“Keberagaman menjadi indah kalau bisa saling toleransi dan sinergi,” begitu ungkapan Pandita Sardi yang dikutip oleh Komunitas Santri Gus Dur (selanjutnya ditulis Santri Gus Dur) saat melakukan kunjungan ke Vihara Vimalakitri Yogyakarta pada pertengahan Oktober yang lalu.
Komunitas ini mengadakan agenda kunjungan ke rumah-rumah ibadah untuk menjalin silaturahmi dan mendialogkan keberagaman. Santri Gus Dur menamainya sebagai Jalan Tol atau ‘Jalan-Jalan Toleransi’.
Inisiator kegiatan ini adalah dua penggerak Santri Gus Dur bernama Firda Ainun dan Ferry Mahulette. Keduanya menggagas Jalan Tol sebagai ruang anak muda untuk mengenal dan berdialog mengenai agama dan kepercayaan lain.
“Selama ini kita banyak berbicara tentang toleransi, namun literasi tentang agama-agama lain itu belum banyak,” ucap Ferry. Mahasiswa CRCS UGM itu juga menyebut bahwa dengan pertemuan dan dialog, maka anak muda bisa mengerti apa yang orang lain rasakan, hayati, dan alami sebagai pemeluk agama yang berbeda.
Salah satu yang berkesan bagi Ferry adalah ketika dirinya mengikuti kunjungan ke situs umat Islam yaitu makam di Dongkelan dan juga makam KH. Ahmad Dahlan. Ia mencontohkan bagaimana dirinya yang beragama Kristen menemukan pemahaman baru tentang makna ziarah yang dilakukan oleh teman-teman muslimnya.
“Ternyata, ziarah bagi umat muslim selain mempererat ikatan batin dengan leluhur juga ada sisi mencari keberhanan yang tidak ada dalam tradisi Kristen,” ujarnya.
Ia juga menceritakan pengalaman rekan-rekannya yang menemukan kesan positif saat mengikuti kegiatan tersebut. Umumnya, mereka merasa bahwa kecurigaan yang selama ini ada di kepalanya banyak yang tidak terbukti. Dengan pertemuan dan dialog, para peserta kemudian semakin memiliki penghormatan kepada yang berbeda.
Pengalaman pentingnya perjumpaan umat lintas agama dirasakan pula oleh Firda Ainun. Perempuan yang pernah menjadi santri di sebuah pesantren itu mengaku bahwa dulu ia juga merasa kaget saat pertama kali bertemu dengan orang-orang yang berlatar belakang berbeda, terutama agamanya. Namun setelah melalui beberapa kali pertemuan dan obrolan, kecurigaan pun mencair.
“Dulu saya kaget ketika pertama kali bertemu orang yang berbeda agamanya. Namun setelah bertemu banyak pihak, banyak orang, dan beragam ide, ternyata pengalaman ini mendorong pemahaman bahwa sebagai manusia kita perlu saling memahami, bukan menghakimi,” akunya. Pengalaman keberagaman ini pula yang dianggapnya penting untuk dirasakan oleh banyak orang, terutama anak muda di Indonesia.
Jalan Tol dikemas dalam bentuk jalan-jalan untuk menarik minat anak muda yang saat ini punya minat untuk mendalami sesuatu jika dikemas dengan cara yang sana. Misalnya, ada komunitas yang mengemas belajar sejarah melalui jalan-jalan. Firda pun berpikir mengapa belajar toleransi tidak dikemas dengan cara serupa? Apalagi selama ini toleransi dipelajari dengan cara yang terlalu serius.
“Di komunitas kami, sowan ke tokoh-tokoh agama lintas agama itu hal yang lumrah. Namun mengemas dalam kegiatan yang bisa diikuti oleh siapa saja, hal ini baru terwujud melalui Jalan Tol,” kisahnya.
Jalan-jalan Membangun Persaudaraan Antar Agama
Sejak pertama kali diadakan pada tahun 2023, Santri Gus Dur sudah mengadakan kegiatan tersebut lima kali. Kunjungannya meliputi ke masjid, gereja, vihara, lembaga pendidikan keagamaan, organisasi kepercayaan, hingga makam tokoh agama. Di sana, para peserta diajak untuk melihat bagaimana umat yang berbeda agamanya melakukan berbagai aktivitas. Selain itu, peserta berkesempatan untuk mengenal berbagai objek penting di agama atau keyakinan yang dikunjungi. Kemudian mereka akan berdialog dan memberi pertanyaan tentang apapun.
Salah satu penggerak Santri Gus Dur lainnya bernama Hamada Hafidzu menceritakan pengalaman pribadinya bergerak dalam komunitas lintas agama yang membuka banyak wawasannya. Ia yang bertahun-tahun hidup dalam lingkungan homogen pesantren awalnya tidak punya imajinasi tentang kehidupan di luar. Hingga di satu waktu, ketika ia mengikuti kegiatan dialog dengan warga beragama Kristen yang membuka wawasannya tentang umat yang berbeda agama.
“Ternyata ada banyak orang Kristen ketika mau membantu itu takut ditolak karena dianggap kristenisasi,” kisahnya. Padahal, bantuan tersebut murni untuk kemanusiaan. Hal ini membuatnya berpikir kritis dan menyadari bahwa kehidupan yang dianggapnya baik-baik saja ternyata dirasakan secara berbeda oleh orang lain yang baru kali ini disadarinya. Ketika Jalan Tol diinisiasi, ia begitu bersemangat dan mendukung penuh agenda itu. Menurutnya pertemuan dan dialog penting itu penting sebagai sarana udar rasa.
Di Indonesia masih ada banyak kasus intoleransi yang disebabkan terbatasnya ruang untuk mengenal dan memahami antar umat beragama. Sepanjang tahun 2023, SETARA Institute mencatat adanya 329 tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Salah satu kasus yang banyak terjadi adalah pelarangan atau penolakan pendirian rumah ibadah. Padahal jika mengenal satu sama lain, kasus-kasus penolakan yang marak terjadi bisa dicegah. Apalagi konstitusi juga menjamin setiap pemeluk agama berhak memeluk dan menjalankan ritual keagamaan yang diyakininya.
Kegiatan seperti Jalan Tol merupakan sebuah upaya untuk memberi akses koneksi antar umat agar tercipta kehidupan yang damai, harmonis, dan adil, khususnya bagi para pemuda. Dengan mempertemukan banyak pemuda dan memberikan pengalaman dan pemahaman tentang yang berbeda, diharapkan di masa depan kehidupan keberagaman di Indonesia tetap terjaga.
(AN)