“Hukum pembiaran kerusakan lingkungan hidup akibat polusi sampah adalah haram bagi pelakunya langsung dan makruh tahrim (mendekati haram) bagi orang yang tidak mempunyai wewenang.” (Fatwa Kongres Ulama Perempuan Indonesia, 2022)
Annadhafatu minal iman. Kebersihan sebagian dari iman. Kalimat ini sering didengar, diajarkan, dan diamati di dinding pesantren. Namun kenyataannya, kebersihan itu masih belum sepenuhnya menjadi perhatian di banyak pesantren. Setidaknya begitu yang dirasakan oleh Abdulloh atau yang akrab disapa Kang Dul, seorang penggerak Pesantren EMAS asal Cirebon, Jawa Barat.
Ia mencontohkan banyaknya santri di pesantren yang masih gudiken (scabies). Hal ini menandakan bahwa lingkungannya tidak bersih. Artinya, annadhafatu masih sebatas ajaran, belum menjadi perilaku bagi sebagian santri.
Saat ini, lingkungan yang tidak bersih tidak hanya membawa dampak pada berbagai simtom fisik seperti penyakit kulit. Dalam praktik yang lebih luas, lembaga pendidikan ‘housing’ seperti pesantren menghadapi tantangan yang lebih kompleks. “Sekarang apa-apa plastik,” keluh Kang Dul. Plastik sekali pakai inilah yang menjadi biang kotornya lingkungan.
Ia menceritakan bagaimana situasi dirinya nyantri di tahun 1999, para santri di pesantren masih masak sendiri sehingga penggunaan plastik sekali pakai bisa diminimalisir. Sementara hari ini, hampir semua aktivitas konsumsi menghasilkan sampah plastik. Selain itu, jajanan yang dikonsumsi santri juga kebanyakan dikemas dengan material sekali pakai yang membuat isu sampah kian penting untuk disikapi secara serius.
Berawal dari keresahan tentang sampah yang diproduksi dari bilik pesantren inilah Pesantren EMAS dijalankan. Program ini merupakan kolaborasi dari UNU Yogyakarta, Desa Panggungharjo, PWNU DIY, dan Yayasan Fahmina. Program ini memang lebih berfokus pada penanganan sampah di level hulu, yaitu lingkup pesantren. Sebagai percontohan, program ini diimplementasikan di beberapa pesantren Yogyakarta dan Cirebon. Pesantren Kebon Jambu Al-Islamy, salah satunya. Namun Pesantren EMAS sama sekali tidak menutup mata pada persoalan sampah di wilayah yang lebih luas.
“Dengan mengajak para santri untuk peduli sampah, harapannya para santri bisa menularkan pelajaran soal kesadaran, kemandirian, dan keberlanjutan sampah ke masyarakat melalui pengajian-pengajian dan lainnya,” ujar Kang Dul. Laki-laki berusia 38 tahun itu mengilustrasikan pesantren Kebon Jambu yang memiliki 1500 santri. Kelak ketika kembali ke masyarakatnya, para santri ini menjadi agen untuk mendorong kesadaran di lingkungannya masing-masing terkait ancaman sampah pada krisis lingkungan.
Sebagai lembaga pendidikan berbasis keagamaan, pesantren dianggap perlu untuk terlibat dalam isu pengelolaan sampah. Baginya, krisis iklim perlu diatasi oleh semua pihak, tidak terkecuali pesantren.
Eco-religious dan jembatan moderasi
Di berbagai belahan dunia, agama mulai dipandang menjadi salah satu elemen penting dalam penanganan krisis lingkungan. Jonathan D. Smith (2023) menemukan bagaimana gerakan-gerakan lingkungan di Indonesia menggunakan narasi keberagamaan dalam berbagai aksinya. Aksi-aksi pelestarian lingkungan ini kerap dibalut dalam berbagai budaya dan tradisi lokal, seperti konservasi air melalui nyadran yang ditemukan di beberapa wilayah di Jawa.
Organisasi keagamaan juga banyak yang mengambil peran dalam upaya penanganan krisis iklim. Pada 2016, Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa tentang haramnya deforestasi. Dalam Fatwa No. 30 Tahun 2016, salah satu poinnya berbunyi: “Melakukan pembakaran hutan dan lahan yang dapat menimbulkan kerusakan, pencemaran lingkungan, kerugian orang lain, gangguan kesehatan, dan dampak buruk lainnya, hukumnya haram.”
Isu lingkungan juga masuk dalam pembahasan di Kongres Ulama Perempuan Indonesia 1 di Cirebon pada tahun 2017. KUPI memberikan pandangan keagamaan bahwa merusak alam yang berakibat pada kemadlaratan dan ketimpangan sosial atas nama apapun, termasuk atas nama pembangunan, hukumnya adalah haram secara mutlak. Setelah kongres, mulai banyak pesantren dan organisasi keislaman yang secara terbuka terlibat dalam gerakan pelestarian lingkungan.
Upaya untuk melestarikan lingkungan ini menjadi jalan bagi para aktivis lingkungan dalam membuka ruang interaksi dengan masyarakat lintas organisasi hingga lintas agama. Uswatun Hasanah yang akrab disapa Uswah mengakui bahwa keterlibatannya dalam gerakan Eco-Bhinneka Muhammadiyah semakin membuatnya memiliki pemahaman yang inklusif. Lingkaran pertemanannya pun semakin luas.
Uswah bergabung di Eco-Bhinneka sejak tahun 2021. Program ini diinisiasi oleh organisasi Muhammadiyah untuk mendorong warga lintas iman bersama-sama melestarikan lingkungan, sekaligus merupakan bagian dari Joint Initiative for Srategic Religious Action (JISRA). Program ini diimplementasikan di empat kota, yaitu Pontianak, Ternate, Surakarta, dan Banyuwangi.
Di program ini, Uswah bisa bertemu dengan banyak orang dengan berbagai latar belakang agama dan keyakinan. Ia jadi mengenal seperti apa orang Hindu, seperti apa penganut kepercayaan, dan lainnya. Baginya, selama ini masyarakat terlalu sibuk untuk membangun perdebatan siapa yang paling benar. Isu pelestarian lingkungan meruntuhkan sekat-sekat itu dan mendorong siapapun untuk bergandengan tangan demi bumi yang layak untuk ditinggali.
Saat kecil, dosen di salah satu kampus swasta Jawa Tengah itu mengaku memiliki pengalaman keberagamaan yang cukup dinamis. Secara pribadi, ia tidak mempersoalkan latar belakang agama temannya, bahkan pernah memiliki sahabat beragama Kristen. Namun sebagian orang di lingkungannya berusaha menciptakan jarak.
Ia berkisah, satu waktu dia dan temannya pernah masak bersama. Ia diperingatkan agar makanannya tidak disentuh oleh temannya yang beragama Kristen. “Katanya, agar tidak mengurangi rasa dan kesuciannya,” kenang Uswah. Untungnya ia berasal dari keluarga yang cukup terbuka sehingga membuatnya tidak membatasi diri secara berlebihan. Apalagi di lingkungannya saat ini, masih ada beberapa kolega yang belum bisa bersikap inklusif terkait isu toleransi. Bahkan ada yang secara terang-terangan mengatakan toleransi sebagai produk Barat yang harus ditolak.
Menurut Uswah, pandangan eksklusif tersebut terbentuk karena belum terbukanya ruang interaksi dan dialog bagi sebagian koleganya. Dengan interaksi, orang akan memahami hakikat keberagaman dan bagaimana perbedaan keimanan bukan menjadi soal, khususnya dalam pelestarian alam.
“Selama kita manusia, kita punya tugas dan tanggung jawab yang sama untuk bumi ini,” ujar Uswah menegaskan. Baginya, perbedaan agama bukan lagi didudukkan sebagai penghalang, namun justru menjadi sarana penguat aksi bersama. “Saya pikir, umat agama mana pun memiliki keresahan yang sama terkait dengan krisis iklim ini,” tandasnya.
(AN)