Mereka yang Bukan Seiman Adalah Saudaramu dalam Kemanusiaan, Cerita Perjumpaanku dengan Umat Sikh

Mereka yang Bukan Seiman Adalah Saudaramu dalam Kemanusiaan, Cerita Perjumpaanku dengan Umat Sikh

Mereka yang Bukan Seiman Adalah Saudaramu dalam Kemanusiaan, Cerita Perjumpaanku dengan Umat Sikh

“Mereka yang bukan saudaramu dalam iman, adalah saudaramu dalam kemanusiaan” tutur sahabat Ali bin Abi Thalib.

Ungkapan Sayyidina Ali citulah yang mengantarkan saya untuk mengunjungi rumah ibadah agama Sikh beberapa lalu dan mengubah pandanganku tentang mereka.

Kisah itu bermula patu pagi di hari Minggu yang teduh, saya beserta yang lain berangkat dari Ciputat, tempat saya tinggal ke rumah ibadah agama Sikh. Lokasi tidak terlalu jauh, saya rasa waktu perjalanannya sama ketika saya mencecap habis dua batang rokok kretek. Sesingkat itu jaraknya dan selama ini saya tidak tahu.

Tak lama, saya tiba di Yayasan Sosial Guru Nanak. Tempat nama rumah ibadahnya dan berada di bilangan Sawah Lama, Ciputat, Tangerang Selatan.

Tatkala kami sampai dan melihat umat agama Sikh, spontan saya teringat film India. Bagaimana tidak, anak kecil berlarian sana-sini mengenakan gaun yang serba warna-warni, belum lagi iringan musik India dan ditambah para lelakinya mengenakan tutup kepala. Tarian-tarian di film India semakin menghanyut dalam pikiran.

Kami disambut dengan ramah dan segera ditawari aneka macam makanan khas India, bubur kacang, rempah-rempah dan roti-rotian misalnya. Untuk rasa, awalnya mulut kami, jujur rasanya benar-benar aneh. Setelah mencicipi makanan, barulah kami naik ke atas mengikuti ibadah mereka. Ibadah berjalan dengan khidmah dan tenang.

Dalam ibadahnya, umat Sikh lebih dominan mendengarkan lagu-lagu yang berisikan ajaran hidup dan amal kebaikan, hidup sederhana dan saling kasih antar sesama misalnya.

Cukup lama kami berada di dalam ruangan, di waktu tertentu kita berdiri dan sesekali satu jama’ah memutar membagikan makanan, semacam tepung dicampur minyak berwarna kecoklatan.

Jujur, agak sedikit takut, saat saya tanyakan ke salah satu jamaah, “ini biasa dibagikan kok, enak rasanya” ucapnya menenangkan lalu pergi begitu saja.

Selepas jama’ah kami beranikan diri untuk maju ke depan, sebatas melihat kitab kuno yang tadi didendangkan oleh pemimpin ibadah.

Kitabnya benar-benar tebal, menurut penuturan jamaah, kitab ini didatangkan langsung dari India.

“Jadi benar-benar original dan nggak boleh sembarang orang memilikinya” kata salah seorang jemaah Sikh meyakinkan saya.

Setelah itu kami diajak turun ke bawah, melanjutkan obrolan dengan santai. Ada banyak hal yang kita obrolkan di sana. Pram Singh namanya, seorang pemuda dari umat Sikh yang kami ajak bincang-bincang santai. Mula-mula menanyakan sejarah singkat agama tersebut dan kenapa bisa sampai di Indonesia.

Panjang lebar ia menjelaskan, satu hal yang jelas bagi saya dan tertanam dalam ingatan.

Begini, bahwa Agama Sikh mengajarkan kesamaan manusia, maksudnya ajaran agama Sikh meniadakan pengkastaan sosial sebagaimana umat Hindu keumuman. Dengan ajaran yang dibawa oleh agama Sikh semua manusia adalah setara, tidak ada penindasan manusia atas dasar apapun.

Jujur, ini adalah kali pertama saya menyambangi umat Sikh, senang rasanya. Ternyata di sekitar Ciputat ada agama umat Sikh.

Ada refleksi yang sungguh menegur hati. Dengan pengalaman ini semakin meyakinkan hati saya bahwa keberagaman dalam beragama benar-benar nyata dan sikap saling menerima adalah fakta. Begitulah, saya diterima dengan hangat oleh umat Sikh.

Biarpun secara kasat mata antara agama yang saya peluk berbeda dengan agama Sikh, paling tidak setiap agama mengandung nilai universalnya yang sama, yakni nilai kemanusiaan.

Andai saja saya melihat umat Sikh bukan sebagai saudara kemanusiaan ditambah berbeda agama bisa saja saya tidak sampai ke lokasi ini. Maka benar bahwa kemanusiaan itu mendahului keberagamaan.

Seringkali di antara kita lebih mementingkan atribut keagamaan, menganggap simbol agama adalah penting belaka, sehingga mengabaikan inti ajarannya.

Kenyataannya yang paling pahit, menindas manusia atas nama agama. Ini sering kita temukan di sekitar kita.

Dengan lawatan ini kembali meyakinkan hati bahwa mereka yang tidak seagama adalah saudara, yang tidak sesuku adalah tetangga dan yang berbeda kulit adalah teman bicara. Dengan begitu, kiranya keharmonisan menjadi ruh dalam kehidupan kita. Sebuah pengalaman, pernah melewati.