Biasanya, haul sesepuh selalu dikaitkan dengan Islam, atau lebih spesifiknya lagi identik dengan organisasi keagamaan atau jamiyyah Nahdlatul Ulama. Jamaah inilah yang menyelenggarakan sekaligus menikmati peringatan terhadap orang tua dan leluhurnya. Tidak demikian dengang yang terjadi di kampungku. Haul sesepuh dilakukan dan dirayakan oleh seluruh elemen masyarakat. Entah dia NU, Persis, Muhammadiyah, bahkan non-muslim sekalipun.
Bronfenbrenner (1979) pernah mengemukakan sebuah teori yang disebut dengan teori ekologi. Teori ini menggambarkan tentang bagaimana orang tua, keluarga, guru dan sekolah berperan dalam perkembangan anak. Bisa dikatakan bahwa merekalah yang membentuk diri dan kepribadian anak. Timbal baliknya, seorang anak pada saat dia dewasa akan cenderung untuk memberikan reward kepada pihak-pihak tersebut. Setidaknya, dengan cara mengingat mereka.
Barangkali teori ini yang bisa menjelaskan apa yang terjadi di kampungku. Ada saat tertentu secara periodik dan berkala di mana semua elemen masyarakat dari berbagai keyakinan berkumpul menjadi satu merayakan rasa terimakasih mereka kepada orang tua yang telah memberikan kontribusi sedemikian besar dalam kehidupan mereka.
Acara haul sesepuh di kampungku rutin dilakukan setiap tahun, tepatnya pada bulan Syawal. Jumat setelah pelaksanaan salat Jumat biasanya selalu menjadi waktu pelaksanaan. Kenapa Syawal? Karena Syawal adalah bulannya para perantau biasa kembali pulang ke kampung halaman mereka. Lalu, kenapa setelah salat Jumat? Karena Jumat adalah harinya mayoritas warga berkumpul di masjid untuk melaksanakan kewajiban salat Jumat, sehingga jika haul sesepuh dilaksanakan sesudahnya, maka tidak perlu lagi tambahan effort untuk mengumpulkan massa.
Lokasi pekuburan umum (pekuburan desa) menjadi tempat berlangsungnya acara. Saat aku kecil dulu, pekuburan umum itu masih terlihat lengang. Belum begitu banyak patok kuburan yang berdiri dan masih banyak space kosong di antara tiap kuburan. Sekarang sudah nampak lebih sesak. Sebagian keluarga bahkan sudah membeli tanah di sekitar pekuburan umum yang kemudian menjadi pekuburan keluarga mereka.
Di tengah kuburan ada sekitar tanah kosong seluas kira-kira 6×6 meter. Tak boleh ada mayit dikuburkan di area itu. Di atasnya dibangun pendopo yang sangat sederhana. Hanya terdiri dari 4 batang bambu besar di setiap pojokan dan atap asbes yang sudah bolong-bolong atau retak di banyak titik. Tak ada apapun di lantainya kecuali tanah. Bahkan susunan bata merah pun tidak ada. Pendopo itu memang spesial diperuntukkan bagi tempat duduk para ulama dan tetua desa saat acara haul sesepuh. Tentu saja akan dihamparkan tikar diatasnya demi sedikit kenyamanan. Sementara warga yang lain biasanya duduk di hadapan kuburan orangtua mereka masing-masing.
Karena mayoritas penduduk adalah Jamiyyah NU, tentu saja ada ritual tahlilan di acara tersebut. Tapi bukan berarti yang datang hanya yang NU saja. Mereka yang Muhammadiyah dan Persis yang biasanya membidahkan ziarah kubur dan kirim doa ke mayit pun ikut hadir. Bahkan yang non-muslim (biasanya warga yang etnis Cina) pun ikut hadir. Rangkaian acara yang lain barangkali yang membuat mereka tertarik untuk ikut hadir. Yakni acara pembacaan sejarah desa Kebondanas. Dalam pembacaan sejarah tersebut akan disebutkan siapa saja Sang Babad Desa yang pertama kali mendatangi desa kami.
Disebutkan juga bahwa jika dirunut, sebenarnya antara seluruh warga desa ada keterkaitan keluarga baik lewat jalur darah, jalur pernikahan, jalur persaudaraan angkat dan jalur persahabatan yang terlalu akrab sehingga sudah dirasa seperti saudara seperti cerita persahabatan antara Mbah Kuwu Sudin, tokoh yang menjadi kepala desa pertama dengan Babah Ong, seorang keturunan etnis Cina pemilik sepeda pertama di desa kami sekaligus pemilik bengkel sepeda pertama.
Di momen itulah para keturunan Mbah Kuwu Sudin dan Babah Ong kemudian merasa berbunga hati. Beberapa ada yang bersorak, ada pula yang bertepuk tangan. Beberapa bahkan terlihat menangis. Dengan kesoktahuanku, aku mengira bahwa itu adalah semacam tangis kerinduan yang bercampur tangis bahagia. Rasa yang sama juga dialami oleh keturunan-keturunan dari setiap sesepuh yang namanya secara berurutan disebutkan.
Di akhir acara, kami akan makan bersama. Sudah lazim di setiap acara kumpul-kumpul di kampung kami, semua keluarga masing-masing akan membawa makanan yang akan dimakan bersama. Ada pula beberapa keluarga yang membuat bungkusan yang agak banyak berisi makanan dan minuman yang dibagikan ke seluruh warga. Bungkusan makanan biasanya paling benyak berasal dari keluarga etnis Cina di kampung kami yang beragama Kristen. Ini bisa dipahami karena secara ekonomi mereka terbilang lebih mapan dibanding yang lain karena berprofesi sebagai pemilik toko bangunan.
Setiap muslim yang menerima bungkusan tersebut akan menerima dengan sukarela dan melahapnya dengan suka cita tanpa ada rasa suuzon, karena mereka tahu bahwa saudara Kristen sudah memahami apa yang dilarang untuk saudara muslim. Saudara-saudara Muhammadiyah dan Persis pun ikut makan. Biasanya mereka lebih memilih duduk agak jauh dari area pekuburan, dekat dengan area persawahan.
Mereka yang tua khusyuk dalam doa dan perbincangan dengan sejawat seumuran mereka. Sesekali mereka mengobrol tentang asiknya masa muda mereka. Kelompok yang lebih muda saling bercengkerama, terlebih jika bertemu dengan kawan sekolahnya yang kini merantau di luar daerah. Anak-anak saling bermain dan berkejaran. Semuanya larut dalam sebuah harmoni yang menyejukkan hati bagi yang melihat dan merasakannya. Barangkali inilah yang membuat sejauh apapun kami melangkah, selalu ada momen dimana kami ingin kembali.
Eurelings Bontekoe (2003) menyebut fenomena itu sebagai homesickness, yakni reaksi berat meninggalkan lingkungan lama disertai dengan perenungan tentang keakraban dengan lingkungan lama, serta kerinduan yang amat kuat untuk kembali ke lingkungan lama.
Lingkungan kampung kami terlalu sejuk bagi kami. Perbedaan bukanlah penghalang bagi kami untuk tetap guyub rukun. Kemesraan lingkungan yang begitu hangat ini selalu membuat kami ingin kembali pulang. Aku, sebagaimana warga desa yang lain memiliki fikiran yang sama. Bahwa harmoni seindah ini akan selalu ingin kami pertahankan. Maka buat apa memperuncing perbedaan?
(AN)