Kelompok Minoritas Selalu Jadi Korban Stabilitas Palsu Sejak Orde Baru hingga Masa Kini

Kelompok Minoritas Selalu Jadi Korban Stabilitas Palsu Sejak Orde Baru hingga Masa Kini

Sejak masa orde baru, kelompok minoritas selalu menjadi korban dari stabilitas palsu. Celakanya, itu terus direproduksi hingga masa kini.

Kelompok Minoritas Selalu Jadi Korban Stabilitas Palsu Sejak Orde Baru hingga Masa Kini

ISLAMI.CO – Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid menjelaskan bahwa masyarakat Indonesia di masa Orde Baru hidup dalam stabilitas palsu.

“Kita hidup di dalam satu kepakeman, harmoni, stabilitas, kesatuan, yang palsu,” ujar Usman dalam diskusi bertajuk ‘Wrap Up Kebebasan Beragama 2024: Era Prabowo-Gibran Gimana Nih?’ di Outlier Café, Ciputat Timur, Tangerang Selatan, Jumat (6/12) sore.

Stabilitas palsu yang ada di masa Orba tersebut melahirkan ketimpangan struktural dalam bentuk diskriminasi terhadap kelompok minoritas, khususnya etnis Tionghoa.

“Itu bisa kita lihat sepanjang pemberlakuan rezim orde baru, ketika etnis Tionghoa dianggap sebagai pihak yang negatif, dianggap komunis, dianggap tidak layak untuk diakui sebagai manusia,” beber Usman.

Diskriminasi itu mengakibatkan etnis Tionghoa kesulitan untuk menjalankan keyakinan yang mereka anut. Lebih dari itu, mereka juga tidak bisa menjadi pegawai negeri, dan tidak bisa bergabung TNI maupun Polri.

“Satu-satunya yang mereka bisa lakukan adalah berusaha, berbisnis,” ucap Usman.

Ironisnya, warga Tionghoa yang mengalami diskriminasi itu justru disalahkan saat negara mengalami ketidakstabilan ekonomi yang sebenarnya menjadi tanggung jawab pemerintah.

“Ketika negara gagal menyeimbangkan ruang fiskal, menyeimbangkan keperluan moneter, menjaga nilai tukar rupiah, mereka (etnis Tionghoa) yang disalahkan,” terang Usman.

Sudah jatuh, tertimpa tangga. Saat banyak harga kebutuhan pokok di toko-toko warga Tionghoa, mereka malah menjadi sasaran kebengisan orang-orang yang mengaku ‘pribumi’.

“Mereka (pribumi) marah dan kemudian termanifestasi di dalam serangan terhadap ruko-ruko atau toko-toko, atau bahkan perempuan-perempuan Tionghoa,” jelas Usman.

Ia melanjutkan, “Sekaligus untuk menunjukkan superioritas pribumi, untuk menunjukkan ada ras yang lebih tinggi, lebih mulia, daripada ras itu (Tionghoa).”

Stabilitas palsu dengan menyingkirkan kelompok minoritas demi mempertahankan superioritas kelompok mayoritas masih berlanjut sekalipun masa Orba telah usai.

“Dan itu yang direproduksi di masa reformasi ketika kelompok minoritas kembali menjadi korban,” tutur Usman.

“Ia (stabilitas palsu) hanya berganti subjek. Dulu Tionghoa-Komunis, atau Komunis. Kemudian, di masa Reformasi menjadi Ahmadiyah, Syiah, Bahkan menjadi minoritas seksual,” imbuhnya.

Sebagaimana diketahui, kelompok minoritas masih mengalami diskriminasi hingga kini. Terbaru, kelompok Ahmadiyah terpaksa membatalkan Jalsah Salanah karena dihalangi oleh kelompok mayoritas.

Jalsah Salanah sendiri merupakan pertemuan tahunan tingkat Nasional kelompok Ahmadiyah. Tahun ini, pertemuan tersebut direncanakan akan digelar di Kuningan, Jawa Barat.

Baca Juga: MAARIF Institute Kecam Larangan Jalsah Salanah oleh Pemkab Kuningan

Selain Usman Hamid, diskusi ‘Wrap Up Kebebasan Beragama 2024: Era Prabowo-Gibran Gimana Nih?’ juga menghadirkan Ketua PBNU Savic Ali dan Syafira Khairani dari INFID (International NGO Forum on Indonesia Development).