Riset Tunjukkan Alasan Mengapa Baca Buku Masih Dianggap Aneh di Indonesia

Riset Tunjukkan Alasan Mengapa Baca Buku Masih Dianggap Aneh di Indonesia

Untuk meningkatkan minat baca di Indonesia, kita perlu melakukan challenge terhadap norma sosial terkait persepsi negatif orang baca buku.

Riset Tunjukkan Alasan Mengapa Baca Buku Masih Dianggap Aneh di Indonesia

Pernah nggak kamu merasa aneh atau canggung saat baca buku di tempat umum? Seolah-olah ada yang menganggap kamu sok serius atau bahkan sok pintar? 

Nah, ternyata perasaan itu valid adanya. Sebuah riset menunjukkan bahwa norma sosial di Indonesia bagian Timur masih belum sepenuhnya mendukung budaya membaca. 

Hal itu diungkap oleh tim peneliti Anhar Dana Putra dari Politeknik STIA LAN Makassar, Andika dari Universitas Hasanuddin, dan Andi Riswan Mohamad dari Universitas Negeri Makassar. 

Seperti diketahui, norma sosial itu ibarat navigator tak terlihat. Ia adalah aturan tak tertulis yang menentukan apa yang dianggap wajar atau tidak oleh masyarakat. 

Tim peneliti menggunakan teori Perilaku Terencana dari Icek Ajzen. Katanya, persepsi seseorang terhadap norma sosial sangat mempengaruhi niat kita untuk melakukan sesuatu. 

Jadi, sebelum kita melakukan suatu tindakan, biasanya kita cek dulu kira-kira lingkungan sekitar bakal mendukung nggak, ya?

Membaca di Tempat Umum? Hmmm…

Survei yang dilakukan pada 503 orang di Makassar di tahun 2023 ini menunjukkan banyak dari masyarakat kita yang masih ragu untuk baca buku di tempat umum. Pasalnya? Orang takut dicap negatif! 

Bayangkan saja, 30% responden percaya mereka akan dianggap terlalu serius, dan 23% lagi merasa akan dicap sok intelek. Jadi, wajar saja kalau banyak yang jadi malas membaca di tempat umum karena takut dihakimi. Padahal, membaca sama sekali bukan perlikau kriminal. Kalau baca Road Poneglyph, nah itu mungkin masuk daftar buronan pemerintah dunia! 

Dukungan Teman dan Keluarga? Masih Kurang!

Selain adanya stigma dari masyarakat, faktor dukungan dari teman-teman juga dianggap masih kurang. Lebih dari 50% responden merasa lingkaran pertemanan mereka tidak mendukung perilaku membaca. Gimana mau rajin baca kalau temen-temen nggak support, kan? 

Padahal, lingkaran pertemanan ini bisa jadi faktor besar. Mari berandai-andai dengan realistis: kalau kamu menjadi satu-satunya orang yang baca buku di antara teman-teman yang lebih suka scrolling media sosial, pasti ada rasa canggung, bukan?

Selain circle pertemanan, riset juga menyebut keluarga ternyata punya peran penting. Walaupun 54,8% responden merasa didorong oleh keluarga untuk membaca, masih ada 45,2% yang merasa kurang mendapat dukungan dari keluarga. Padahal, menurut studi tahun 2021, ketika orang tua menghargai dan mendukung perilaku membaca, anak-anak cenderung mengembangkan kebiasaan membaca yang kuat.

Di balik Rezim Angka

Dari realitas di atas, kita bisa melihat bahwa norma sosial punya pengaruh sangat signifikan. Bayangkan jika ada seorang remaja yang suka baca buku di tempat umum, tapi dia selalu merasa tidak nyaman karena tatapan orang-orang. Dia merasa seolah-olah sedang melakukan sesuatu yang aneh atau tidak biasa. Ini pada gilirannya akan membuatnya berpikir dua kali untuk membawa buku ke tempat umum lagi.

Bayangkan juga tentang orang tua yang selalu mendorong anak-anaknya untuk membaca. Namun, ketika anak-anaknya pergi ke sekolah atau bermain dengan teman-temannya, mereka mendapati bahwa tidak ada yang benar-benar peduli dengan buku. 

Alhasil, dorongan dari rumah tidak cukup kuat untuk membuat mereka tetap rajin membaca.

Jadi, Apa Solusinya?

Dari riset ini, jelas bahwa untuk meningkatkan minat baca di Indonesia, kita perlu melakukan, salah satunya, challenge terhadap norma sosial yang ada terkait persepsi negatif orang baca buku. Tentu tidak bisa dalam waktu dekat, apalagi dengan cara instan. Sebab perilaku membaca tidak sama seperti RUU yang bisa dikebut semalam.