Kepemimpinan Politik Perempuan Rendah, Rumah KitaB Tawarkan Wacana Alternatif agar Agama Jadi Inspirasi Kesetaraan

Kepemimpinan Politik Perempuan Rendah, Rumah KitaB Tawarkan Wacana Alternatif agar Agama Jadi Inspirasi Kesetaraan

Kepemimpinan Politik Perempuan Rendah, Rumah KitaB Tawarkan Wacana Alternatif agar Agama Jadi Inspirasi Kesetaraan
Bedah buku kepemimpinan politik perempuan

Indonesia telah memiliki atmosfer hukum yang positif yang mendukung partisipasi perempuan dalam kepemimpinan politik. Misalnya UU Nomor 22 tahun 2007, tentang penyelenggara pemilu mengatur agar penyelenggara pemilu memperhatikan keterwakilan perempuan minimal 30 persen.

Indonesia juga telah mengakui hak politik perempuan dapat terlihat dari UU Nomor 68 tahun 1958, di dalamnya mengakui kesamaan kedudukan perempuan dalam politik (non diskriminasi), memiliki hak memilih dan dipilih. Dasar kedua UU tersebut adalah UUD 1945 yang telah diamandemen, Pasal 28H ayat 2, menyatakan “Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.

Rupanya, implementasi regulasi tersebut masih di bawah harapan, hingga tahun 2024, keterwakilan perempuan di legislatif hanya 22,1 persen tertinggi sejak 27 tahun paska reformasi, atau sejak 66 tahun diberlakukannya UU 68/1958 keterlibatan perempuan belum mencapai keadilan.

Hal itu terungkap dalam dalam acara diskusi Buku Fikih Kepemimpinan Politik Perempuan (FKPP) pada 25 Oktober 2024 di Outlier Cafe, Ciputat kerjasama Rumah KitaB dan Islami.CO.

Salah satu yang tampak adalah, masih banyak jalan terjal; Pertama, pandangan agama.

“Di Indonesia masih banyak yg mempersoalkan isu politik perempuan lebih banyak diangkat melalui dalil keislaman,” jelas Savic Ali, CEO Islami.co

Hal itu diperkuat oleh Usman Hamid, Direktur Amnesty International, berpendapat bahwa patriarkisme dalam politik telah mengambil isu agama untuk mempersempit partisipasi perempuan dalam politik.

Ia lantas mengapresiasi dalam ruang yang sangat terbatas bagi perempuan, buku Fikih Kepemimpinan Politik Perempuan berhasil mengangkat ruang yang ramah dalam kepemimpinan politik perempuan.

Cerita soal bagaimana agama digunakan untuk subdordinasi perempuan dalam politik diungkap oleh Eva Farhi Qalbina, Ketua DPW PSI Jakarta.

ia memberi contoh penafsiran dari kementerian agama yang memaknai kata “adza” dalam Al-Quran sebagai “kotoran”.

Ia mengutip Ulama perempuan Dr. Nur Rofiah soal tafsir dan kesalahan memahami agama.

Sehingga, lanjutnya, sebagian orang memahami bahwa larangan mendekati perempuan yang sedang haid karena dia sebagai “kotoran”.

Elva melontarkan kritik pada maskulinitas dunia politik, seringkali perspektif orang-orang di dalamnya belum berpihak pada perempuan, belum memberikan kesempatan yang adil dan setara pada perempuan, khususnya karena pertimbangan bahwa itu adalah hak mereka mendapat kesempatan yang setara dengan laki-laki.

Lanta, yang ketiga, belum menjadi kehendak partai politik. Hal itu diungkap oleh Prof Dzuriyatun Toyibah, Dekan Fisip UIN Jakarta yang sesuatu heran, meskipun partisipasi perempuan dalam pendidikan itu sangat baik, tetapi fakta bahwa keterlibatan mereka dalam kepemimpinan politik masih sangat rendah.

“Pertanyaan kemudian muncul, apakah partai politik memperjuangkan perempuan?.Semua kembali kepada kehendak politik dari partai-partai yang ada,” tandasnya.

Tidak hanya di level partai, lanjutnya, bahkan di level organisasi kehendak itu belum ada. Firda (mahasiswi UIN) mengkritik setiap organisasi di level mahasiswa belum ada kehendak untuk melibatkan kepemimpinan perempuan.

Ia ambil contoh di birokrasi. Katanya, semua ketua organisasi mahasiswa itu semuanya laki-laki, termasuk para wakil Rektor UIN Jakarta semua laki-laki.

Hal itu diperkuat oleh Usman Hamid, Direktur Amnesty International, berpendapat bahwa patriarkisme telah mengambil isu agama untuk mempersempit partisipasi perempuan dalam politik.

Usman Hamid mengapresiasi dalam ruang yang sangat terbatas bagi perempuan, buku Fikih Kepemimpinan Politik Perempuan berhasil mengangkat ruang yang ramah dalam kepemimpinan politik perempua.

Riri, salah satu peserta yang hadir dan merupakan aktivis Korpri PMII Ciputat, sangat mengapresiasi bahwa masih ada laki-laki seperti Jamal (penulis buku FKPP) yang memiliki keberpihakan terhadap perempuan, dan membincangkan kepentingannya dalam politik.

“Tidak banyak laki-laki yang menulis ini,” katanya.[]