Rencana kunjungan Paus Fransiscus ke Indonesia (3-6 September 2024) menyita perhatian banyak kalangan. Bukan hanya umat Katolik tapi hampir seluruh warga bangsa.
Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia kehadiran pimpinan tertinggi umat Katolik ini ke Indonesia sesuatu banget.
Dalam sebuah perbincangan sambil minum kopi, seorang teman nyeletuk begini, “Paus itu kan seperti khalifah kalau dalam Islam”.
Kawan yang lain menyahut, “iya bener. Paus itu kan tidak beda dengan sistem kekhilafan. Ada pemimpin tertinggi agama yang diakui dan diikuti umatnya di seluruh dunia”.
Tiba-tiba kawan yang lain bertanya, mengapa sistem kekhilafahan dalam Katolik diterima dan diakui tapi perjuangan kekhifahan Islam di tolak?
Bahkan, dunia juga tidak mempersoalkan status negara Roma yang jelas-jelas merupakan negara yang dikelola berdasar agama. Paus bukan hanya pemimpin agama, tapi juga kepala negara.
“Wah pertanyaan berat ini”, sahutku.
Pertanyaan ini saya kira valid.
Kita melihat fakta politik, perjuangan penegakan khilafah, baik yang dilakukan organisasi semacam Hizbut Tahrir, bahkan ISIS, menjadi persoalan, dan ditolak dimana-mana. Ada banyak sudut pandang yang bisa digunakan untuk menjelaskan fakta tersebut.
Salah satunya, menurut saya, kepemimpinan umat Katolik dalam sistem kepausan tidak mempersoalkan nasionalisme.
Kepausan tidak membenturkan diri dengan paham negara bangsa, sehingga umat Katolik di negara manapun tidak kehilangan identitas negara-bangsanya.
Romo Sugiyapranoto misalnya punya adagium yang terkenal: 100 % Katolik, dan 100 % Indonesia.
Sedangkan perjuangan kekhilafahan Islam seperti yang dilakukan HT, pagi-pagi sudah membenturkan diri dengan paham nasionalisme.
Ya wajar, kalau gerakan ini bukan hanya ditolak di berbagai negara, tapi tertolak.