Maulidan di Makassar: Ngaji Teladan Nabi dari Fahruddin Faiz dan Habib Husein Jafar

Maulidan di Makassar: Ngaji Teladan Nabi dari Fahruddin Faiz dan Habib Husein Jafar

Maulidan di Makassar: Ngaji Teladan Nabi dari Fahruddin Faiz dan Habib Husein Jafar

Saat sedang iseng scroll Instagram, eh, nemu akun @infoeventmakassar. Pas banget, karena lagi nyari event saat weekend. Di barisan pertama feednya, terlihat sosok Dr. Fahruddin Faiz dan Habib Husein Ja’far al-Hadar. Duarrr! Langsung nostalgia sama Maulid SATFEST tahun lalu yang diadain Islami.co, diisi Banthe dan Habib sepanggung.

Event yang berkonsep seminar itu digelar LDF Ar-Rahmah dan DEMA FUF (Fakultas Ushuluddin dan Filsafat) UIN Alauddin yang mengangkat tema “Mengintegrasikan Akhlak Rasulullah dalam Pengembangan Literasi Humaniora di Era Digital”.diadakan pada tanggal 21 September 2024 kemarin, dan event ini terasa seperti hadiah di bulan Maulid, karena ada dakwah yang berbeda dengan sentuhan sudut pandang filsafat.

Kedatangan kedua tokoh tersebut ke tanah Anging Mamiri bikin heboh. Serius! ini jadi salah satu acara yang paling berani menurutku. Karena, ngumpulin dua figur berpengaruh dalam satu panggung di Makassar memang belum pernah dilakukan, baik sama EO atau kampus lain. Seminar tersebut juga berlangsung meriah dengan peserta yang beragam, bahkan ada yang jauh-jauh dari luar Makassar. Mereka rela menempuh perjalanan panjang demi bertemu pemateri seminar.

Menariknya juga, di hadapan 939 peserta, teman karib Onad ini menyampaikan apresiasinya terhadap acara yang peka terhadap isu kesetaraan gender. Sebab, adanya moderator perempuan yang memandu acara merupakan bentuk kesadaran panitia untuk menegaskan pentingnya peran yang setara antara laki-laki dan perempuan.

Acara terbagi menjadi dua sesi. Sesi pertama diisi dengan pemaparan dari seorang filsuf Indonesia tentang cara praktis menerapkan suri tauladan Nabi Muhammad SAW., dan berikutnya dilanjutkan dengan pemaparan yang lebih relevan dengan kehidupan masa kini oleh sang Habib Industri.

 

Langkah Cerdas Meniru Jejak Sang Nabi dari Fakhruddin Faiz

Dr. Fahruddin Faiz menjelaskan bahwa “puncak dari segala figur adalah Rasulullah SAW.” Cara termudah untuk menjadi cerdas, menurutnya, adalah meneladani sosok yang tepat. Siapa lagi kalau bukan Nabi Muhammad SAW. Beliau kemudian memberikan beberapa langkah praktis yang dapat memudahkan kita dalam meneladani Nabi:

  1. Orientasi hidup yang jelas

Untuk bisa meneladani Rasulullah, kita harus memiliki tujuan hidup yang terarah, yaitu mengingat Allah dan akhirat. Dalam firman-Nya:

لَقَدْكَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌحَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوااللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ

Sungguh, pada (diri) Rasulullah benar-benar ada suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat serta yang banyak mengingat-Nya. (Al-Aḥzāb [33]:21)

Ayat ini mengingatkan kita bahwa hanya orang yang mengharap perjumpaan dengan Allah dan hari akhir yang mampu mengikuti jejak Rasulullah dengan baik.

  1. Investasi moral sebagai prioritas

Di antara berbagai macam investasi, investasi moral adalah yang paling menguntungkan. Tidak hanya untuk kehidupan saat ini, tetapi juga untuk masa depan. Dengan menanamkan moral yang baik, seseorang membangun fondasi yang kokoh untuk dunia dan akhiratnya.

  1. Kesadaran diri (Self-awareness)

Mengenali diri sendiri adalah hal penting. Beliau mengajak kita untuk meluangkan waktu bertanya pada diri sendiri, “Siapakah saya sebenarnya?” Karena meskipun kita mencoba meniru kebaikan, bisa jadi hasilnya tidak sesuai jika kita belum memahami diri dengan baik. Beliau mencontohkan kesabaran dan tawakal. Kedua sifat ini sangat baik, namun jika tidak diterapkan pada situasi yang tepat, justru dapat menjadi tidak bijaksana.

  1. Koneksi dan circle yang tepat

Dalam mencari lingkungan pergaulan, kita perlu bijak memilih “circle” yang mendukung kebaikan. Penulis buku “Menjadi Manusia Menjadi Hamba” ini, menganalogikannya dengan konsep ‘uzlah dalam tradisi para ulama. Terkadang, menyepi sejenak (berkhalwat) diperlukan untuk memperkuat diri sebelum kembali ke lingkungan.

Hal itu bukan untuk lari dari masalah, tetapi agar kita lebih siap membawa pengaruh positif. Sehingga, kita tidak terbawa arus, melainkan menjadi yang membentuk tren kebaikan di sekeliling kita.

  1. Transendensi

Poin yang ditekankan oleh pakar filsafat ini adalah pentingnya transendensi, yaitu mengarahkan setiap amal perbuatan ke ranah spiritual. Tidak berhenti pada manfaat duniawi semata, tetapi mengejar ridha Allah. Dengan orientasi ini, penerapan uswatun hasanah dari Rasulullah akan lebih mudah.

Ketika kita melakukan sesuatu dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah, seperti disebutkan dalam surah  Al-Aḥzāb ayat 21, amal moral akan terasa lebih ringan, meskipun kadang tidak selalu menyenangkan. Sebab, fokus kita bukan lagi kepada kesenangan dunia, melainkan kepada keridhaan Allah SWT.

Habib Jafar dan Salah Kaprah Perdebatan Maulid 

Bukan hanya Pak Fahrudin Faiz, materi Habib Husein Jafar juga menarik. Sebelum masuk ke materi inti, Habib Husein Ja’far memberikan ilustrasi tentang Maulid dengan perumpamaan makanan khas Makassar, Pallubasa Serigala. Dari nama saja, orang mungkin mengira makanan ini haram karena “serigala” adalah hewan buas yang dilarang untuk dikonsumsi dalam Islam. Namun, nama tersebut hanyalah sebuah pembungkus, bukan mencerminkan isi sebenarnya.

Begitu pula, perdebatan tentang Maulid seringkali hanya berputar pada istilah “Maulid”, sementara substansi di dalamnya diabaikan. “Isinya Maulid itu apa? Membaca sejarah Nabi Muhammad SAW,” tutur Habib.

“Cuma kadang orang tidak paham karena bacaannya dalam bahasa Arab. Padahal, yang pertama kali membaca sejarah Nabi adalah Allah SWT kepada Nabi Adam AS, dalam sebuah riwayat yang disebutkan oleh Rasulullah. Ketika Nabi Adam melihat cahaya Nabi Muhammad di pintu surga, beliau bertanya kepada Allah tentang siapa pemilik cahaya itu. Kemudian Allah membacakan sejarah Nabi Muhammad SAW kepadanya. Ini adalah riwayat dari Imam al-Hakim,” jelas sarjana filsafat ini dengan lugas.

Habib kemudian menyoroti salah satu akhlak Nabi Muhammad SAW. yang sering dilupakan oleh Gen Z, yaitu kebiasaan beliau yang selalu membahagiakan hati orang lain dan tidak pernah mempermalukan mereka. Sebagai refleksi, memberikan contoh bahwa Rasulullah tidak pernah menyebut neraka di hadapan orang yang jelas-jelas akan masuk neraka. Namun, kondisi generasi muda sekarang, sering kali justru saling menjustifikasi sesama Muslim sebagai ahli neraka, padahal belum tentu seperti itu.

Lalu, poin penting yang menggugah hati saya, yaitu Habib mengutip perkataan Jalaluddin Rumi:

“Yang membuat suaramu didengar bukan lantaran kerasnya suaramu, tapi dalamnya perkataanmu. Karena yang membuat tumbuhan itu tumbuh bukan gemuruh petir, melainkan turunnya hujan yang membasahinya.”

Ini diungkapkan sebagai pengingat bagi masyarakat Makassar, yang terkenal dengan budaya berbicara lantang. Pesan ini menyentuh bahwa bukan seberapa keras kita berbicara, tetapi seberapa dalam makna yang kita sampaikan.

Pada akhirnya, Maulid bukan hanya soal memperingati kelahiran Nabi, tapi bagaimana kita bisa mempelajari dan menerapkan akhlaknya dalam kehidupan sehari-hari. Melalui seminar ini, saya semakin paham bahwa meneladani Rasulullah SAW. tidak harus ribet. Cukup dengan menghargai orang lain, menjaga moral, dan mengarahkan segala perbuatan kita kepada Allah, kita sudah berada di jalan yang benar. Inilah esensi Maulid yang sesungguhnya—mempelajari dan mengikuti teladan beliau.

(AN)