Catatan Umrah Bagian 3: Mengunjungi Raudhah

Catatan Umrah Bagian 3: Mengunjungi Raudhah

Catatan Umrah Bagian 3: Mengunjungi Raudhah

Seorang askar muda berteriak agar orang-orang yang ada membentuk barisan. Sebentar lagi Isya akan digelar.

Saya duduk beberapa langkah dari sebuah tiang. Beberapa puluh langkah searah pukul satu berdiri bangunan yang posisinya lebih tinggi dari kepala askar yang berjaga di ujung sana. Rupanya itu tempat muaddzin bertugas, mukabbariyyah. Dua orang berjubah tengah duduk.

Saya hanya melihat punggung keduanya yang menyender di kaca pembatas.

Tak lama salah seorang di antara mereka berdiri lalu mengumandangkan azan. Selama azan saya menikmati suasana di depan mata dan di atas kepala saya. Tiang-tiang putih berkelir emas dan kaligrafi di dalam lengkungan kubah.

Seorang lelaki yang duduk di sebelah kanan saya, dipisah seorang remaja yang duduk berpunggungan bahu, tampak terisak. Suatu kali ia mengeluarkan tisu dan mengusap hidungnya. Mungkin ia sedang teharu dan berbahagia bisa mengunjungi Raudhah.

Malam itu saya berada di Raudhah, lokasi di antara mimbar yang biasa Nabi gunakan dengan rumah beliau. Lokasi ini disebut Taman Surga –Nabi memang pernah mengatakan itu lewat sebuah hadir.

Saya tak bisa melihat mimbar, mihrab, dan Imam Shalat Isya malam itu. Tapi, saya melihat tiga tentara bertopi merah dan berperawakan berewok di depan sana. Tiga di depan saya, seorang lagi di depan kiri. Kalau tak salah, mereka penjaga Imam Masjid Nabawi.

Seragamnya berbeda dengan petugas lain. Mereka tak Shalat Isya karena berjaga.

Tak jauh dari tempat saya berdiri, Nabi dimakamkan, di kamar Siti Aisyah yang menjadi tempat tinggal beliau saat wafat. Menurut kisah di sekitar area ini, selain rumah Siti Aisyah menyebelah rumah istri Nabi lainnya yang sederhana seperti runah milik Hafsah dan Sauda. Rumah-rumah itu berupa ruanhan seukuran 5x 4 meter dengan halaman belakang yang juga tak luas. Ada sebuah jalan sempit yang hanya bisa dilalui seorang saja.

Saat Nabi wafat, musyawarah berlangsung di antara para sahabat dimana beliau akan disemayamkan. Muncul usulan memakamkan Nabi dekat mimbar, di Baqi di timur Masjid. Tetapi usulan yang disepakati datang dari Sahabat Abu Bakar.

“Saya mendengar Rasulullah bersabda, ‘tidaklah seorang Nabi dikuburkan kecuali di tempat ia meninggal’.” kata beliau. Maka Nabi dimakamkan di kamar Aisyah.

Orang yang menyarankan itu kelak dimakamkan pula di sisi Nabi. Dua sahabat Nabi dimakamkan di sisi Nabi: Sayyidina Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Menurut riwayat, Sayyidina Abu Bakar memang pernah berwasiat untuk dimakamkan di samping Rasulllah.

Saat menuju keluar, saya melewati tembok berkaligrafi emas. Di balik tembok itu makam Nabi berada. Jalan melewati tembok ini dibelah dua; satu bagi para lansia dan yang berkursi roda, satu untuk umum. Perjalanan melwati tembok makam Nabi agak bersesakan sebab orang berebut melihat tembok dan berselawat. Para askar meminta kami terus berjalan agar pengunjung lainnya bisa lewat.

Saya ikut berselawat beberapa kali sebelum menemui pintu keluar, lalu memutar jauh hingga menemukan Pintu 21 yang mengantarkan saya ke tempat penginapan. Saat keluar, saya melihat para perempuan berkerumun berkelompok. Tampaknya mereka akan menunggu giliran menuju Raudhah.

Karena dijejali lautan manusia yang hendak berkunjung, pengelola Masjid Nabawi membagi jadwal laki-laki dan perempuan. Laki-laki sejak bakda Magrib, perempuan sekitar pukul 9 malam. Untuk masuk ke Raudhah, kita perlu tasreh, izin masuk berupa barkod di seluler pengunjung.

Saya mengantri cukup lama sebelum masuk. Sesudah masuk, saya juga tak bisa langsung ke Raudhah, sebab harus menunggu di tempat antrian sambil duduk.

“Semoga saat kita di Raudhah sekalian Shalat Isya,” kata seorang teman dalam Rombongan. Harapan itu rupanya terwujud. Kami shalat di dalam Raudhah.

 

Madinah, 24 November 2024

Alamsyah M Djafar