Pagi itu, aku sedang mengoreksi lembar kerja tentang makanan halal dan haram yang dikerjakan murid-muridku. Di samping kananku, duduk kawanku yang beragama Katolik. Sepintas, ia melirik dan membaca worksheet di mejaku itu.
“Oh, makanan yang diharamkan dalam Islam bukan cuma babi ya?” tanya kawanku.
Babi dan alkohol memang sudah sangat terkenal keharamannya bagi muslim. Jadi tentu saja teman-teman non muslim pun sudah mengetahuinya.
“Iya, ada beberapa kriteria yang menyebabkan makanan itu diharamkan, misalnya hewan yang punya taring dan cakar,” jawabku.
“Oh begitu. Kalau kami orang Manado sih makan apa aja, anjing, babi, tikus hutan, kodok, ular dan lain-lain. Aku dulu pernah pelihara anjing saat kecil. Pas anjing itu dimasak, awalnya aku sedih, tapi aku tetep makan,” kenangnya sambil tertawa.
“Wah kenapa dimasak?” tanyaku.
“Dia mati karena ketabrak. Jadi kami masak dan makan.” pungkasnya.
“Kalau dalam Islam, sapi atau ayam yang halal aja bisa jadi haram kalau tidak disembelih dahulu.”
“Karena tidak menyebut nama tuhan dulu ya,” ia merespons.
“Iya, kalau dengan sengaja tidak menyebut nama Allah maka jadi haram. Atau kalau hewan yang mati karena tertabrak, kesetrum, terperosok ke lubang, kalau tidak sempat disembelih, maka ia jadi haram, karena termasuk bangkai” jelasku padanya.
Diskusi kami tentang makanan halal dan haram terus berlanjut, temanku juga menceritakan pengalamannya memakan berbagai hewan seperti babi, anjing, dan kodok. Begitu pula bagaimana rasa daging dari hewan-hewan tersebut.
Pada kesempatan lain, temanku yang lain pernah membagikan aktivitasnya memasak ular di media sosial. Ular itu berukuran cukup besar. Saat dibakar, tubuh panjang ular itu terlihat seperti menggeliat.
“Wah, makan ular kah Sir?” tulisku menanggapi cerita pendek WhatsAppnya.
“Kami orang Dayak makan ular Miss :D, dagingnya enak” balasnya.
“Itu ular apa?” tanyaku lagi.
Ia lalu membalas “Kami tidak memakan semua ular. Kalau ular yang ini tidak berbisa, ripung namanya, sejenis ular sawa tapi pendek.”
Demikianlah, aku dan kawan-kawanku memang kerap berdiskusi tentang kepercayaan kami masing-masing, mulai dari tata cara ibadah, cerita tentang para nabi di agama kami masing-masing, bahkan juga makanan. Kami juga selalu menyempatkan makan bersama saat jam istirahat, di meja yang sama, dengan menu yang sama (yang tentu halal untuk semua), meskipun doa dan cara berdoa kami berbeda-beda.
Selain itu, kami juga sering berbagi dan bertukar makanan. Apabila kawanku yang non musim menawarkan makanan, ia akan berkata sambil berkelakar “Tenang aja, ini halal kok Miss, hehe.” Ya meskipun “PR” mereka jadi bertambah lagi setelah tahu bahwa yang diharamkan bagi muslim bukan hanya babi dan alkohol saja hehe.
Mengapa Babi Diharamkan?
“Miss, kenapa babi diharamkan?” tanya muridku saat kami membahas tentang QS. Al-Maidah:3. Aku kemudian mempersilahkan anak-anak yang lain untuk menyampaikan pendapat mereka tentang keharaman memakan babi.
“Karena dia hidup di tempat yang kotor, jadi najis” ucap salah satu murid.
“Karena di dalam babi terdapat cacing pita” jawab yang lainnya.
Aku kemudian menanggapi “Iya betul, babi diharamkan karena sudah jelas keharamannya di dalam Al-Qur’an, illatnya adalah najis. Tapi kita bisa menggali hikmah lainnya, misalnya babi mudah terinfeksi cacing pita.”
Kita perlu mengingat pula bahwa yang dihalalkan untuk kaum muslim adalah makanan-makanan yang baik dan yang diharamkan adalah makanan-makanan yang buruk sebagaimana tercantum dalam QS Al-A’raf 157. Jadi apabila Allah mengharamkan suatu makanan, tentu hal itu baik untuk manusia.
Meskipun ada begitu banyak hikmah yang bisa kita gali dari larangan memakan babi dan hewan yang diharamkan lainnya, akan tetapi, sebaiknya umat muslim menjauhi itu semua bukan hanya karena mengejar hikmah dan tujuan yang bersifat duniawi semata, (misalnya menghindari babi karena khawatir akan cacing pita, menghindari khamar karena bisa membuat mabuk atau menghindari zina karena khawatir tertular penyakit seperti sipilis dan HIV), melainkan juga karena ketaatan pada perintah Allah Swt. Sebab, Allah Swt hendak menguji keimanan hamba-hamba-Nya, sebagaimana Allah Swt menguji Nabi Adam a.s dan istrinya dengan melarang mereka mendekati dan memakan buah khuldi ketika di surga.
Bagi anak-anak yang terbiasa berinteraksi dengan non muslim, mereka mungkin akan penasaran dengan rasa makanan yang biasa dimakan kawan-kawan mereka, tapi justru diharamkan untuk mereka. Oleh karena itu, orangtua dan guru perlu memberikan pengertian yang baik, agar anak-anak mampu menghindari makanan dan minuman haram dengan kesadaran mereka sendiri.
(AN)