Catatan ini berdasarkan pemberitaan The Guardian hari ini, (23/7) ditulis Ruth Michaelson dan Malak A Tansheh di Jarusalem.
Dalam sebuah pagi yang seharusnya damai, langit Khan Younis di Gaza tiba-tiba berubah jadi ladang neraka. Jerit dan tangis memenuhi udara saat serangkaian ledakan menghantam tanpa henti. Militer Israel telah memerintahkan warga Palestina mengosongkan rumah mereka di daerah yang telah ditetapkan sebagai zona kemanusiaan.
Sebuah paradoks mengerikan di tengah kehancuran. Dalam hitungan detik, setidaknya 37 nyawa melayang ke alam baka, meninggalkan jejak darah dan duka.
Warga sipil Palestina terjebak dalam kepanikan mencekam. Perintah evakuasi mendadak sekitar 400.000 orang membuat mereka tercerai-berai, tak tahu arah. Zona aman Al-Mawasi, tempat yang seharusnya jadi perlindungan, kini berubah menjadi medan pelarian.
Di sepanjang pantai barat Gaza, infrastruktur yang dibangun untuk menyelamatkan nyawa kini menjadi saksi bisu penderitaan manusia.
Osama Qudeh, seorang ayah yang putus asa, berkata dengan suara bergetar: “Mereka memanggil kami untuk evakuasi. Kami mengambil anak-anak kami dan berlari, tidak ada yang tahu harus ke mana. Kami berjalan di jalan-jalan, bingung, tidak tahu ke mana lagi harus pergi.”
Di tengah kekacauan, seorang perempuan tua pingsan karena lelah dan trauma.
Tangannya gemetar saat bicara: “Setiap hari kami dipindahkan,” lirih Khouloud al-Dadas kepada Associated Press. “Ini kejahatan yang kami terima. Kami ini manusia. Kami punya hak hidup damai. Tapi yang kami alami sangat-sangat mengerikan.”
Pejabat kesehatan Gaza melaporkan pemandangan memilukan: 37 orang tewas dan 120 lainnya terluka dalam serangan di Khan Younis.
Banyak yang tewas di bawah reruntuhan atau di jalan-jalan karena ambulans tak mampu menembus daerah tersebut. Kantor berita Wafa melaporkan, pengeboman dimulai segera setelah selebaran dari militer Israel memerintahkan evakuasi. Asap tebal dan debu menggantung di udara, menyelimuti kota yang hancur berantakan.
Rumah Sakit Nasser: Titik Nol Kesengsaraan
Rumah sakit Nasser di Khan Younis, adalah tempat penyembuhan, berubah jadi pusat penderitaan.
Orang-orang yang terluka berdesakan masuk. Darah mengalir di lantai. Sementara dokter dan perawat berjuang dengan segala keterbatasan. Mohammad Siksik, juru bicara rumah sakit, dengan mata berkaca-kaca mengatakan kepada Al Jazeera: “Kami kewalahan. Kejadian demi kejadian, kasus demi kasus datang bertubi-tubi dan kami kekurangan obat-obatan dan kehabisan tempat. Kami tidak punya tempat meletakkan mereka… Kami berenang di kolam darah.”
Tragedi ini cermin dari dunia yang terkoyak perang dan kekerasan.
Di setiap sudut Khan Younis, ada tangisan anak-anak kehilangan orang tua. Para perempuan kehilangan suami, dan seluruh keluarga hancur cerai berai. Dunia menyaksikan, tetapi penderitaan perang terasa tak terhingga seakan tanpa ada penghabisan.
Penderitaan warga Palestina di Khan Younis menyakitkan dan mengusik kemanusiaan.
Di tengah genangan darah dan air mata, harapan menjadi makin samar, keberanian dan ketabahan warga Palestina tetap menjadi cahaya di tengah kegelapan. Sampai kapanpun dunia tidak akan bisa melupakan peristiwa ini [.]