Sekali lagi, paska perang Jawa, kelompok pesantren di Jawa mulai berpisah dengan jalan para bangsawan. Dan ini berdampak pada perkembangan pesantren itu sendiri dan juga memperparah krisis kultural/budaya jawa secara umum.

Tapi saya yakin sebagaimana disebutkan Mas Abi di halaman IX bahwa tidak ada batasan pasti dari kelompok-kelompok ini, ada suatu yang longgar di antara beragam kelompok ini untuk konteks zaman kolonial. Terutama soal silang-sengkarut gagasan politik.

Saya tidak mengatakan bahwa mas Abi abai dengan kelompok Muslim Jawa ini karena fokus tesis atau buku ini pada elite Jawa dan respons mereka dengan situasi yang mereka hadapi.

Saya menyinggung ini karena dari halaman pertama saya membuka buku ini, saya berfikir kalau penelitian semacam ini seharusnya sudah dilakukan oleh dua generasi sejarawan atau pemikir Indonesia sebelum mas Abi.

Maksud saya, bagaimana aspek intelektual yang kaya dengan kosakata baru pemikiran digunakan membaca-ulang berapa peristiwa atau gagasan dalam sejarah nasionalisme Indonesia di masa yang krusial, akhir abad 19 dan awal abad dua puluh berhasil melepaskan belenggu-belenggu pembatasan yang dilakukan oleh para pakar Indonesia.

Misalnya mas Abi dari pengantar bukunya sudah mengingatkan bahwa kajian dalam buku ini, pemikiran politik Tjipto Mankoekoesomo dan Noto Soeroto, bertujuan untuk tidak (bukan) mereifikasi posisi “kiri” atau “kanan” gerakan nasional Indonesia, melainkan untuk membuyarkannya. Kajian ini bertujuan untuk menunjukkan betapa cairnya dan saling bersengkarutnya ide ide politik para tokoh terpelajar awal Jawa dalam memikirkan masa depan yang mereka bayangkan. Dalam banyak halaman, Mas Abi menunjukkan dengan asertif aspek modular dari gagasan politik orang-orang seperti Tjipto, Soetatto, Noto dan Douwes Dekker. Dialektika antara irasionalisme budaya Jawa dan analisis Marxis dalam konteks imperialisme. Belum lagi menghitung lalu lintas gagasan transnasional yang berkembang pada masa itu.

 

Menariknya, terkait dengan Tjipto, Mas Abi memberikan argumen yang baik tentang bagaimana kemudian orang seperti Tjipto melalui serangkaian perubahan orientasi pemikiran kemudian menemukan materialisme historis sebagai jalan keluar dari kungkungan kolonialisme, terutama dalam mengkerdilkan kebudayaan Jawa.

 

Dan bagaimana aristokrat Jawa seperti Noto yang sangat konsentrasi dan perhatian dengan revitalisasi kebudayaan Jawa tidak tertarik dengan Kejawen dan mistisasi kebudayaan Jawa dan melihat hubungan kebudayaan Jawa dengan kebudayaan ala Tagore sebagai pelipur lara dari nestapa akan kebudayaan Jawa.

 

Dari nasionalisme etnik, nasionalisme Jawa atau Jawa Modern, buku relevan dengan perkembangan nasionalisme sampai hari ini.

 

Penulisan tentang gagasan nasionalisme yang kompleks dalam buku ini, tentang gagasan politik Noto maupun Tjipto secara halus melampui nasionalisme Andersonian yang memang sudah babak belur dikritik banyak orang. Salah satu persoalan yang diantisipasi dalam buku ini bahwa nasionalisme non- (bukan post) andersonian itu harus ditopang oleh suatu imaginasi yang luas melampui batas-batas teritorial negara, harus didukung oleh gagasan-gagasan melampui imaginasi negara itu sendiri. Nasionalisme sebuah bangsa harus dibicarakan di ruang publik yang lebih luas dan membuka katup-katup gagasan yang terkotak-kotak.

 

Alur kajian gagasan politik Tjipto dan Noto yang digambarkan mas Abi menunjukkan bahwa pemikiran mereka tidak saja semata untuk terbentuknya sebuah negara-merdeka atau masa depan politik bangsanya, tapi berbagai kemungkinan dari Indonesia yang dibayangkan itu, persis di titik inilah Tjipto dan Noto tidak terlihat tunggal dan hitam putih. Kemampuan mereka mengisi zamannya dengan pikiran-pikiran yang tajam menembus batas batas kemerosotan Budaya Jawa dan batasan-batasan dari kekelaman imperialisme itu sendiri.

 

Partha Chatterjee pada tahun 1983 ketika mengkritik Anderson menekankan: Pertama, kesalahan Anderson selain terlalu eurosentrik, terlalu menempatkan nasionalisme pada trajek negara-bangsa (nation-state) yang sangat khas Barat. Nasioanalisme harus dilihat sebagai imaginasi yang terus berlangsung. Aspek meterial dan spritual dari nasionalisme dalam pembedaan yang dibuat Chatterjee itu tidak harus diserahkan kepada negara, tapi aspek spritual dari nasionalisme beruapa gagasan, identitas, pembentukan subjek, dan paling penting “kebebasan imaginasi” harus diberikan kepada para pemikiran dan kelompok non-struktural. Catheerje kemudian menyebutkan “ masyarakat politik” yakni kelompok-kelompok dengan terpaksa kita sebut kelompok sipil yang menyusun gagasan dan lembaga lembaga yang lebih kredibel untuk mengatasi penyakit negara paska kolonial. Bagi Chaterjee dan generasinya jelas bahwa negara bangsa paska kolonial ini tidak akan pernah sepenuhnya berdaulat.

 

Saya menemukan banyak perkembangan dari gagasan nasionalisme hari ini. Misalnya perkembangan Nasionalisme Baru yang dikembangkan banyak orang muda di banyak negara. Mereka mulai melihat permasalahan dengan negara-isme (state-ism) yang berwatak kelam dan ekstraktif. Melihat biner Timur-Barat sebagai sesuatu yang tidak nyata. Sistem pemerintahan paska kolonial di banyak negara masih terjerat dengan dominasi imperialisme. Gagasan kebangsaan sebagai sesuatu yang lebih luas dari batasan negara, bukan satuan gagasan dengan gagasan negara.

 

Munculnya gagasan nasionalisme, semacam perkembangan pemikiran tentang bangsa-bangsa yang dikembangkan dalam konteks ruang publik transnasional mengenai kemungkinan dari bangsa-bangsa yang eksis walaupun mereka tidak memiliki ‘negara’. Walaupun juga mereka mendambakan sebagaimana dikatakan mas abi di awal buku, yakni perjuangan atas geografi akan melahirkan geografi moral baru : negara berdaulat yg membuka diri bagi keragaman dan landasan kemanusiaan.

 

Saya membaca buku Ruba Salih and Sophie Richter-Devroe dan Husien Yilmaz mengenai kasus Palestina, Israel, Kurdi atau terbentuk Quartet-demokrasi Tunisia paska-Arab Springs yang telah merubah pandangan tentang nasionalisme paska kolonial. Negara kolonial-pemukim atau kolonial garnisun seperti Israel telah merelavankan ulang meditasi Ernst Cassirer dalam The Myth of State. Bagaimana negara menjadi sumber kekerasan dan perampasan. Negara kolonial pemukim seperti Israel menjadi cerita dari bagaimana gagasan negara itu sangat berwatak kolonial pada dirinya.

 

Kajian tentang pemikiran politik Tjipto dan Noto membuktikan seperti dibayangkan Edward Said tentang dampak kolonialisme bagi “inventory” orang jajahan. Said tidak mengatakan bahwa kolonialisme itu berdampak totaliter terhadap kaum terjajah tapi ia mengatakan kolonialisme itu menyebabkan “unhealable rift” (rasa sakit yang susah disembuhkan). Salah obat obat mujarabnya adalah tumbuhnya pemikiran yang matang dan tidak terkotak kotak sebagaimana ditempuh mas abi dalam menggambarkan pemikiran politik dua tokoh penting dalam awal pergerakan Indonesia.

 

Alur buku ini terdiri dari:

 

Bab pertama pendahuluan: penjelasan tentang latarbelakang historis dari penulisan sejarah gagasan Tjipto dan Noto. Seperempat awal abad 20 merupakan fase paling intensif dari perubahan sosial, politik dan ekonomi di Hindia Belanda. Kolonialisme yang semakin intensif, budaya Jawa yang merosot (menggambarkan putus asanya elite Jawa sebagaimana ratapan Ronggowarsito), ideologi transnasional dan situasi sulit bagi orang jajahan.

 

Tekanan dari berbagai arah terhadap gagasan modernisme Jawa dan nasioanlisme Jawa di tengah elite Jawa pada masa politik etis.

 

Pada bagian ini mas Abi memberikan gambaran tentang “keserba mungkinan” dari dinamika yang pemikiran pada masa itu, terutama perubahan sejak abad-18 dan 19 dari struktur kolonial Eropa yang berdampak di Jawa. Terbentuknya projek pengetahuan kolonial atas jawa dan bagaimana pengaruhnya atas nestapa elite Jawa yang meratapi kemerosotan budaya Jawa. Kedua, dominasi kolonial yang rigid melalui aparat pengetahuan kolonial atas Jawa semakin menumbuhkan inferioritas kebudayan Jawa yang senyatanya sudah merosot. Ketiga, terjadinya perpindahan gagasan yang cepat mengenai trajek masa depan bangsa Indonesia disebabkan oleh kebuntuan dalam merevitalisasi kehebatan dari kebudayaan Jawa.

 

Mas Abi menyebut kan bahwa kajiannya adalah mengenai aspek non-material dari nasionalisme Indonesia: Bagaimana lalu lintas pemikiran membentuk gagasan para elite jawa pada masa itu dan melihat gagasan apa saja yang tersedia pada masa itu.

 

Kebangkitan pemikiran elite Jawa, baik priyayi ataupun kalangan aristokrat, tidak saja disebabkan oleh kebangkrutan budaya Jawa tapi lebih karena kesenjangan faktual antara mereka dan para penjajah.

 

Kedua, adalah pendekatan kultural sejarah yang tidak berhenti sebagai eksplanasi sejarah tapi bagaimana gagasan-gagasan para elite jawa pada awal pergerakan masih hidup dan mempengaruhi Indonesia paska kolonial. Seperti kemungkinan Orba sebagai kelanjutan dari pemikiran politik kanan di antara elite jawa di awal abad 20.

 

Bab II mengenai Proyek Pengetahuan Kolonial: Ini penjelasan paling rigid mengenai pranata pengetahuan kolonial Belanda atas kebudayaan Jawa. Mas Abi memulai dengan argumen bahwa pranata pengetahaun kolonial menjadi trends kultur kolonial Eropa paska Napoleon di Eropa.

 

Projek pengetahuan kolonial yang menempatkan Jawa sebagai kebudayaan adiluhung dengan mengaitkannya dengan pengaruh India dl atau Jawa pra Islam. Selain menegaskan tentang ketidakotentikan kebudayaan Jawa atau reifikasi kebudayaan Jawa, pengetahuan kolonial atas kebudayan Jawa mengarah pada gagasan “opvoeding” (Jawa membutuhkan bimbingan agar beradab dari Belanda) kaum penjajah kepada pribumi, aspek ini melahirkan bentuk modernitas naif di kalangan priyayi dan aristokrat Jawa. Pada sebagian saja. Pada ujungnya, orang jawa merasakan juga bahwa Jawa yang direkonstruksi oleh aparat pengetahuan kolonial ternyata bukan Jawa yang hilang yang diratapi oleh orang Jawa sendiri.

 

Bagian ketiga Tentang Kebangkitan Politik Jawa

 

Dampak politik pengetahuan kolonial atas Jawa menghasilkan suatu bentuk reifikasi Jawa (istilah Mas Abi). Para elite Jawa yang memiliki kesempatan mencecap pendidikan modern mengalami kekecewaan dengan modernitas. Pergulatan dengan modernitas di masa kolonial-tinggi seperti abad 20 ternyata mengembalikan para terpelajar Jawa berharap kepada kebudayaan Jawa karena dianggap lebih memberikan mereka arti dari tujuan hidup. Krisis yang mereka alami harus dijawab dengan melakukan rekonstruksi atau Wederopbouw kebudayaan Jawa. Mas abi mengutip Roger Griffin tentang kemungkinan atau tumbuhnya fasisme di kalangan elit Jawa dalam persilangan trajek politik, sosial dan estetika elite jawa pada masa itu. orang orang seperti Noto dan Soetatmo Soeriokoesomo yang berasal dari kalangan aristokrat Jawa menggemakan fasisme, kananisme politik.

 

Bab ini membahas secara kaya perubahan masyarakat Jawa menuju modernisme Jawa, baik yang di spektrum kiri dan kanan. Tidak saja gagasan tapi pertumbuhan organisasi seperti Boedi Oetomo, Indische Partij (kemudian jadi Insulinde). Tumbuhnya beragam bentuk nasionalisme. Dan bagaimana teosofi tumbuh meresapi semua organisasi ini (loji pertama teosofi ini di pekalongan, kecuali ISDV. Teosofi mempengaruhi hampir semua kelompok nasionalis Jawa (etnik) pada masa itu. Teosofi mengangkat dan meromantisir keagungan kebudayaan Jawa karena dianggap memiliki keunggulan mistisme yang tidak dimiliki masyarakat modern yang materialis.

 

Kedua terbentuknya reaksi terhadap projek reifikasi Jawa oleh aparatur pengetahuan kolonial. Disusul dengan terjadinya hubungan elite Jawa awal abad 20 dengan kebudayaan Indis seperti yang telah disinggung sebelumnya. Tokoh semacam Tjipto dan Soetamto pada awalnya terhubung dengan gagasan politik Indis dari Douwes Dekker dan lainnya.

 

Dalam konteks terbentuknya Modernisme Jawa, kebudayaan Indis dan percepatan gagasan Kiri pada kitaran 1910-an telah melahirkan sosok seperti Tjipto yang awalnya berdiri di gagasan Nasionalisme Jawa, terus ke politik Indis dan kemudian merangkul gagasan emansipasi Kiri untuk menjawab tantang reifikasi kebudayaan Jawa. Pada bab ini dibahas sosok Tjipto secara detail.

 

Bab IV: Periode Etis dan Modernitas. Di awali dengan dengan dasar dasar pertanyaan pemerintah Belanda mengenai politik etis: Apakah Hindia akan dapat mempertahankan hubungan harmonisnya dengan Belanda? Politik asosiasinya Snouck Hurgronje dan lainnya. Kemudian muncul gagasan modernitas dan bangsa (nasioanlisme). Mengutip Anderson dan Harvey, masalah nasionalisme merupakan gejala modern, tekanan ruang-waktu. Perkembangan saintifik dan teknologi di Eropa berdampak pada gagasan tentang batasan dan geografi. Manusia mulai menelusur alasan-alasan mereka menjadi satuan sosial seperti ras dan aspek bahasa yang disebabkan persebaran cepat informas karena suburnya kebudayaan cetak-kapitalis. Kutipan pada Griffin juga melihata aspek lain dari modernitas-bangsa, yakni pada awal gagasan bangsa muncul terjadi persilangan atau hubungan fasisme, modernisme, irrasionalisme, dan okultisme. Di Hindia, persengkarutan gagasan yang disebutkan berujung pada periode etis yang sebenarnya semakin mendesak kebudayaan Jawa karena negara kolonial Hindia mulai menempatkan warga sebagai konsumen dari logika ekstraksinya.

 

Seiring dengan perkembangan pendidikan di Hindia bagi kalangan pribumi,kebutuhan negara kolonial Hindia yang semakin teknokratik, pembangunan infrastruktur yang sangat massif untuk ukuran jamannya, pada masa politik etis semakin memperlihatkan senjakala bagi kekuasaan feodal Jawa. Dan sepertinya keterjepitan ini yang mendorong antusiasme orang seperti Noto dan lainnya melakukan reformasi kultural Jawa.

 

Pada Bab V khusus membahas sosok Noto dan pemikirannya sepertinyang dijelaskan di atas secara sederhana. Sebagai bangsawan puri Paku Alam yang mengenyam pendidikan di Belanda. Noto di Belanda membayangkan Hindia yang maju sebagai Hindia yang dibawah bimbingan pengadaban Belanda. Pada sisi lain ia membayangkan Jawa yang dekat dengan India sebagaimana dikembangkan Tagore.

 

Nasioanalisme Jawa memang gagal secara politik, Jawa sebagai gagasan politik dan gagasan kebudayaan di awal pergerakan kemerdekaan redup, namun sebagai gagasan politik dan kebudayaan tetap menggemakan resonansinya seiring dengan terbentuknya negara-manejerialis Orde Baru.

 

Terlalu banyak ringkasan yang umum sifatnya dalam ulasan ini. sebaiknya memang membaca sendiri bukunya. Wallahu ‘alam bis shawab. ( Hasan Basri Marwah)