Jika yang dimaksud dengan ajakan beragama secara ilmiah ialah memahami dan mengamalkan ajaran agama berdasarkan ilmu, maka itu berarti mengatakan sesuatu yang sudah jelas.
Tak ada orang, apalagi ulama, menyuruh pemeluk agama tidak mempelajari agama yang diimaninya. Dalam hal ini, berilmu merupakan kebalikan dari bodoh. Dalam ihya’-nya, imam Ghazali menyebut banyak riwayat tentang keutamaan orang berilmu dibandingkan ahli ibadah yang bodoh.
Namun, jika yang dimaksud “ilmiah” adalah “saintifik” dalam arti beragama berdasarkan pembuktian sains, maka ajakan beragama secara ilmiah merupakan pernyataan paling aneh yang pernah saya dengar. Keanehan ini terjadi karena sains dicampuradukkan dengan hal-hal yang bukan sains.
Misalnnya, sains dicampuradukkan dengan filasafat. Karena beberapa hal dalam agama masuk dalam perbincangan filosofis, maka kemudian dianggap saintifik. “Philosophy is not a science proper.”
Baca juga: Ekstremitas Guru Gembul, Matinya Kepakaran dan Intoleransi Komunitas Habaib
Sains menggunakan metode tertentu untuk menguji hipotesis berdasarkan bukti-bukti empiris. Tentu saja filsafat itu penting sebagai sumber pengetahuan, tapi bukan sains.
Juga, sains dicampuradukkan dengan rasionalitas. Karena pandangan keagamaan kita rasional, maka kemudian disimpulkan bersifat ilmiah dalam pengertian saintifik. Rasionalitas itu tidak selalu saintifik. Suatu pemahaman rasional bisa dianggap saintifik manakala telah teruji melalui metode saintifik.
Sementara sains berfokus pada pembuktian empiris, yakni alam nyata dan mekanisme kerjanya, penalaran akal (rasional) mencakup hal yang luas sekali, termasuk hal-hal di luar alam nyata yang biasa disebut metafisika. Karenanya, sebagian pertanyaan filosofis yang menjadi obyek penalaran akal bukan wilayah yang digarap sains.
Karena campuraduk antara ilmiah (saintifik) dan rasional dan filosofis, maka persoalannya menjadi rumit seperti benang kusut. Padahal, kalau saya amati dari diskusi yang selama ini berkembang, pertanyaannya lebih sederhana: Apakah doktrin-doktrin agama (Islam) bersifat rasional? Apakah masuk akal? Apakah bisa dibuktikan melalui penalaran?
Jadi, “ilmiah” yang dimaksud adalah “rasional.” Maka, kemudian disusun argumen-argumen rasional untuk membuktikan keberadaan Tuhan, misalnya. Atau, argumen rasional untuk membuktikan Al-Quran sebagai wahyu ilahi. Dan seterusnya.
Pembuktian rasional terkait keimanan itu umumnya bersifat “after the fact.” Artinya, beriman dahulu kemudian dicari beragam alasan untuk menjustifikasi apa yang diimani. Tentu saja orang yang tidak beriman juga punya alasan untuk menilainya tidak rasional. Yang menarik dicatat ialah sebagian orang tampak bernafsu mengkampanyekan bahwa seluruh ajaran Islam bersifat rasional.
Padahal, para ulama dahulu – yang juga saya imani – secara legowo menerima kenyataan bahwa ada hal-hal dalam agama yang ma’qulatul ma’na (maknanya dapat dinalar akal) dan ghayru ma’qulatil ma’na (maknanya tidak dapat dinalar). “Maknanya tidak dapat dinalar” bukan berarti bertentangan dengan nalar! Itu merupakan cara ulama dahulu untuk mengatakan “ya terima saja” sebagaimana diwahyukan.
Saya ini hidup di tengah-tengah masyarakat yang mengedepankan rasionalitas dan bergelut dengan penalaran kritis setiap saat, tapi saya tetap mengimani ada hal-hal dalam agama yang tidak perlu bersifat rasional untuk saya terima. Dalam hal ini, saya setuju dengan pandangan ulama dahulu.
Saya juga teringat pandangan Thomas Aquinas berikut: “seharusnya kamu tidak mencoba membuktikan iman dengan (bersandar sepenuhnya pada) akal. Sebab, hal itu akan mengecilkan sublimitas iman yang kebenarannya melampaui akal manusia, bahkan para malaikat; kami mengimani (ajaran-ajaran agama) karena diwahyukan oleh Tuhan” (non ad hoc conari debes, ut fidem rationibus necessariis probes. Hoc enim sublimitati fidei derogaret, cuius veritas non solum humanas mentes, sed etiam Angelorum excedit; a nobis autem creduntur quasi ab ipso Deo revelata).
Apa alasan saya menerima hal-hal dalam agama yang tidak harus rasional? Karena saya tidak mau sok rasional! Ndak itu bercanda, walaupun ada benarnya juga. Begini jawaban seriusnya: Ada banyak hal dalam agama yang bisa diketahui melalui penalaran akal. Dalam studi agama, ini disebut “natural religion,” yakni aspek-aspek agama yang dapat diketahui melalui logika atau penalaran semata.
Namun demikian, ada hal-hal subtil dalam agama yang hanya diketahui karena Tuhan memberitahu melalui wahyu. Tanpa wahyu, baik dalam arti inspirasi yang menjadi teks ataupun Tuhan sendiri turun ke bumi, kita tidak tahu. Kita tak perlu ruwet memikirkan contohnya. Misalnya, kenapa Muhammad dipilih sebagai Nabi terakhir, bukan orang lain? Dalam Kristen, kenapa Trinitas? Kaum beriman mengetahui karena Tuhan memberitahu dengan cara yang sesuai kehendak-Nya. Tanpa pemberitahuan Tuhan, kaum Muslim tidak tahu apakah harus mengimani Muhammad sebagai Nabi atau tidak.
Perkara kenabian Muhammad bisa dirasionalkan, itu urusan lain.
Kaum beriman dapat menyusun alasan rasional tentang kenabian Muhammad, namun hal itu hanya dapat dilakukan setelah diberitahu Tuhan bahwa Muhammad itu Nabi terakhir (khatam al-nabiyin). Lagi-lagi, ini contoh bagus tentang justifikasi “after the fact” itu.
Yang perlu disadari ialah, sebagaimana kita dapat mengembangkan argumen rasional untuk menjelaskan kemasuk-akalan (reasonableness) ajaran agama kita, para penganut agama lain juga melakukan hal yang sama.
Kalau Anda baca karya-karya Thomas Aquinas, misalnya, maka akan tampak betapa masuk-akal ajaran Kristen. Para apologet dalam setiap agama melakukan hal yang sama.
Berbeda dengan apologet, kaum polemikus biasanya bukan hanya memperlihatkan aspek-aspek rasional ajaran agamanya, melainkan juga mengkampanyekan ketidak-rasionalan agama lain. Teolog Muslim Abu Isa al-Warraq pada ke-9, misalnya, mengkritik Trinitas dan konsep inkarnasi Kristen sebagai ajaran tidak logis dan inkoheren. Sementara dari pihak Kristen, Abdul Masih b. Ishaq al-Kindi pada abad ke-10 mencibir ajaran Islam sebagai irrasional.
Para polemikus modern juga sama. Dengar apa yang dikatakan Ahmed Deedat dan Zakir Naik (dari pihak Islam) atau Jay Smith dan Christian Prince (dari pihak Kristen).
Jika sempat, nanti saya lanjutkan dengan penjelasan historis kenapa sebagian ulama Muslim, terutama abad ke-19, menekankan argumen bahwa Islam merupakan agama paling rasional. Saya akan tutup dengan satu tambahan campuraduk yang menyebabkan kata “ilmiah” membingungkan.
Yakni, mencampuradukkan “ilmiah” dengan kata “ilmi” dalam bahasa Arab. Misalnya “bahts ‘ilmi” diartikan “pembahasan ilmiah.” Ya benar, tapi ilmiah di situ tidak harus dalam pengertian saintifik.
Kalau mendiskusikan satu tema dengan menghimpun ayat-ayat Al-Quran yang relevan disebut ilmiah, ya ilmiah dalam pengertian berdasarkan ilmu.
Kalau membahas suatu masalah dengan mengutip banyak literatur disebut ilmiah, ya pembahasan ilmiah dalam arti tidak ngibul. Jangan karena ada frasa “hadza bahts ‘ilmi” kemudian dipahami ini pembahasan ilmiah dalam arti saintifik.
Pada akhirnya, kata “ilmiah” bisa bermakna berbeda bagi orang berbeda. Sayangnya, dalam bahasa Indonesia, kata “ilmu” (yang darinya kata “ilmiah” diderivasi) tidak dibedakan dengan “pengetahuan.” Keduanya kerap digunakan dengan makna yang sama. Dalam bahasa Inggris, kata “science” dan “knowledge” itu konotasinya berbeda.