Sejarah sebuah desa atau kota bisa ditelusuri dari makam. Bahkan, sejarah manusia juga bisa dipelajari dari makam, kata alm. Prof. Teuku Jacob, paleoantropolog pertama yang dimiliki Indonesia.
Dari sisa rangka manusia kita akan dapat mengetahui bentuk tubuh manusia yang meninggal pada tahun tertentu. Kalau rangka itu tahan 100 tahun, maka kita dapat mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuh dalam jangka waktu tertentu.
Andai tanah kuburan dapat mengawetkan rangka, maka sejarah yang tercatat akan jauh lebih lengkap. Tapi kita tahu itu tidak terjadi. Bersama berlalunya waktu, jenazah manusia akan lenyap juga. Tinggal batu nisan yang tetap berdiri.
Dari data yang dipahat di batu nisan itulah kita dapat memperoleh informasi tentang siapa namanya, siapa keluarganya, apa jenis kelaminnya, apa agamanya, antara tahun kapan dia hidup, dan seterusnya. Kita dapat memperkirakan kapan Islam masuk ke Nusantara, salah satunya, dari nisan-nisan yang ditemukan.
Bagaimana jika tidak ditemukan catatan apapun dari batu nisan tersebut?
Jawabannya saya peroleh dari acara ziarah yang dihelat oleh KMNU (Komunitas Mahasiswa Nahdlatul Ulama) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Acara ini dipandu oleh M. Yaser Arafat, dosen muda nyentrik dari UIN Sunan Kalijaga; peneliti makam tua Nusantara dan penulis buku tentang Nisan Hanyakrakusuman.
Menurut Pak Yaser, informasi-informasi itu dapat ditelisik dari bentuk nisan yang digunakan. Era-era tertentu memiliki bentuk nisan yang khas. Dengan mengenali karakter nisan kita bisa tahu jenis kelamin pemilik makam dan memperkirakan kapan makam itu dibuat.
Daerah Yogyakarta, misalnya, ada jenis nisan yang disebut Hanyakrakusuman. Dinamai demikian, dengan dinisbatkan kepada gelar Sultan Agung, karena jenis ini diperkirakan dibuat pada era Mataram Islam awal, yakni sekitar tahun 1500-1600-an.
Informasi lain dari nisan bisa diulik dari hiasan yang digoreskan. Hiasan-hiasan itu dapat mengindikan status sosial atau maqam spiritual pemilik makam. Karena itu, nisan menjadi artefak sejarah yang penting.
Di luar informasi-informasi ini, ziarah ala Mataraman bersama Pak Yaser juga memberikan banyak informasi penting lain. Kemasan ziarah ini memang agak lain sehingga terasa seperti petualangan. Selain ritual kirim doa ada sesi eksplorasi atas makam dan lingkungannya.
Sesudah acara kirim doa, Pak Yaser biasanya akan menuturkan sejarah pemilik makam berdasarkan informasi, entah dari catatan yang ada, serat atau cerita tutur yang beredar di masyarakat.
Selanjutnya, kami menjelajahi jenis nisan yang ada di lokasi, mencermati hiasan atau goresan yang mungkin tercetak di batu nisan atau model jirat (kijing) yang digunakan untuk mengais-ngais informasi lebih dalam. Pengetahuan semacam ini penting sebagai senjata untuk melawan klaim sepihak atau penyerobotan atas makam yang kadang terjadi.
Sesi berikutnya, kami dikenalkan pada jenis-jenis tumbuhan yang ada di area makam. Topik ini barangkali sering kita lewatkan karena dianggap tidak relevan dengan tujuan ziarah kubur. Toh, tumbuhan itu bisa saja tumbuh secara liar atau kebetulan belaka.
Padahal bisa saja nenek moyang kita dulu memiliki pertimbangan khusus dalam memilih jenis tumbuhan yang ditanam di area pemakaman. Semacam mekanisme untuk melakukan konservasi. Tiap daerah memiliki jenisnya sendiri.
Saya ingat cerita dari KH. Abdul Ghofur, pemangku Pondok Sunan Drajat Paciran, Lamongan. Beliau mengembangkan usaha jus herbal yang pemasarannya sampai ke negeri jiran. Bahan dasarnya mengkudu. Inisiatifnya muncul dari pengamatannya terhadap mengkudu yang banyak tumbuh di area makam para wali di Jawa Timur.
Ia berpikir para sunan pasti tidak sembarangan memilih mengkudu sebagai tumbuhan yang ditanam di makam. Ia pun menggandeng kampus untuk meriset kandungan dan khasiatnya. Selanjutnya ia melakukan budidaya, lalu lahirlah produk dengan merek “Mengkudu Sunan”.
Warna lain yang khas dari ziarah ala Mataraman bersama Pak Yaser ini ada pada sesi kirim doa. Polanya biasa saja, seperti lazimnya ziarah kubur, dimulai dari menyalakan kemenyan, bertahlil, dan ditutup dengan menabur bunga. Yang agak berbeda adalah pada sesi kirim doa.
Jika biasanya doa-doa dihadiahkan kepada kepada Nabi Saw, beserta segenap keluarganya, para malaikat, para nabi, sahabat, auliya, syuhada, imam-imam agung, guru-guru kinasih, kaum muslimin dan muslimat di seantero dunia dan kemudian pada pemilik makam, maka dalam ziarah Mataraman ini ada beberapa tambahan.
Doa-doa juga dihadiahkan kepada gunung, laut, udara serta para penghuni yang tinggal di sana baik golongan jin dan manusia serta hewan-hewannya. Tanah beserta segenap penghuninya, bangsa tetumbuhan, bebatuan, hewan ternak, hewan buas juga mendapat jatah.
Cara seperti itu, menurut Pak Yaser, diajarkan oleh para ulama di _tlatah_ Mataram. Itu adalah sebuah cara membangun relasi dan kemesraan dengan tiga alam (triloka) sekaligus salah satu upaya menjadi rahmat bagi alam semesta.
Model ziarah semacam ini–yang sudah berjalan selama dua tahun dan terbuka untuk umum–menarik dan penting. Ia tidak saja menguatkan kesadaran spiritual tentang asal usul dan tujuan hidup tapi juga menghidupkan kesadaran sejarah dan lingkungan.
Kita bisa membayangkan betapa dahsyatnya jika kesadaran-kesadaran yang berangkat dari ziarah itu kemudian diaktualkan dalam kehidupan sehari-hari.***