Cukup populer di-persepsikan bahwa, ajaran Islam cenderung misoginis (merendahkan/mengucilkan perempuan). Terlacak persepsi ini muncul, di Indonesia, setidaknya bermula pada akhir abad 19 sampai sekarang. Tapi coba anda cek lagi di beberapa literatur, pasnya saya lupa sejak kapan, kalau tidak salah ya sejak akhir abad 19. Poin saya bukan di situ.
Poin saya adalah saya ingin menghadirkan dalam status ini salah satu bukti bahwa Islam sebenarnya sangat memuliakan perempuan.
Lebih tepatnya bukan Islam, tapi paham akan Islam. Dua hal ini perlu dibedakan, kalau Islam itu ya agama itu sendiri, kalau paham akan Islam adalah pemahaman manusia akan agama Islam, manusia di sini kemudian disebut orang pintar yg kompeten (Ulama). Dan penting disadari juga, kalau Islam itu ya sumbernya adalah Tuhan dan Rasul, maka tidak ada perdebatan di sana (qat’i bahasa agamanya), sedangkan pemahaman akan Islam yang datang dari manusia itu sifatnya dugaan (dhanni bahasa agamanya), artinya sangat dimungkinkan muncul banyak pendapat dan perbedaan.
Pemahaman manusia akan agama tidak bisa lepas dari faktor ideologis, antropologis, sosiologis, psikologis, dan beberapa hal lainnya.
Oleh karenanya, tidak aneh kemudian ketika pemahaman si A yang hidup di tempat A atau anggota dari organisasi atau mazhab tertentu, berbeda dengan si B yang hidup di tempat B dengan organisasi atau mazhab yg berbeda, itu sangat mungkin.
Sebenarnya, mereka yang menganggap Islam adalah agama yg merendahkan perempuan (misoginis) berangkat dari bacaan mereka terhadap paham keagamaan yang saya maksud di atas tadi.
Pada posisi ini, mereka juga tidak bisa disalahkan, saya pun mengakuinya bahwa tidak sedikit pemahaman para Ulama yg tertulis dalam buku (kitab kuning), memang cenderung misoginis.
Inilah titik kesepahaman saya dengan mereka. Bisa anda lacak dalam beberapa kitab. Namun, ini kritik saya terhadap mereka yang berasumsi bahwa ajaran Islam cenderung misoginis tadi, secara adil mereka perlu juga membaca kitab karya ulama lainnya dalam Islam yg sebenarnya sangat peduli terhadap kemuliaan perempuan. Inilah yang ingin saya hadirkan dalam status ini.
Di dalam kitab syarh Jam’u al-Jawami’ pada pembahasan استدلال Istidlal (berdalil/tuntutan berargumen) dijelaskan bab قياس العكس (qiyas atau analogi perbedaan). Saya tuliskan teksnya, lalu saya beri sedikit penjelasan.
الدليل يقتضي أن يكون كذا، خولف في كذا لمعنى مفقود في صورة النزاع فتبقى على الأصل.
“Berdasarkan dalil, seharusnya hukumnya adalah tidak demikian, namun dalil itu diabaikan karena ada hikmah tersendiri yang tidak ada di dalam kasus yang sedang dipersoalkan, maka kasus yang dipersoalkan tetap pada hukum aslinya sesuai dengan dalil”.
Teks kitab tersebut memang agak membingungkan karena karakter kitab usul fiqh memang demikian. Coba kita masuk pada contoh kasus dari teks di atas.
Contoh inilah yg selanjutnya saya gunakan sebagai salah contoh kitab karya ulama, di antara beberapa kitab lainnya yang cenderung lebih egaliter terhadap perempuan. Contohnya adalah ” “menikahi perempuan”.
Pada dasarnya, sesuai dalil al-Quran sebagai Kalam Tuhan, disebutkan bahwa Islam sangat menjunjung tinggi “Kemanusiaan”. Tuhan berfirman, ” Dan sungguh telah kami muliakan anak cucu Adam (manusia), ولقد كرمنا بني آدم. Dan menikahi perempuan adalah termasuk tindakan yang melecehkan perempuan karena dengan menikahinya, perempuan tersebut disetubuhi, dikenai tanggung jawab menaati suami, dan seterusnya.
Pada hakikatnya, semua itu adalah tindakan yg melecehkan perempuan. Namun, oleh karena menikahi perempuan adalah diharuskan adanya wali yg menikahkannya karena kematangan watak dan karakter perempuan itu sudah dianggap cukup oleh walinya (bisa orang tua dll), maka hukum menikahi perempuan oleh laki laki adalah diperbolehkan.
Jika kita lihat dalam contoh kasus di atas, poin pentingnya adalah kematangan seorang perempuan yang menjadi alasan wali atau orang tuanya untuk menikahkannya dengan laki laki. Artinya, wali atau orang tua perempuan tidak boleh menikahkan perempuan yang masih belum mencapai kematangan, misalnya masih kecil, belia, dan konsep ketidak-matangan lainnya.
Arti lainnya, paksaan dalam menikah, termasuk juga menikahi perempuan yang belum matang (menikah dini), adalah tindakan yang merendahkan harga diri dan martabat perempuan. Dan tindakan tersebut tidak dibenarkan dalam Islam, baik dalam pemahaman Ulama akan Islam, atau bahkan dalam Islam sebagai agama itu sendiri (perbedaan keduanya sudah saya jelaskan di awal tulisan).
Wallahu a’lam bis shawab..