Catatan Umrah bagian 2: Bersembahyang di Nabawi

Catatan Umrah bagian 2: Bersembahyang di Nabawi

Catatan Umrah bagian 2: Bersembahyang di Nabawi

Saya tak tahu apakah tempat saya berdiri sebelum mengucap takbir Magrib kemarin pernah diinjak kaki al-Qaswa, unta betina yang ditunggangi Nabi ketika berhijrah ke Yastrib yang kelak berganti nama Madinah. Saya berdiri lebih seratus meter dari Pintu Raja Fahd Nomor 21 yang memandang lurus ke pucuk Gunung Uhud.

Menurut kisah, Nabi menolak halus setiap ajakan penduduk agar Nabi menetap di rumah mereka dengan cara memegang tali kekang di leher al-Qaswa agar berhenti.

Nabi membiarkan al-Qaswa berjalan sekehendak diri hingga berhenti di sebuah tanah luas milik dua orang yatim Suhail dan Sahil. Tanah itulah yang kelak menjadi Masjid Nabawi.

Tempat saya berdiri kini menjadi bagian Masjid yang mulanya diperkirakan hanya seluas 50 kali 50 meter, sebagian riwayat menyatakan lebih kecil dar itu. Masih butuh beratus-ratus meter untuk sampai ke pengimaman.

Saya tak tahu di mana berada.

Hanya suara imam saja yang terdengar dari pengeras suara yang menempel di tiang-tiang penyangga sepelukan dua orang dewasa yang dibungkus marmer kecoklatan.

Suara imam lebih lambat dari suara imam-imam di Mekkah yang saya lihat di teve.

Dari beberapa informasi yang saya baca, tak jauh dari pengimaman terletak makam Nabi yang dulunya kamar Siti Aisyah.

Masjid Nabawi dibangun bersebelahan dengan rumah Nabi. Saya tak bisa melihat pengimaman sebab terhalang pundak-pundak ribuan orang yang kebanyakan dari Asia.

Ini masjid bersejarah bagi umat Islam. Mereka umumnya tahu berbagai keutamaan bersembahyang di masjid berusia lebih dari 1.400 tahun.

“Satu shalat di masjidku ini (Masjid Nabawi) lebih afdal seribu kali daripada sholat di tempat lain, kecuali di Masjidil Haram,” kata Nabi.

Magrib usai. Saya menuju pintu keluar setelah beberapa saat berzikir.

Saya dengar derap kaki ribuan jemaah mirip suara bebatuan yang jatuh dari bukit, bergemuruh. Orang berhamburan ke luar.

Saya mengikuti mereka yang bergerak ke arah jalan raya, melewati hotel tempat saya menginap, beberapa ratus meter dari Masjid Nabawi.

Hotel di sekitar Masjid Nabawi kini bertumbuhan seolah-olah muncul dari dalam tanah. Tampaknya perkembangan ini dipengaruhi Visi 2030 Putra Mahkota Muhammad bin Salman yang bertumpu pada pengembangan ekonomi. Ini sebuah reformasi penting yang belum pernah terjadi sebelumnya. Muhammad Bin Salman menerbitkannya pada 2017.

Tak jauh dari tempat saya menginap berdiri Hilton, Maden, dan Darul Hijra. Tak jauh dari situ muncul kafe dan restoran dari banyak negara. Program yang saya ikuti ini bagian dari Visi 2030.

Saya lihat logonya menempel di spanduk besar yang membentang di depan hotel tempat menginap. “Tamu Pelayan Dua Kota Suci Yang Mulia, Raja Salman”.

Madinah, 23 November 2024
Alamsyah M Djafar