Apakah Anda pernah dengar diksi “The Nuruls”? Sempat ramai diperbincangkan beberapa waktu lalu, term ini sebenarnya tumbuh, beredar, dan ditafsirkan secara bebas di kalangan anak muda perkotaan. The Nuruls biasanya ditimpakan kepada perempuan muda memakai cardigan, jalan-jalan memakai Scoopy, makan seblak atau mie Gacoan, hingga nongkrong di cafe live music.
Belakangan, The Nuruls malah bernada negatif dan banyak dijadikan parodi untuk mengejek gaya hidup para perempuan muda tersebut. Sebaliknya mereka malah terlihat bangga, karna label tersebut telah mendefinisikan diri mereka di tengah hiruk pikuk kehidupan sehari-hari, yakni muda, konsumtif, akrab dengan budaya populer, dan ingin menampilkan subkultur mereka.
The Nuruls, menariknya, tidak saja merepresentasi kehidupan kelas menengah bawah saja, namun di saat bersamaan juga mengekspresikan keislaman mereka. Kok bisa?
***
Sebagian wajah Islam kontemporer lebih banyak didefinisikan oleh kelas menengah atas. Kita mungkin masih ingat fenomena hijabers, niqabers, hingga artis hijrah sebagai petanda sosial, yakni keislaman hari ini. Kehidupan kota dengan segala rutinitas dan kesibukkannya telah mengubah kehidupan anak muda, termasuk keberislaman mereka.
Di banyak kajian para sarjana, keberagamaan sebagian anak muda perkotaan memiliki model dan dinamika yang berbeda. Ariel Heryanto, antropolog, pernah bercerita para perempuan muda yang bertahan di tengah tekanan sosial masyarakat kapitalis yang sedang mengalami industrialisasi pesat.
Di kondisi inilah, para perempuan muda mengekspresikan keislaman yang berkelindan dengan konsumsi dan kehidupan kapitalistik. Bagi kelas menengah Muslim perkotaan, berislam tidak lagi sekedar menjalankan ritual dan ajaran, namun juga muncul lewat hibrida dengan konsumsi barang.
Berbeda dengan fenomena hijabers atau niqabers, The Nuruls lebih banyak berasal dari kelompok kelas menengah bawah. Hal ini ditunjukkan dari pola konsumsi mereka, seperti minum kopi americano atau nongkrong di cafe-cafe yang menawarkan harga makan-minum murah. Pakaian mereka pun sangat jarang yang bermerek, dari cardigan atau jilbab pendek murah yang sering ditawarkan lokapasar (Marketplace).
Beberapa pemengaruh dan pendengung pun sempat mencibir gaya hidup The Nuruls. Menurut mereka, The Nuruls hanya anak-anak muda, dalam hal ini perempuan, labil, hedon, hingga suka hura-hura. Selera makan-minum mereka juga disebut rendah, karna berharga murah atau selera masyarakat umum.
Sayangnya, stigma negatif tersebut merintangi The Nuruls dilihat sebagai bagian dari ekspresi keberislaman anak muda. Singkatnya, mereka juga bagian dari wajah keislaman kontemporer. Jadi, ekspresi keberislaman tidak hanya “dikuasai” kelas menengah atas sebagai representasi utama. Sedangkan The Nuruls hadir dengan ekspresi keislaman yang sederhana.
***
Sebagaimana urusan agama, diksi The Nuruls didefinisikan lewat perilaku konsumtif. Memang, anak muda dan perilaku konsumsi seakan tidak bisa dipisahkan. Sebagaimana dijelaskan di atas, konsumsi anak muda telah mempengaruhi keberagamaan mereka. Bahkan, pola dan perilaku konsumsi ini menjadi identitas yang kuat bagi anak muda.
Dalam kajian budaya dikenal term “Subkultur,” yang merujuk pada minat atau aktivitas spesifik yang kemudian berkembang menjadi identitas kolektif. Subkultur, biasanya, ditandai dengan ekspresi identitas dan pembangkangan, gaya hidup dan estetika komunal, nilai dan ideologi alternatif, komunitas dan rasa kebersamaan, hingga identitas dinamis.
The Nuruls menghadirkan, paling tidak hampir seluruh, tanda-tanda sebagai subkultur. Bahkan, para The Nuruls menunjukkan eksistensi mereka sebagai “Subkultur kesalehan,” terutama pada model kesalehan arus utama yang biasanya direpresentasikan oleh kalangan kelas menengah atas. Mengapa?
Saya melihat apa yang ditunjukkan para The Nuruls tidak hanya berorientasi pada konsumsi belaka. Pemakaian model jilbab, pola berpakaian, hingga beragam gaya hidup mereka menunjukkan keberislaman mereka sebagai tandingan buat para hijabers atau niqabers, yang sebagian besar berasal dari kelompok kelas menengah atas dan dekat dengan pengajian bertarif mahal.
Walaupun The Nuruls sering disudutkan dengan gaya hidup hedon atau dekat dengan kemaksiatan, sebagian dari mereka juga menghadirkan para penceramah atau akrab dengan kegiatan keagamaan. “Sebelum live music, ada juga ceramah jika bertepatan dengan bulan-bulan suci dalam Islam” ujar salah satu The Nuruls di salah satu siniar.
Mungkin, Islam para The Nuruls tidak dominan atau menjadi arus utama wajah keislaman kontemporer. Namun, mereka mencoba sedikit “melawan” model keberislaman kelas menengah atas Muslim, yang hari ini dianggap sebagai arus dan representasi utama keislaman anak muda hari ini.
Dari seblak dan Mie Gacoan hingga Cardigan, The Nuruls menghadirkan wajah keislaman alternatif di kalangan anak muda. Mereka tidak segan menghadirkan Islam yang telah bernegosiasi model konsumsi pada barang-barang murah, gaya berpakaian yang khas, hingga menikmati live music sebagai Islam yang nyaman dan gaul.
Fenomena The Nuruls juga menyiratkan model keislaman para perempuan muslim dari kelas menengah bawah hidup di era kapitalisme, sekaligus berkelindan dan beradaptasi dengan gaya hidup konsumtif dan hedon. Sebagian The Nuruls adalah kelompok perempuan yang terjebak dalam kerja di tengah Gig Economy yang sering toxic atau redflag. Menarik jika diulas lebih dalam bagaimana adaptasi dan ekspresi keislaman mereka menghadapi kenyataan tersebut.
Fatahallahu alaina futuh al-arifin