Surat-Surat kepada Snouck Hurgronje dari Para Ulama sampai Orang-Orang Hindia Belanda: Menelusuri Sejarah dan Wajah Islam Habib Kulit Putih Belanda

Surat-Surat kepada Snouck Hurgronje dari Para Ulama sampai Orang-Orang Hindia Belanda: Menelusuri Sejarah dan Wajah Islam Habib Kulit Putih Belanda

Surat-Surat kepada Snouck Hurgronje dari Para Ulama sampai Orang-Orang Hindia Belanda: Menelusuri Sejarah dan Wajah Islam Habib Kulit Putih Belanda

Apa yang terpikirkan kalau anda menemukan sebuah tulisan atau pembahasan tentang C. Snouck Hurgronje (selanjutnya disebut Snouck Hurgronje atau Snouck saja)?

Bagi yang mendalami sejarah cukup baik, mungkin langsung tahu kalau ia adalah orang Belanda yang menjadi penasihat Pemerintah Hindia Belanda untuk urusan Islam dan Ketimuran, sempat masuk Islam dan mengubah namanya menjadi Abdul Ghaffar, hingga dengan identitas barunya yang beragama Islam, membuatnya bisa mempelajari perang Aceh dengan pemerintah kolonial lebih dekat dan menulis buku khusus terkait hal tersebut.

Rekomendasi Snouck yang tertuang dalam bukunya tentang Aceh, De Atjehers (terbit 1893/1894) disebut menjadi dasar yang memudahkan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda untuk memenangkan Perang Aceh yang menjadi perang paling lama, hingga lebih dari 40 tahun.

Fakta-fakta tadi memang bukan yang dibicarakan dalam buku C. Snouck Hurgronje dan Wajah Islamnya (Penerbit Shahifa, 2024) yang disusun oleh Ahmad Ginanjar Sya’ban (selanjutnya disebut Ginanjar Sya’ban atau AGS). Tapi yang akan kita temukan adalah hal yang lebih spesifik, yaitu kompilasi surat-surat, yang secara spesifik, adalah surat-surat yang dikirimkan kepada Snouck Hurgronje dari para Ulama, Penguasa, dan Cendekiawan dari Hindia Belanda semmasa ia hidup.

Perspektif ini sangat menarik karena secara reflektif akan menggambarkan bagaimana relasi antara pembuat surat dengan Snouck. Point of View (PoV) atau sudut pandang orang Hindia Belanda ini menarik karena karya-karya lainnya tentang Snouck yang saya pahami, seluruhnya dari perspektif apa yang ditulis Snouck sendiri maupun kajian kritis terhadapnya.

Kembali ke model perspektif sudut pandang Hindia Belanda, model seperti ini lagi-lagi tidak banyak dalam karya sejarah wilayah Indonesia ketika masih di bawah jajahan Hindia Belanda.

Karya yang sudah menggunakan model tadi yang paling terkenal – dan juga dikutip dari buku ini sebagai studi terdahulu – adalah kumpulan surat yang ditulis oleh H. Hasan Mustapa (seorang Penghulu, ulama asal Tasikmalaya, yang bersahabat dengan Snouck saat menjadi Penerjemah di Konsul Belanda di Jeddah; suratnya juga dibahas dalam buku ini) kepada Snouck, yang ditulis dan disusun oleh Jajang A. Rohmana. Model penulisan ala PoV lain yang juga menarik untuk menjadi contoh adalah karya Iksaka Banu berjudul Teh dan Pengkhianat, sebuah kumpulan cerpen sejarah tentang sudut pandang orang Belanda di masa penjajahan Hindia Belanda terhadap berbagai peristiwa di Indonesia.

Dari temuan penulisnya, AGS ada satu hal yang menarik untuk dicermati. Tidak banyak juga riset yang dilakukan terhadap Snouck. Ini ditengarai karena sejak Snouck meninggal di tahun 1936, arsip-arsip pribadinya tertutup dan berdasar wasiatnya, baru boleh dibuka di tahun 1990, sesuai yang disampaikan oleh anak perempuan Snocuk dari istri Belandanya, Christien (h. xviii, dikutip dari Ṣafahāt min Tārikh Makkah, terjemahan buku Mekka karya Snouck Misalnya, sejak surat-suratnya baru dibuka pada tahun 90-an, baru ada 5-6 buku yang serius yang mengkaji terhadapnya. Yang paling pertama dan terkenal adalah serial buku yang diterjemahkan dengan judul Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda (1889-1936) yang pertama kali disunting oleh Emile Gobee dalam bahasa Belanda.

Yang sedikitlebih tua, adalah riset Koningsvield (1985) terhadap Snocuk, setelah berhasil meriset keturunan Snouck yang ada di Indonesia dari perempuan anak seorang penghulu di Cianjur, Kalipah Apo. Belakangan, di tahun 2021 Snouck juga ditulis penulis Belanda, Wim van den Doel yang ditulis berdasarkan dari dokumen yang lebih komprehensif dari surat-surat yang dikirim dan diterima Snouck sepanjang hidupnya (bukunya diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan judul Snouck: Biografi Ilmuwan Christiaan Snouck Hurgronje (2023)) (h. xix-xx).

Potret Relasi dan Suasana Psikologis Para Pengirim Surat

Dari 30 surat yang diteliti secara filologis (disunting, translasi, diterjemahkan, dan dijelaskan konteks dan isinya), seluruhnhya diurutkan oleh AGS berdasarkan tahun ditulisnya surat tersebut. Tahun yang dipilih adalah saat Snouck berada di Mekkah dan sempat berganti nama menjadi Abdul Ghaffar pada 1880-an sampai awal 1915? ketika ia telah kembali ke Belanda dan tidak pernah kembali lagi ke Hindia Belanda/Indonesia.

Sumber keterangan tahun diambil, dari titimangsa yang tertulis di dalam surat. Hanya saja, buku tersebut tidak menjelaskan aapa alasan surat-surat tersebut yang dipilih, serta penjelasan soal ada surat yang belum terakomodir pada rentang waktu tersebut.

Kalau saya boleh memberikan penawaran, saya ingin mengklasifikan juga pembagian surat-surat tersebut berdasarkan identitas pembuatnya.

Paling tidak surat-surat yang berhasil dikompilasi dapat dikelompokkan menjadi tiga, 1) surat dari yang menjadi sahabat maupun mitra kerja Snouck (di dalamnya ada bangsawan, cendekiawan, hingga pejabat kepenghuluan yang secara posisi berada di bawah Snouck sehingga ada relasi struktur, termasuk juga anak keturunan dari para mitra kerja teersebut); 2) surat dari keturunan Snouck di Hindia Belanda; 3) hingga figur di Hindia Belanda yang katakanlah disebut lawan politik lalu mereka menyatakan menyerah (ada Agus Salim, dan Syekh Arsyad bin Alwan tokoh pemberontakan peristiwa Geger Banten 1888 yang mengucapkan terima kasih karena diberikan bantuan rekomendasi remisi hukuman; ada juga beberapa nama keluarga Kesultanan Aceh atau tokoh perlawanan Perang Aceh yang sudah menyatakan menyerah).

Surat dari kelompok pertama yang paling banyak terkompilasi.

Di dalamnya ada para ulama, orang-orang terpandang yang memiliki relasi sejajar dengan Snouck yang terlihat dari apa yang dibicarakan, semisal menceritakan relasi yang lain saat berkunjung di Hindia Belanda, membantu urusan Snouck saat di Mekkah atau Jeddah, atau hal teknis terkait kunjungannya terbantu oleh Snouck.

Figur di kelompok ini kebanyakan adalah keluarga kesultanan di Nusantara, orang terpandang – termasuk juga sebagian penghulu – yang membantu Snouck (seperti H. Hasan Mustapa), hingga para tokoh agama dan penghulu. Menurut saya, yang menarik adalah isi surat dari figur yang menjadi penghulu.

Mereka kerap menggunakan redaksi yang dekat dengan istilah keagamaan berbahasa Arab seperti Tuan Mufti, atau Effendi. Isi surat dari para penghulu banyak yang berisi ungkapan agar Snouck bisa memberikan rekomendasi kepada mereka agar menjadi penghulu (Misalnya surat yang bersumber dari Rd.H. Muhammad Nur Semarang ; Nyak Puteh Qadhi Meulaboh ; Sayyid Abdurrahman Jamalullail Palembang) ; sekedar mengucapkan terima kasih (Rd. H. Moch Nor Bogor ; Rd. H. Mangunreja) ; sampai menjadi informan atas situasi di sebuah wilayah (misal dari Rd. H. Roesdi, keluarga penghulu di Bandung yang pernah bertugas di Kutaraja/Banda Aceh).

Sementara, surat dari para ulama ada kesan lebih setara, misalnya permintaan dari Syaikh Abdul Jabbar Sambas berisi permintaan untuk Snouck memberikan kebijaksanaan tertentu agar Pemerintah Hindia Belanda bersikap lebih adil dengan tidak mengganggu kegiatan umat Islam di Tanjung Pinang yang melakukan kegiatan diantaranya adalah tahlilan dan maulid Nabi yang hanya dibatasi sampai jam 11 malam.

Bahkan, seorang kepala kampung sampai dipecat akibat melakukan maulid di kampungnya sendiri sampai jam 2 malam, meski jauh dari pemukiman orang Belanda. Syaikh Abdul Jabbar Sambas menjelaskan kalau ini tidak fair karena orang-orang Belanda kerap melakukan hal yang sama saat berpesta hingga larut malam dan tanpa meminta izin terlebih dahulu (h. 119-120).

Ada juga, permintaan dari K.H. Sholeh Darat yang menjelaskan agar menindak hukum seorang keturunan Arab di Semarang yang dikenal tidak amanah karena melakukan korupsi pengelolaan harta anak yatim, dengan jumlah yang dikorupsi sampai 1200 gulden dari sedekah yang telah diberikan oleh seorang haji.

Menurut Kyai Sholeh Darat, haji yang memberi dana telah melapor ke Residen dan ada rahasia umum bahwa yang bersangkutan telah melakukannya ke banyak orang Namun K.H. Sholeh Darat meminta agar ungkapannya ini dirahasiakan sumbernya sebisa mungkin agar tidak terjadi apa yang ia sebut sebagai fitnah (h. 39-40).

Yang cukup banyak adalah surat dari Sayyid ‘Utsman bin Yahya, maupun nantinya dari anak keturunannya. Sayyid ‘Utsman memang dikenal punya hubungan sangat baik dengan Snouck. Ia disebut mendapat jabatan sebagai Mufti Betawi berdasarkan rekomendasi Snouck. Yang menarik untuk dicermati sebenarnya adalah relasi Snouck dengan anak-anak Sayyid ‘Utsman.

Baca juga: Snouck Hurgronje Dijuluki Habib Kulit Putih di Aceh

Anak-anaknya mengirimkan surat mengabarkan Snouck yang sudah kembali ke Belanda, tentang wafatnya Sayyid ‘Utsman. Yang mengirim surat menceritakan hal tersebut adalah Alwi dan Hasan. Tapi, Hasan menambahkan cerita soal relasinya yang kurang baik antara sesama saudaranya, tepatnya dengan Alwi, yang ia sebut “memaksa semuanya untuk selalu menuruti pendapatnya” (h. 230).

Sayyid Hasan ini nantinya yang meneruskan usaha percetakan Sayyid ‘Utsman setelah dipindahkan ke wilayah Kampung Melayu Besar – dalam naskah surat tertulis kalau surat dikirimkan dari wilayah Meester Cornelis (wilayah yang mencakup Jatinegara, termasuk Kampung Melayu (h. 231).

Kelompok surat kedua adalah dari anak pernikahannya dengan Sangkana perempuan anak seorang penghulu asal Ciamis, R.H. Muhammad Taib pada 1890. Dari pernikahan ini, lahirlah empat orang anak, termasuk diantaranya Emah Salmah dan Oemar, yang suratnya kepada Snouck ada pada buku ini. Sangkana wafat karena keguguran tahun 1895.

Pada 1898, Snouck menikah kembali dengan Siti Sadijah, anak dari R.H. Muhammad So’eb atau dikenal dengan alipah Apo, wakil penghulu di Bandung. Dari Siti Sadijah ini, Snouck punya anak laki-laki bernama Rd. Joesoef (h. 148).

Surat Emah Salmah dan Oemar, sama-sama dikirim pada 18 November 1906. Kedua surat menggambarkan kerinduan anak kepada orangtuanya. Dari surat Emah Salmah dan Oemar, sama-sama mengucapkan terima kasih atas kebaikan Kangjeng Rama (sang Ayah) yang diantaranya tetap memberikan mereka baju baru sampai Oemar yang bercerita kalau ia berkehendak untuk masuk Sekolah Belanda.

Baca jufa: In Search of Identity Karangan Huub de Jonge: Proses Orang Arab-Hadhrami Menjadi Indonesia

Ungkapan dari Emah Salmah lebih terlihat sentimental ketika mengatakan kalau ia merindukan ayahnya dan menanyakan kapan akan kembali ke Hindia Belanda.

Meski faktanya, Snouck tak pernah kembali menemui mereka hingga wafat pada 1936. Fakta ini disoroti oleh sejumlah peneliti, diantaranya Koningsvled. Ia yang menggarisbawahi kalau dapat disimpulkan Snouck hanya berpura-pura masuk Islam. Termasuk, peristiwa pernikahannya dengan Sangkana.

Meski dilaksanakan di Masjid Agung Ciamis, diliput media massa (ada 3 koran yang menulis berita pernikahan Snouck), tapi Pemerintah Belanda sampai membuat pernyataan kalau pernikahan tersebut hanya rekayasa untuk kebutuhan Snouck meneliti “upacara Perkawinan Islam” (h. 148-149). Alasan mengapa Pemerintah Belanda termasuk Snouck sampai klarifikasi menyangkal peristiwa yang dilakukannya sendiri tersebut, juga dapat disimak dalam buku ini.

Kelompok surat ketiga adalah dari mereka yang berkonfrontasi dengan Pemerintah Kolonial saat itu.

Saya memasukkan disini para tokoh perang Aceh, tokoh pemberontakan Banten 1888 setelah dibebaskan, dan surat Agus Salim. Surat Agus Salim, yang dikirim dalam konteks saat ia masih bekerja di Konsuler Hindia Belanda di Jeddah dan membicarakan perkembangan di Palestina.

Surat lainnya, seperti dari figur terkait Perang Aceh (Tengkue Putroe, Istri sultan Aceh terakhir, Sultan Daud Syah; Teuku Keumala tokoh perang Aceh bersama dua tokoh lainnya; dan seorang keturunan Arab yang memohon diberikan jabatan mufti di Meulaboh pasca perang) berisi permohonan bantuan pada Snouck untuk situasi sulit yang dialaminya. Misalnya, Tengkue Putroe, yang ternyata diculik dan diasingkan ke Bandung, meminta agar Snouck membantunya secaa finansial karena ia tidak punya apa-apa selama ditawan, meskipun ia adalah istri terakhir Sultan Aceh.

Sementara, surat dari Syaikh Arsyad bin Alwan mengucapkan terima kasih karena pada empat tahun sebelum surat itu ditulis (surat ditulis pada 1923), ia dibantu dibebaskan dari penjara dengan bantuan seorang wakil Snouck lainnya. Syaikh Arsyad adalah bagian dari tokoh agama yang pernah belajar kepada Kyai Umar di Tanara, Banten, yang tak lain adalah ayah dari Syekh Nawawi al-Bantani. Ketika terjadi peristiwa pemberontakan di Banten, ia ikut ditangkap.

Buku yang Melengkapi Detail Sejarah Menjadi Indonesia

Kalau ada yang ingin tahu apa manfaat dari buku yang disusun, jawabannya adalah buku ini bagian dari upaya melakukan detailing yang penting dari tiap momen proses menuju pembentukan identitas Indonesia. Setidaknya, menurut yang saya tahu narasi tentang Snouck biasanya tidak jauh dari beberapa hal, orang yang berubah (atau menurut sebagian orang, pura-pura) menjadi Islam dan mengganti nama jadi Abdul Ghaffar; sampai orang Belanda yang berpura-pura masuk Islam untuk melemahkan perjuangan orang Islam di wilayah Hindia Belanda yang pada waktu itu melakukan pemberontakan melawan Belanda.

Namun, melalui buku ini kita bisa mendapatkan gambaran yang lebih kompleks dari hanya dua kesimpulan diatas. Bisa dikatakan, kesan penilaian Snouck sebagai orientalis dan narasi sebagai figur yang dicurigai, tidak ditemukan.

Hanya surat dari Sayyid Abdullah bin ‘Alawi Alatas, surat pertama yang dicantumkan dalam buku ini, yang tahu kalau Snouck adalah seorang akademisi Belanda yang mendalami ilmu-ilmu keislaman dan mau masuk Islam (5-6)

Figur lainnya, mengirim surat kepada Snouck dengan ungkapan penuh hormat, tidak sama sekali mencurigai Snouck sebagai istilah orientalis, bahkan menyebutnya dengan berbagai macam sebutan penghormatan. Tapi ada hal lain juga yang mungkin menarik untuk ditanyakan, berarti pada waktu itu, benarkah ada momen dimana orang di Hindia Belanda, tahu kalau Snouck sebagai orang Belanda yang masuk Islam, tetap bekerja dengan Pemerintah Kolonial sebagai penasihat? Tapi dalam berbagai surat tersebut, penyebutan Snouck juga saling bertukar dengan Abdul Ghaffar.

Tidak jarang, penamaan Snouck disejajarkan dengan istilah Mufti. Belum lagi temuan kalau Pemerintah Belanda sampai harus berupaya klarifikasi kalau pernikahan Snouck dengan Siti Sadijah, anak Kalipah Apo, hanyalah pura-pura dan untuk tujuan penelitian saja. Bagaimana, misterius bukan, dan membuat anda tertarik membaca buku tersebut?