Pagi itu, di Minggu yang cerah, sepekan sebelum perayaan kemerdekaan yang mewah di IKN, Darwin, seorang driver ojek online, mendapat order dari pelanggan untuk membeli makanan di Kedai Mie Keriting, di Kota Medan.
Dalam kondisi tubuh yang sedang sakit dan menahan lapar, dua hari dia belum makan, Darwin memaksakan diri mengambil order itu, dia tidak punya cukup uang untuk bertahan hidup.
Menjadi driver ojek online adalah satu-satunya harapan menyambung nafas, meskipun hasilnya jauh dari kata cukup.
Dua hari dia belum makan itu karena tidak punya cukup uang untuk membeli makanan.
Dan, anda tahu kisahnya? Saat menunggu antrian, Darwin limbung, ia jatuh dan meninggal dunia. Darwin Mangudut Simanjuntak nama lengkapnya, lakon ironi kehidupan.
Ia gugur, menghembuskan nafas dalam situasi kelaparan justru saat mengantre beli makanan, bukan untuk dirinya tapi untuk pelanggan yang mengorder.
Tragedi Darwin adalah realitas drama kehidupan yang merujuk pameo “mati kelaparan di lumbung beras”.
Darwin teralienasi oleh pekerjaannya sendiri, ironi. Ia bekerja bukan untuk menjadi kaya, bukan untuk menggapai jenjang karier yang tinggi.
Menjadi driver ojek online hanya sekedar bisa menyambung hidup, bertarung hidup untuk mengkayakan perusahaan ojek online itu, tidak lebih. Ada begitu banyak orang seperti Darwin di Repiblik ini, di usia kemerdekaan yang menyentuh 79 tahun.
Di luar itu, kematian Darwin yang tragis itu, menguak adanya fakta makro ekonomi Indonesia di penghujung akhir pemerintahan Jokowi. Data BPS tri-wulan terakhir , berturut-turut, Indonesia mengalami deflasi. Mei ada pada -0.03, Juni di angka -0.08 dan Juli pada -0.18. Angka deflasi tri-wulan itu mengkonfirmasi data Survei Konsumen Indonesia yang dikeluarkan BI bahwa daya beli masyarakat Indonesia menurun, terutama di kalangan menengah ke bawah.
Darwin adalah puncak gunung es dari data deflasi itu, ia tidak punya cukup uang untuk membeli makanan. Darwin adalah fakta di level kelas bawah dari turunnya daya beli masyarakat Indonesia.
Data deflasi ini, tentu saja, juga dibarengi dengan semakin banyaknya kasus PHK. Data kementerian tenaga kerja menyebut gelombang PHK di bulan Januari 2024 mencapai 3.33 ribu orang, yang terus meningkat sampai di bulan Mei mencapai 8.39 ribu orang, secara nasional.
Deflasi dan gelimbang PHK massal ini merupakan gambaran konkret dari pelambatan pertumbuhan ekonomi kwsrtai II 2024 di angka 5.05%, melambat dibanding kwartal sebelumnya yang mencapai 5.11%.
Realitas ekonomi ini menunjukkan bahwa Jokowinomics, dengan menggenjot pembangunan infrastruktur, ternyata tidak berdampak signifikan pada pertumbuhan ekonomi, apalagi gini ratio. Lebih-lebih, proyek infrastruktur itu dibangun dengan menggunakan biaya hutang luar negeri, yang telah menyentuh Rp. 8.444, 87 T, atau 39,13% dari PDB (data per Juni 2024).
Pendek kata, kasus kematian Darwin adalah sinyal serius dari melemahnya perekonomian Indonesia di penghujung akhir kuasa Jokowi. Jika tidak ditangani serius niscaya pelemahan ekonomi ini semakin dalam dan menjadi beban Prabowo.
Sayangnya, realitas ekonomi ini diabaikan Jokowi sebagai presiden.
Ia lebih sibuk meng-orkestrasi extravaganza politik kekuasaan dan pencitraan. Memaksakan diri melakukan upacara perayaan 17 Agustus 1945 yang megah di IKN adalah salah satu bentuk ketidak-pekaan Jokowi terhadap kondisi ekonomi nasional.
Ia tampak lebih mengutamakan citra diri ketimbang kebutuhan rakyat banyak.