Suatu waktu Noviyana pernah bertanya berminatkah saya umrah. Pertanyaan itu dapat bermakna imbauan lawan bicaranya segera perlu menabung untuk mewujudkannya. Ia berkata seolah-olah pada diri sendiri betapa senangnya jika suatu waktu kami pergi bersama dengan Tenggara.
“Manusia sudah sepantasnya tidak memikirkan dunia saja,” lanjutnya.
Jika tak direnungkan baik-baik, pernyataan tadi lebih mirip tuduhan ketimbang anjuran atau nasihat.
Saya menanggapi dengan diam. Tentu saja umrah sering menjadi impian umat Islam berpunya atau tidak. Jika hati telah teguh, orang biasanya menabung pelan-pelan dan akhirnya membukit.
Tapi, saya punya pikiran masih banyak setidaknya keluarga dekat maupun jauh yang masih lebih nembutuhkan dan pantas berumrah.
Perkara lainnya, hidup sebagian mereka bahkan berkekurangan. Biaya umrah yang tak sedikit mungkin akan lebih berguna pula jika dimanfaatkan untuk perkara-perkara itu ketimbang memenuhi kebutuhan spirutual yang dinikmati diri sendiri.
Atas alasan itu semua, saya kurang memikirkan impian berumrah. Mungkin ini yang membuat Noviyana menganggap saya kurang bersemangat jika berurusan dengan perkara ukhrawi, sebuah perkiraan yang tampaknya kurang “berperikemanusiaan”.
Jika Noviyana mau juga mendengarkan kata hati saya, ia mungkin akan terharu dan hatinya diliputi rasa bersalah ribuan kali. Saat Bapak-Emak akan pulang berhaji pada 1997, siapa yang tak gembira.
Saya menantikan cerita mereka berdua. Mereka juga akan bergembira sebab akan bertemu anak-anak mereka lagi. Tetapi itu tak pernah terjadi. Emak pulang, tapi Bapak tidak. Emak memberi tahu saya dengan tangisannya di tengah kerumunan keluarga dan tetangga malam itu.
Sejak peristiwa malam itu saya bermimpi semoga tuhan memberi kesempatan saya berziarah ke makamnya di Mekkah.
Sekalipun tak pernah akan saya tahu di mana makam Bapak di tengah bentangan pasir Ma’la. Namun setidaknya saya bisa melihat langsung bagaimana rupa Ma’la dan menikmati pencarian di mana Bapak dimakamkan.
Emak bercerita, setelah kepayahan menyelesaikan haji wada’ Bapak meninggal. Petugas menggotong jenazah Bapak dari kemah tempat mereka tinggal dan itu hari terakhir Emak melihat Bapak.
Mungkin sebulan lalu peristiwanya terjadi. Tiba-tiba Noviyana mengirimkan pesan yang tampaknya genting. “Tolong baca WA! Penting!” Pesannya mirip pengumuman di instalasi-instalasi militer. Rupanya ia baru dihubungi teman saya yang juga temannya.
Noviyana ditanya apa saya berminat umrah.
Saya sendiri tak tahu mengapa tak langsung dihubunginya saya seolah-olah ia berkomplot untuk menganggap saya tak gembira jika berumrah.
Umrah itu program Pemerintah Arab Saudi. Tahun ini seperti tahun-tahun sebelumnya, Raja Salman memfasilitasi umrah bagi 1.000 orang untuk seluruh dunia. Dari Indonesia lebih dari seratus orang. Saya beruntung dan tentu bersyukur karena diusulkan menjadi salah satunya dan disetujui.
Siang kemarin seluruh peserta umrah diundang kedutaan di Jakarta. Saya bertemu dengan beberapa orang di sana. Sebagian besar orang-orang yang baru saya temui. Duta Besar Kerajaan Arab Saudi Faisal Abdullah H. Amodi menyampaikan pidato singkat dan membuka tanya jawab.
Ringkasan pidato itu kurang lebih begini. Kerajaan Arab Saudi gembira menyambut kedatangan peserta. Program ini wujud komitmen Kerajaan Arab Saudi sebagai pelayan dua kota suci dan penting dalam dunia Islam.
Selain saya, manusia paling berbahagia adalah Noviyana dan saya sudah pantas berterima kasih padanya. Saya menulis catatan ini di dalam pesawat menuju Madinah yang lebih dari 7 kali diombang-ambing awan. Saya mengingat percakapan tadi pagi, pukul 2.30.
“Doakan saya,” kata saya. Ini bukan basa-basi.
“Ya, amin. Semoga ibadah lancar, doakan kita, khusyuk beribadah, dan jadi lebih baik,” jawab Noviyana. Jawabannya seperti seorang pengasuh pesantren yang melepas kepergian santrinya belajar ke Timur Tengah.
Soetta-Madinah, 22 November 2024