Aksi Bela Palestina, Profesor di Bidang Jurnalistik Ungkap Compang-camping Liputan Media terhadap Gerakan Protes Kampus di Amerika

Aksi Bela Palestina, Profesor di Bidang Jurnalistik Ungkap Compang-camping Liputan Media terhadap Gerakan Protes Kampus di Amerika

Banyak mahasiswa Amerika menuntut agar pihak universitas tempat mereka belajar menarik investasi dari bisnis yang terhubung dengan pendudukan Israel di wilayah Palestina. Tapi liputan media membuatnya terlihat berbeda.

Aksi Bela Palestina, Profesor di Bidang Jurnalistik Ungkap Compang-camping Liputan Media terhadap Gerakan Protes Kampus di Amerika
Hampir 1.000 orang memadati jalan-jalan Bay Ridge, New York, pada hari Sabtu untuk merayakan perlawanan Palestina pada Hari Nakba (Middle East Eye/Zainab Iqbal)

Danielle K. Brown, seorang Professor Jurnalistik dari Michigan State University, mengungkapkan bahwa pola liputan media sering kali mengabaikan substansi dari gerakan protes. Kebanyakan media tampak lebih fokus pada drama dan konfrontasi. 

“Hal ini dapat dilihat dalam liputan awal protes terhadap perang di Gaza di universitas-universitas AS,” ujar Brown. “Protes ini dimulai pada tahun 2023 dan hanya meningkat menjadi perkemahan kampus yang terlihat hari ini setelah berbulan-bulan kampanye.”

Brown, dalam sebuah artikel, menyoroti bahwa dalam bulan-bulan menjelang dan ketika perkemahan (encampment), banyak mahasiswa yang terlibat dalam upaya advokasi dan kampanye memprotes okupasi Israel di Gaza. Mereka menuntut agar pihak universitas tempat mereka belajar menarik investasi dari bisnis yang terhubung dengan pendudukan Israel di wilayah Palestina.

 “Mahasiswa di Universitas Brown, misalnya, ikut serta dalam aksi mogok makan pada bulan Februari. Juga pada bulan yang sama, sebuah koalisi mahasiswa di beberapa perguruan tinggi menyusun seruan bersama untuk bertindak di seluruh sistem universitas,” jelas Brown.

Selain itu, Brown mengatakan “mahasiswa di universitas saya, Michigan State University, juga menggalang dukungan melalui petisi online dan kemudian melakukan lobi di rapat dewan pengawas.” 

“Ketika dewan pengawas mengeluarkan pernyataan menolak divestasi dalam bentuk apa pun, para mahasiswa terus berjalan menuju tangga gedung administrasi utama di mana mereka terus melakukan protes. Semuanya dilakukan sebelum mereka merencanakan protes di perkemahan,” lanjutnya.

Meskipun demikian, apa yang terjadi di lapangan justru sedikit sekali yang masuk dalam laporan berita arus utama. 

“Ini kontras sekali dibandingkan dengan akhir April lalu, ketika terjadi peningkatan liputan bertepatan dengan mahasiswa yang mengorganisir perkemahan di universitas dan pejabat universitas mulai merespons,” kata Brown. “Universitas-universitas yang meminta polisi untuk membubarkan pengunjuk rasa memperkuat intensitas konfrontasi, dan, pada gilirannya, memperkuat liputan berita.” 

Siapa yang Dikutip, Siapa yang Tidak

Brown mengungkapkan bahwa ada alasan komersial mengapa beberapa ruang redaksi fokus pada tontonan (spectacle) dan konfrontasi. 

“Pepatah jurnalisme lama ‘if it bleeds, it leads’ masih berlaku dalam banyak keputusan ruang redaksi,” jelasnya. 

Pada minggu-minggu awal protes kampus dilaksanakan, kecenderungan sensasionalisme ini terlihat jelas dalam fokus meja redaksi untuk meliput pada kekacauan, bentrokan, dan penangkapan.

“Keputusan awak media itu justru berpeluang mendeligitimasi tujuan aksi protes,” tegas Brown.  “Delegitimasi ini disokong oleh narasumber yang sering diandalkan jurnalis untuk menceritakan kisah dengan cepat dan tanpa konsekuensi hukum,” kata Brown.

“Dalam situasi berita terkini, jurnalis cenderung gravitate–dan langsung mengutip–sumber yang memiliki status, seperti pejabat pemerintah dan universitas. Ini karena reporter memiliki hubungan erat dengan pejabat tersebut,” jelasnya lebih lanjut .

Brown menyimpulkan bahwa liputan media membentuk cara kebanyakan orang memahami gerakan protes. “Seperti yang ditunjukkan oleh liputan terhadap aksi protes di universitas-universitas, sering kali fokusnya pada tontonan daripada substansi,” pungkasnya.