Tulisan Lien Iffah Naf’atu Fina termasuk jenis analisis yang jarang ditemukan, dan sekaligus prospektif untuk memulai kajian-kajian tentang kondisi struktural dan kondisi meta dari praktik produksi pengetahuan moderasi beragama di Indonesia dan apa hubungannya dengan politik pengetahuan global.
Singkatnya, paparan data dalam tulisan Lien menyiratkan bahwa ‘kecolongan’ berangkatnya 5 intelektual NU ke Israel tidak lain karena lunaknya daya kritis terhadap proses transmisi, konstruksi, dan praktik konsep besar yang selama ini kita kenal sebagai dialog lintas iman dan segala turunannya.
Lien memang tidak menyimpulkan demikian secara lugas. Tapi melihat bagaimana, misalnya, keterlibatan Zainul Ma’arif dalam lembaga RAHIM, dan melihat bagaimana riwayat kerjasama NU bersama sejumlah individu dan lembaga yang terhubung dengan AS, sepertinya sulit untuk tidak mengatakan bahwa apa yang kita kenal sebagai ‘dialog lintas iman’, dan sejenisnya masih berorientasi manfaat praktis dan akumulasi pengetahuan.
Sejak kejadian itu, produksi pengetahuan dialog antar agama yang dalam kurun beberapa tahun terakhir terlihat sangat produktif, mendadak mengundang tanda tanya: bagaimana mungkin orang belajar di luar negeri (atau belajar dari lembaga luar negeri) menghasilkan tindakan blunder terhadap apa yang sedang menjadi sasaran kepeduliannya?
Kejadian itu bukan hal baru, dan sebenarnya sudah terjadi sejak lama dan terjadi di berbagai ranah.
Ambil misalnya kasus antropolog pentolan asal Filipina, Felipe Landa Jocano (1930-2013). Ia berangkat studi ke Amerika dengan ambisi menulis tesis tentang 50 folklore yang tersebar di berbagai kepulauan di Filipina.
Sepulang dari Amerika, dengan gairah nasionalisme yang masih membara, Jocano amat bersemangat menggali jati diri bangsa Filipina pra-kolonial. Ketika Ferdinand Marcos berkuasa pada 1965, semangat pengabdian Jocano justru tanpa tidak sadar berkontribusi pada kediktatoran Ferdinand Marcos yang malah memuluskan kepentingan Amerika di Filipina.
Bahkan sejak negara-negara di Asia Tenggara baru saja keluar dari kolonialisme pada pertengahan abad ke-20, Amerika telah memberi beasiswa pendidikan dan aneka program riset di berbagai tema (termasuk Islam yang biasanya ada dalam perhatian antropologi) secara melimpah kepada negara-negara ini dalam rangka perluasan pengaruh agenda Perang Dingin. Semakin banyak alumni, semakin besar peluang negara-negara ini akan dikelola dengan rumus dan cara ala Amerika, dan semakin mulus juga Amerika menancapkan pengaruh ataupun kepentingannya di kawasan, khususnya lewat penciptaan subjek pribumi yang berpikir ala Amerika.
Di Indonesia, nasib akademik seperti Jocano lumrah dialami oleh sejumlah ekonom dan sosiolog yang dekat dengan kekuasaan Soeharto. Mereka merupakan generasi pertama penerima beasiswa di Amerika dengan angkatan terbanyak. Sepulang ke Indonesia, pemahaman perspektif fungsionalisme-struktural memberi mereka optimisme terhadap prospek perubahan sosial Indonesia menuju kesejahteraan.
Perspektif ini melihat bahwa harmoni sosial hanya bisa dicapai jika individu atau kelompok sosial yang beragam telah berperan sebagaimana posisinya masing-masing. Perspektif ini, di saat yang sama, membentuk adanya diskriminasi pelabelan antara individu/kelompok yang berfungsi dan tidak berfungsi semestinya.
Neoliberalisme dan Dialog Antar Agama
Produksi dan praktik pengetahuan ala fungsionalisme-struktural telah berjalan hampir lebih dari 30 tahun, dan telah menjadi ortodoksi bernalar yang tanpa instruksi pun seorang intelektual junior akan refleks mengulang apa yang telah panutannya lakukan. Dengan kata lain, ada sirkuit bernalar yang terlanjur mapan, dan kelak menjadi pondasi kognitif ketika pada tahun 2000-an Indonesia dihempas gelombang neoliberalisme. Dan sekaligus menjadi pondasi kognitif paling populer dalam memahami masalah-masalah sosial-keagamaan.
Neoliberalisme menginginkan aturan main pasar dan ekonomi seluwes mungkin. Sehingga, perusahaan ataupun investasi asing bisa leluasa mengolah sumber daya alam ataupun tenaga kerja dalam negeri dengan seminim mungkin campur tangan negara.
Di akar rumput, wujudnya sering satu nada dengan kolonialisme, hanya saja dengan bentuk lebih ‘halus’ tetapi tidak kalah menindas karena melibatkan praktik akuisisi, perampasan, dan eksploitasi. Neoliberalisme sangat menyukai ketertiban, harmoni, dan kerukunan. Tanpa ketiganya, kapitalisme tidak berdiri ajeg dan leluasa. Orang tidak akan bertanya kenapa saudara mereka begitu miskin dan tertindas, apalagi akan memberontak dan menggugat struktur hidup yang terlanjur mapan.
Ketika targetnya adalah Indonesia dengan populasi mayoritas muslim, kehidupan neoliberal membutuhkan pendidikan agama yang tidak kritis agar kelompok mayoritas ini tidak bertanya dari mana datangnya rezeki? Kenapa dua kelompok berbeda bisa bertengkar? Atau dalam istilahnya Lailatul Fitriyah, orientasinya adalah perdamaian, bukan keadilan. Perdamaian menghendaki adanya rekonsiliasi, terlepas apakah sang mediator atau sang promotor perdamaian telah benar-benar menyadari ketidak-adilan struktural yang dialami salah satu pihak.
Titik temu dialog antar agama dan neoliberalisme akan terlihat ketika membongkar isi muatan materi-materi pelatihan ataupun fellowship pembibitan influencer dialog antar agama. Lagi-lagi, bingkai kognitif berlanggam fungsionalisme-struktural menjadi perspektif dominan dalam memahami persoalan keagamaan di Indonesia. Apa yang Lien kutip sebagai dikotomi ‘good muslim – bad muslim‘ misalnya, adalah contoh sempurna masa kini bagaimana individu didorong untuk memahami masalah sosial menurut konsep kategori yang mengabaikan penyebab struktural di belakangnya.
Fungsionalisme-struktural dan neoliberalisme ibarat dua koin yang saling melengkapi. Neoliberalisme pada dasarnya adalah kapitalisme dengan kemasan ajaib. Orang dibuat merasa tidak dieksploitasi dan merasa tidak dzolimi hanya karena permainannya dibuat seakan-akan tergantung amal perbuatan si individu: apa yang kamu dapat, sesuai dengan jeripayahmu. Oleh karena itu, jika ada masalah sosial, maka solusinya adalah pemberdayaan individu, bukan mengubah struktur yang terlanjur memeras.
Ini menjelaskan kenapa dalam pelatihan, fellowship, ataupun acara-acara dialog antar-agama dalam kadar tertentu lebih banyak porsi pembahasan ‘bagaimana’ daripada ‘kenapa’, sebab pemabahasan ‘bagaimana’ adalah satu langkah lebih dekat dengan manfaat praktis, daripada ‘kenapa’ yang seratus langkah lebih terjal.
Oleh karena itu, materi kegiatan dialog antar-agama biasanya hanya mencakup salah satu atau kombinasi dari: (1) pencarian common-word atau kesamaan ayat ataupun kisah damai lintas-agama. Ranah ini merupakan lahan basah untuk politik tafsir; (2) jika bersinggungan dengan hoaks dan misinformasi, maka pelatihan sebatas diajarkan bagaimana cara memverifikasi, dan mempengaruhi (influence) khalayak luas dengan kampanye konten positif; (3) bertukar praktik baik antar individu ataupun kelompok tentang pengalaman demokrasi-keagamaan, khususnya bagaimana simbol kultural bisa menjadi alat pemersatu/rekonsiliasi; dan (4) mencari titik temu antara teks agama dan demokrasi.
Masalah mendasar negeri pascakolonial yang sebenarnya masih awet sampai hari ini, seperti masalah okupasi, eksploitasi, neokolonialisme, ketimpangan sosial ekonomi, politisasi negara terhadap konflik horizontal, dan masalah minimnya solidaritas Islam terhadap kelompok agama lokal yang menjadi korban eksploitasi, sedikit memperoleh tempat.
Pada 2019, sebuah LSM asal Amerika bekerja sama dengan LSM lokal menyelenggarakan pelatihan 3 hari influencer untuk perdamaian. Di akhir kegiatan, fasilitator meminta para peserta duduk melingkar dan memberikan testimoni dan masukan pengalaman kegiatan. Ingat, tahun 2019 adalah tahun panas. Gema sentimen agama dari kasus Ahok 2016 sedang menuju klimaks di Pemilu 2019. Di saat yang sama, konflik berdarah antara sipil dan negara kembali pecah di Nduga, Papua.
Manajemen acara pelatihan ini sangat rapih. Ini pertama kali saya mengikuti pelatihan yang setiap agendanya tepat waktu. Namun kenapa dalam pelatihan ini tidak membahas Nduga sedikit pun? Bukankah bagaimana berlarut-larutnya konflik di Papua juga bisa memberi kita pemahaman bentuk-bentuk konflik pada wujud paling ekstrim?” kata seorang teman yang kebetulan mengikuti kegiatan tersebut.
Seorang perwakilan donor acara yang berdiri di sudut ruangan lalu angkat bicara, “kami gembira atas semua masukan yang teman-teman berikan, dan kami berusaha memberikan yang terbaik untuk terlaksananya pelatihan ini, termasuk menyediakan kenyamanan akomodasi selama 3 malam. Kami kira, penting juga agar adanya terima kasih terhadap dukungan yang telah teman-teman nikmati selama proses pelatihan.”
Politik Pengetahuan dan Legitimasi Kepentingan
Saya adalah pemuda tanggung. Posisi ini memungkinkan saya kadang terhubung dalam lingkaran peserta kegiatan, sekaligus kadang terlibat duduk melihat bagaimana proposal program/kegiatan ditulis.
Sayembara proposal, kesempatan beasiswa, dan sejenisnya sangat ditentukan oleh angin politik luar negeri. Jenis isu, bentuk program, dan bahkan nominal dukungan bisa berubah mendadak tergantung dari prioritas kebijakan luar negeri negara atau organisasi internasional pemberi/penyelenggara.
Dalam konteks ini, budaya politik dan kepentingan politik luar negeri amat menentukan kata kunci apa yang perlu muncul, diksi apa yang boleh dan tidak boleh digunakan, perspektif apa yang boleh dan tidak boleh digunakan dalam proposal (atau motivation letter jika kegiatannya beasiswa, fellowship, pelatihan), dan kriteria organisasi/individu seperti apa yang dicari.
Pasca 9/11, Indonesia punya posisi penting bagi narasi Islam damai di mata Amerika dan organisasi-organisasi perdamaian internasional lainnya. 250 juta penduduk dengan populasi muslim hampir 90% adalah pertaruhan besar. Jumlah ini cukup untuk memberi legitimasi dan mendorong Indonesia menjadi model tauladan masyarakat muslim apa yang diidealkan oleh wacana ‘perdamaian global’. Dengan terbukanya kesempatan pelatihan, beasiswa, dan dukungan kegiatan, maka para peserta bisa turut menjadi agen promotor wacana perdamaian global dan kerukunan antar umat beragama versi yang (tanpa sadar) ‘telah digariskan.’
Sejak tahun 1950an, Amerika memang telah lama menaruh perhatian pada Islam di Indonesia. Trikotomi ‘santri, abangan, priyai’ dalam The Religion of Java karya antropolog Amerika, Clifford Geertz, telah menginspirasi para pembaca muslim tradisional tentang romantisnya keunikan dan keadiluhungan Islam Jawa.
Santri akhirnya lebih fokus pada pemeliharaan budaya masa lalu, daripada mengenang bagaimana mereka dulu pernah terlibat perlawanan terhadap kolonialisme dan apa makna dari eksploitasi dan penjajahan yang mungkin telah berubah kemasan hari ini.
Karya-karya antropologi Geertz punya pengaruh luas, termasuk mempertebal keyakinan di kalangan muslim tradisional yang umumnya dari kalangan tani, bahwa kemiskinan itu adalah sesuatu yang lumrah dan baik-baik saja selama tiap individu selalu bersama. Konsep shared-poverty milik Geertz menjelaskan bagaimana petani bisa miskin, namun tidak menyebut peran aktor-aktor yang membuat petani miskin. Dengan kesadaran tersebut, santri tetap kokoh percaya bahwa rezeki sudah ada yang mengatur dan tidak akan tertukar.
Dalam konteks dekade 1970-1990an, efek kuasa pengetahuan dari karya Geertz sudah cukup membuat Amerika tenang bahwa kelompok muslim tidak akan menjadi kelompok subversif sebagaimana kelompok komunis dulu yang kritis terhadap eksploitasi.
Dalam konteks masa kini, favoritisme terhadap kohesi agama dan budaya hampir menjadi bingkai pemikiran yang bisa ditemukan di mana-mana ketika santri membaca masalah sosial, termasuk masalah-masalah yang sebenarnya akibat dari neoliberalisme dan kolonialisme kemasan baru.
Antara Administrasi dan Esensi
Kini, di Indonesia pasca 9/11, luasnya kesempatan beasiswa, pelatihan ataupun dukungan penyelenggaraan program perdamaian dan dialog antar agama telah memberi kesempatan ceruk baru perbaikan nasib kepada kalangan santri. Kesempatan ini memungkinkan mereka menjadi jembatan antara komunitas lokal dan lembaga-lembaga internasional, takdir hidup yang boleh jadi amat berbeda dengan leluhur mereka dulu pada awal abad 20.
Terbatasnya kuota beasiswa, pelatihan ataupun dukungan program tersebut hanya bisa diraih dengan taat pada persyaratan dan ekspektasi kriteria yang telah ditentukan. Di mana ada meritokrasi (sistem karir/pendidikan berbasis ‘siapa kompeten, dia dapat’), di situ ada administrasi. Keduanya bagai bulan dan matahari mengitari pejuang ambisi.
Selain kesempatan belajar, kegiatan tersebut juga memberi panggung eksistensi dan legitimasi dalam mendefinisikan diri sebagai agen pembaharu. Puncak intelektualisme terasa kurang meyakinkan jika tidak berdampingan dengan orang kulit putih.
Sempitnya ruang refleksi yang calon peserta miliki ketika berkejaran dengan administrasi dan deadline, membuat calon peserta tidak sempat menelaah ulang posisi politik isu atau pengetahuan yang ditawarkan donor, dan apa konsekuensi politisnya ketika ia menceburkan diri dengan niat ‘menambah pengetahuan’ semata.
“Saya bukan demonstran, melainkan filsuf-agamawan. Alih-alih demonstrasi di jalanan dan melakukan pemboikotan, saya lebih suka berdiskusi dan mengungkapkan gagasan,” kata seorang Associate Professor of Philosophy yang kemarin viral. Sirkuit bernalar fungsionalisme-struktural, yang mengandaikan ketertiban, sinisme huru-hara, dan kerisauan terhadap gerakan sosial dan okupasi ruang (yang sebenarnya khas alam pikiran kapitalisme Amerika) sepertinya ikut ambil peran dalam kasus lawatan ke Israel kemarin.
‘Menambah pengetahuan’ merupakan lapisan paling permukaan dari proses belajar. Dimensi yang lebih abstrak setelahnya adalah ‘membangun/menguji sirkuit bernalar’. Sedangkan yang paling subtil adalah menyadari bagaimana dapur pengetahuan bekerja hingga menghasilkan produk pengetahuan yang peserta nikmati. Tiap lapis menentukan segar tidaknya atau kritis tidaknya suatu gerakan, kampanye, pandangan, ataupun publikasi.
Ketika kasus Ahok memanas sepanjang 2016 sampai 2020 misalnya, banyak publikasi mendeskripsikan hal yang berbeda namun mengulang argumentasi dan temuan yang sama. Hanya segelintir yang menyajikan kesegaran diskurisf sebab hampir kebanyakan penulisnya punya ideologi yang sama. Acara pelatihan dan camp lintas iman diselenggarakan di mana-mana, juga dengan mengulang materi yang sama: pentingnya inklusi, cara menyebar konten positif, dan sebagainya.
Dalam konteks dunia proposal, masalah sosial sebenarnya bisa benar-benar terabaikan karena, pertama, pihak donor sudah terikat pada komitmen kepentingan politik atau kepentingan luar negeri tertentu sehingga mereka punya prioritas atau pengertian sendiri apa yang dimaksud ‘masalah sosial’.
Kedua, pihak calon peserta atau calon pelaksana program pun terbatasi oleh politik diksi dan kata kunci dalam mengungkapkan apa masalah sosial yang sebenarnya. Mengabaikan diksi dan kata kunci sama artinya merencanakan gagal menerima pelatihan/program.
Motivation letter atau proposal program mungkin menyatakan peruntukkan dan keberpihakannya pada target yang menjadi sasaran, tetapi hanya sedikit para penulisnya yang terbuka, apakah ada motivasi personal menggapai panggung eksistensi dan legitimasi atau tidak. Ketika motivasi personal lebih besar, maka masalah sosial yang tertulis bisa mengandai-andai.
Tidak menutup kemungkinan, masalah sosial yang tertulis dalam proposal/motivation letter adalah masalah yang dirumuskan untuk memenuhi screening kata kunci dan imajinasi reviewer. Ketika Indonesia menerima luasnya kesempatan proposal isu dialog antar agama, boleh jadi ini bukan mendorong para peserta menyadari apa masalah sosial sebenarnya, melainkan mendorong peserta untuk menerima dikte masalah sosial sebenarnya.
Data statistik sering digunakan untuk menggambarkan betapa gentingnya realita. Namun penggunaan statistik sering mengekspresikan pengandaian adanya kebenaran objektif yang bebas nilai. Ini juga termasuk politik pengetahuan. Dengan menempelkan statistik, isu yang diangkat seakan-akan merupakan realitas objektif, meskipun peraciknya belum tentu sadar atau cukup terbuka terhadap penempatan data menurut sumber metodenya dan kebutuhan argumentasinya. Angka-angka mungkin hendak menyatakan objektivitas, namun peracikan dan penyusunannya akan selalu melibatkan ideologi.
Ada masalah bargain yang tidak seimbang antara keleluasaan lembaga/donor/negara asing dalam memproduksi pengetahuan di Indonesia, dan keleluasaan lembaga/donor/organisasi dalam negeri, baik dalam hal finansial, energi, maupun intelektual. Hal ini menyebabkan sempitnya otonomi Indonesia dalam merumuskan apa masalah sosial riil dirinya, dan sempitnya refleksi soal bagaimana dapur pengetahuannya didesain dan dijalankan selama ini.
Selama otonomi produksi pengetahuan timpang, selama itu juga resiko terjadinya praktik yang kontra-produktif tetap terbuka. Sebab, dengan ketimpangan ini, peserta harus bergulat dulu dengan colonial-inferiority yang begitu subtil dalam kesadarannya sebelum kemudian ia bisa secara kritis membaca pengetahuan dari ujung sendok sampai ujung dapur. Self-criticism menjadi sesuatu yang langka ketika gairah ‘mengumpulkan pengetahuan’ dan aplikasinya menjadi norma yang paling diapresiasi di dunia intelektual ataupun aktivisme.