Di tengah panasnya musim panas yang gerahnya naudzubillah, warga sipil korban pendudukan Israel di Gaza berjuang untuk setiap tetes air, melintasi jarak yang jauh dengan harapan yang mungkin nyaris pudar. Kelangkaan air di Jalur Gaza ini semakin parah akibat perang tak berkesudahan, sehingga kehidupan sehari-hari warga Gaza kini penuh dengan kesulitan.
Selain itu, hari-hari mereka juga penuh dengan ‘jebakan’ antrean panjang, menunggu air yang bahkan tak layak minum. Hidup mereka menjadi bayangan kelam dari apa yang dulu, diwarnai oleh kerinduan pada hari-hari biasa yang kini tampak begitu jauh.
Di balik setiap langkah yang berat, ada cerita tentang keteguhan dan pengorbanan dalam menghadapi kelangkaan yang tak terbayangkan, di mana air menjadi simbol harapan yang terus mereka kejar, meski dengan harga yang begitu tinggi.
Keluarga Nassar
Saban pagi, Mohammed Nassar, seorang pria Palestina dari Deir al-Balah, Jalur Gaza tengah, harus bangun lebih awal, bergegas menuju antrean panjang, dan menunggu giliran untuk mengisi tiga botol dengan air asin.
“Saya harus menunggu berjam-jam setiap hari hanya untuk mendapatkan beberapa liter air, bukan untuk diminum tetapi untuk mencuci muka, mandi, atau bahkan mencuci piring,” kata Nassar, pria 38 tahun dengan lima anak.
Untuk mendapatkan lebih banyak air, Nassar sering membawa dua anaknya. Meski ia tahu anak-anaknya lelah dengan rutinitas ini, mereka tidak punya pilihan lain.
Mereka harus berjalan sejauh 9 kilometer untuk mencapai stasiun air gratis terdekat, sebuah perjalanan yang semakin berat karena teriknya musim panas dan kurangnya transportasi.
“Di hari-hari panas sebelum perang, saya bisa mandi beberapa kali sehari, tapi sekarang, mandi sekali seminggu pun hampir tidak mungkin,” keluh Nassar. “Saya harus menyimpan air untuk kebutuhan lain di tenda saya.”
Kesulitan ini diperparah dengan antrean panjang untuk mendapatkan air hasil desalinasi yang digunakan untuk minum.
“Sayangnya, air hasil desalinasi itu pun tidak sehat karena hanya disaring satu kali, bukan tiga kali seperti sebelum perang,” ujarnya, mengeluhkan minimnya listrik dan bahan bakar untuk mengoperasikan stasiun desalinasi di Gaza.
Bahkan air yang tidak terlalu bersih ini pun harus dibeli dengan harga mahal, yakni 5 dolar AS per hari, atau setara dengan 81 ribuan rupiah.
“Karena perang yang sedang berlangsung, saya jadi pengangguran, dan saya tidak punya sumber penghasilan apa pun. Lalu bagaimana saya bisa membeli air?” kata Nassar, seperti dikutip Xinhua.
Krisis Air yang Mencekik Gaza
Sudah sembilan bulan perang di tanah Gaza berlangsung, dan tanah Palestina yang hancur itu kini menghadapi kelangkaan air yang makin parah. Ini semakin diperburuk oleh musim panas yang kering, pasokan yang menipis, serta infrastruktur yang rusak.
Selain itu, sekitar 67 persen infrastruktur serta fasilitas air dan sanitasi di Jalur Gaza telah hancur atau rusak. Demikian bunyi laporan yang dirilis Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina di Timur Dekat (UNRWA) pada Juni lalu.
Produksi air dari sumur-sumur air tanah, yang biasanya menyumbang 80 persen dari pasokan air Gaza, telah turun dari 35.000 menjadi 15.000 meter kubik per hari. Ia menyusut lebih dari 50 persen dari kapasitas produksi sebelum perang, menurut statistik PBB.
Karena krisis tersebut, Mohammed Odwan, seorang pria Palestina di Khan Younis, Jalur Gaza selatan, harus menunda pekerjaannya untuk menunggu giliran mendapatkan air.
“Hidup kami semakin sulit setiap hari, dan tidak ada yang bisa mengatasinya,” keluh pria berusia 39 tahun ini. “Dulu saya memulai pekerjaan di pagi hari, tapi sekarang saya harus mulai bekerja sore karena harus mengambil air terlebih dahulu bagi keluarga saya yang beranggotakan 15 orang.”
Jika situasi ini berlangsung beberapa bulan ke depan, “Saya khawatir akan kehilangan pekerjaan, satu-satunya sumber pendapatan kami. Ini berarti saya tidak akan bisa menghidupi keluarga,” tuturnya.
Dampak Kesehatan dari Kelangkaan Air
Kelangkaan air juga membawa berbagai masalah kesehatan. Kondisi kehidupan yang padat dan akses terbatas ke air bersih meningkatkan risiko penyakit menular. Pada Mei, UNRWA melaporkan peningkatan kasus hepatitis akut dan berbagai bentuk diare di Gaza.
“Serangan Israel telah menyeret Jalur Gaza ke dalam bencana kemanusiaan yang berkepanjangan,” kata Halima Baraka, seorang wanita yang mengungsi di Khan Younis.
Halima terpaksa menggunakan air laut sebagai alternatif untuk kebutuhan sehari-hari karena kelangkaan air yang akut.
“Baik air hasil desalinasi maupun air asin tidak sehat, dan saya tidak mampu membeli air mineral. Sepertinya laut adalah pilihan terbaik kami, setidaknya bisa membantu membersihkan pakaian dan tubuh kami,” ujar wanita 45 tahun ini dengan nada sarkastis.
*) Konten ini merupakan terjemah Bahasa Indonesia dari artikel berjudul “Acute water shortage deepens Gazans’ suffering amid hot summer” (Sumber: Xinhua)