Sebab ini yang pertama, masalah kain ihram bisa menjadi perkara yang perlu mendapatkan perhatian serius bagi mereka yang akan berihram. Mungkin bagi sebagian orang masalahnya tampak sepele. Tapi tidak bagi saya. Sebaiknya manusia yang bijaksana perlu menghargai pengalaman manusia lain yang beragam.
HIngga menjelang pertemuan di Kedutaan Arab Saudi Rabu lalu, tak ada kabar apakah peserta akan mendapatkan kain ihram.
Membeli lagi kain ihram akan menjadi perbuatan mubazir jika akhirnya penyelenggara sudah menyiapkan. Tapi, itu semua juga belum terang. Informasi mungkin akan diperoleh saat pertemuan.
Jika penyelenggara menyediakannya, masalah beres. Bagaimana jika tidak? Beli saja di toko terdekat dari rumah. Atau jika tak bisa di Indonesia, dapat membelinya di Madinah. Dipikir-pikir lagi akan lebih nyaman membeli di Indonesia ketimbang di Madinah. Tempat baru butuh adaptasi.
Saya meminta pendapat Noviyana. “Kalau tak disediakan, kita beli di toko perlengkapan umrah di Margonda,” katanya.
Ia membantu saya mencari informasi di mana mendapatkannya di Depok. Di Margonda ada sebuab toko Haji dan Ihram. Letaknya di pinggir jalan, tak jauh dari mulut Perumahan Pesona Kahyangan. Isu pertama setidaknya beres.
Masalah berikutnya muncul. Kapan waktu membeli? Pertemuan di Kedutaan pukul 13.00. Keberangkatan esoknya pukul 07.40. Kemungkinan hanya tersisa lima jam. Akan ada risiko tak bisa membeli langsung sebab toko tutup pukul 7 malam. Informasi keberangkatan datang sangat mendekati hari keberangkatan.
Beruntung saya masih bisa tiba pukul lima sore di Depok. Saya dan Noviyana pergi menuju Margonda dengan mengendarai motor.
Setelah menyadari keadaan, muncul isu baru. Karena mengantar Tenggara, Noviyana tak membawa helm untuk saya. Bagaimana caranya bisa tiba di tujuan tanpa lewat jalan utama? Nekat melenggang di jalan utama akan berhadapan dengan polisi.
Dalam kebimbangan, kami sepakat membeli helm agar masalah selesai. Tapi sore itu, seperti biasa Jalan Raya Kartini Depok menuju Citayam padat mengular. Untuk ke toko helm, kami harus memutar jauh hingga GDC dan kembali menghadapi macet menuju Stasiun Depok Lama.
Karena tak mungkin, kami memutuskan lewat jalan belakang menuju Mal di depan bekas terminal lama Depok. Tadinya akan langsung menuju toko pakaian ihram. Tapi toko itu berada di mana kita harus melawan arah. Ditambah kerumitan lain. Di Pesona Kayangan, jalan masuk hanya untuk warga. Tapi bisa dilewati untuk jalan keluar dari arah Depok Lama.
Akhirnya mal itu jadi pilihan. Tujuannya membeli satu celana panjang sebab celana yang ada sangat terbatas. Dari sini kami memesan dua lembar kain ihram itu. Kami memang sudah berkunjung ke toko itu untuk pemeriksaan awal.
Kami meminta kontak toko untuk pembelian kain ihram jika jadi. Keputusan akhir kami memang memberli lewat daring dan pengirimannya lewat Grab. Penjelasan dari Kedutaan jelas, kain disiapkan peserta.
Tapi sesuatu yang tak disangka terjadi. Pada malam kedua di Madinah, petugas hotel atas permintaan penyelenggara tampaknya mengirim kardus dan sebuah tas berlogo Kerajaan Arab Saudi.
Saya menbukanya. Subhanallah, la haula wa la quwwata illa billah! Isinya kain ihram, gesper, sekotak kecil berisi gunting kuku dan teman-temannya, serta sebuah tas kecil untuk umrah.
Sampai di sini, isu lain muncul. Mana yang harus saya pakai? Yang saya beli atau milik penyelenggara. Kadang manusia memang sering membuat hal sepele jadi rumit. Kalau tak salah ini kelakuan para sarjana atau calon sarjana jika menulis –sesuatu yang tak sesuai dengan doktrin agama: permudahkan segala urusan dan jangan mempersulit.
Sebuah cara muncul di kepala untuk memilih kain: pilih yang paling tebal. Pertimbangannya laki-laki hanya mengenakan dua lembar itu. Tak baik jika kain tampak menerawang. Berikutnya yang paling lembut. Bersama kain ihram pemberian penyelenggara itu saya berihram.
Semoga Allah mencatat bukan hanya ibadah umrah ini, melainkan pula perjuangan mendapatkan kain umrah yang tampaknya sepele tapi tampak rumit.
Makkah, 26 November 2024
Alamsyah M Djafar