Pada beberapa periode hidupnya, ia tak tampak seperti seorang romo Projo, sebuah perkumpulan imam-imam Katolik asal Indonesia yang dikenal dengan semangat merakyat dan sederhana. Lelaki kelahiran Malang itu lebih mirip aktivis hak asasi manusia yang wara-wiri di banyak tempat.
Ia sering keluyuran bersama para aktivis yang muda maupun yang sudah berumur.
Saya mulai mengenalnya pada 2000-an, tak lama setelah Indonesia sempoyongan dihajar krisis ekonomi dan kekerasan. Dan ia memang lebih tampak seperti kebanyakan aktivis. Yang membedakan mungkin gaya bicaranya yang banyak kita jumpai pada romo-romo Jawa saat tengah menyampaikan pesan-pesan agama.
Rupanya penugasan menjadi romo di Paroki Situbondo menancap kuat di pikirannya dan memandu perhatiannya. Saya mendengar ini langsung dari mulutnya ketika kami duduk satu forum di Latuharhari, Kantor Komnas HAM. Kami sedang mendiskusikan sebuah hasil riset tentang praktik resolusi konflik Kebebasan Beragama.
Ketika ia ditugaskan di wilayah tapal kuda Jawa Timur itu, baru berselang sepekan Situbondo digilas konflik. Almanak mencatat peristiwa itu terjadi pada 1996.
Pada 10 Oktober di tahun itu, 24 gereja di lima kecamatan dibakar dan dirusak. Beberapa sekolah Kristen, Katolik, sebuah panti asuhan, Kristen, dan toko-toko milik keturunan Tionghoa bernasib sama. Lima orang tewas dipanggang api ketika kompleks Gereja Pantekosta Pusat Surabaya di Jalan Basuki Rachmat dilalap api.
Saleh, warga muslim yang dianggap menghina tokoh Islam di sana, dituduh penyebabnya. Putusan lima tahun terhadap Saleh dianggap tak adil. Ia jadi bulan-bulan massa saat keluar dari sidang. Berembus kabar ia disembunyikan di salah satu gereja.
Kabar itu yang membakar amarah warga. Belakangan kerusuhan itu sengaja diciptakan untuk melorotkan citra KH Abdurrahman Wahid, ketua PBNU saat itu dan salah seorang tokoh yang dianggap meresahkan kekuasaan Jakarta.
Dalam situasi mencekam ini, lelaki yang beken dipanggil Romo Benny itu bertemu Gus Dur dan serta-merta mengagumi sosok yang dalam beberapa tahun akan dipilih menjadi presiden.
“Dialog yang terbuka dan jujur, mau tidak mau harus terus kita lakukan agar peristiwa-peristiwa semacam ini tak terulang,” katanya.
Sejak peristiwa itu lelaki asal malang itu makin aktif dalam berbagai kegiatan lintas iman. Ia pernah menjadi Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Agama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI). Menjadi penasihat sejumlah organisasi masyarakat seperti Setara Institute. Orang-orang akrab dengan wajahnya karena sering terlihat dilayar televisi. Saya pernah mendengar ada suara-suara di komunitasnya yang mempersoalkan sepak terjang dan statusnya sebagai romo.
Organisasi dan aktivitasnya yang digelutinya memang beragam. Tapi, yang tak berubah adalah perhatian dan visinya tentang perdamaian lintas-iman dan pentingnya demokrasi.
Ia lantang menyuarakan hak-hak kelompok tertindas seperti Ahmadiyah, Syiah, minoritas Kristen, Katolik, dan Gafatar. Perhatiannya pada isu-isu ini tampak pada kiprahnya di lembaga terakhir ia berkiprah: Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Sebelum pertemuan di Komnas HAM, kami pernah bertemu di forum BPIP. Lembaga ini punya hajat mendiskusikan bagaimana seharusnya menyikapi fatwa keagamaan. Tanggapan saya atas tindakan BPIP setelah pertemuan ditanggapinya. Pandangannya seperti biasanya. Negara perlu berpegang pada konstitusi dan hak asasi manusia.
“Ini isu yang sudah lama kami geluti,” katanya di forum itu.
Usai forum kami masih bicara di sebuah ruangan di seberang tempat diskusi. Beberapa jam lagi Magrib akan tiba. Suasana di jalan macet. Kami makan sore dan ngobrol ngalor-ngidul kami tak hanya berdua.
Ada Andar Nubowo, Direktur Eksekutif Maarif Institute, dan beberapa pejabat dan staf BPIP. Di sela-sela obrolan, ia sempat bertanya bagaimana soal tambang dan sikap ormas-ormas keagamaan. Pertemuan hari itu ditutup dengan salam perpisahan
. “Saya pamit ke kamar ya,” katanya sambil menunjuk langit-langit dengan logat Jawanya yang kental. Rupanya hari itu, satu dari dua pertemuan terakhir saya.
Diabetes rupanya menggerogoti kesehatannya. Tengah malam, Sabtu 5 Oktober 2024, napasnya terhenti. Dokter Rumah Sakit Mitra Medika Pontianak menyatakan Romo Benny pergi.